Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Wajah manusia dalam sejarah

Editor: sugiarta sribawa jakarta: universitas indonesia (ui press), 1991. resensi oleh: taufik abdullah.

8 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia berkisah tentang suka-dukanya dalam pergolakan politik masa revolusi. Ia gigih menangkis propaganda Belanda. HAMID ALGADRI, SUKA DUKA MASA REVOLUSI Editor: Sugiarta Sribawa Penerbit: Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta 1991, 151 halaman KISAH bermula di bulan Mei, 1947 -- dua bulan setelah Perjanjian Lingga(r)jati ditandatangani. Dalam perjanjian itu, Belanda bersedia mengakui secara de facto kekuasaan Republik Indonesia di Pulau Sumatera, Jawa, dan Madura. Tapi, suasana tetap tegang karena Belanda masih selalu mendesak agar gendarmerie dibentuk dan mempunyai hak, bersama TNI, memelihara ketertiban di wilayah Republik. Ini berarti bahwa "hansip" bentukan Belanda itu akan mudah lalu-lalang di wilayah Republik. Maka, segala usaha Belanda yang disertai ancaman selalu ditolak oleh Kabinet Sjahrir. Memang, masalah ketentaraan, yang langsung menyentuh integritas TNI, selalu merupakan batu penarung bagi kelancaran perundingan Indonesia-Belanda. Terlepas dari segala perdebatan "diplomasi dan perjuangan, tak pernah pihak Republik mau berkompromi dalam hal yang menyangkut integritas TNI ini. Dalam suasana seperti inilah (Mr.) Hamid Algadri menjalankan tugasnya sebagai Sekretaris Kementerian Penerangan, yang berkantor di Jalan Cilacap 4, Jakarta. Ia tidak saja harus selalu menyampaikan pesan-pesan pemerintah Republik kepada penduduk Jakarta -- ibu kota yang ketika itu telah didominasi oleh kekuatan militer Belanda -- tapi juga, malah sering, harus membalas propaganda Belanda, yang dirasakannya keterlaluan. Dalam entusiasmenya menjalankan tugas ini, tak jarang Syahrir, teman yang dikaguminya, yang ketika itu menjabat perdana menteri, harus memperingatkannya agar Hamid lebih hati-hati. Jika peristiwa besar yang ingin diketahui, buku ini tak banyak memberikan hal-hal yang baru. Sebagian besar peristiwa historis penting yang diceritakannya telah ternukil dalam kenangan kolektif bangsa. Kesemuanya telah menjadi bagian dari accepted history -- kisah sejarah yang telah diterima kesahihannya. Jika demikian, di manakah lagi tempat "kenangan pribadi" atau "suka duka" dalam konteks sejarah yang telah umum diketahui dan diterima ini? Seandainya sejarah hanyalah sekadar rentetan peristiwa, barangkali memang "kenangan pribadi" tak punya tempat lagi dalam konteks accepted history. Tetapi, inilah sialnya. Sejarah lebih, dan teramat lebih, daripada itu. Pemahaman sejarah yang mendalam hanya dimungkinkan oleh empati yang akrab dengan hari lampau itu. Dan keakraban ini hanyalah mungkin jika kita tidak melihat "pelaku sejarah" hanya sebagai "aktor" yang bermain, bukan sebagai manusia biasa, yang bercita-cita, bermimpi, bercinta, dan tak jarang pula dilanda ketakutan dan keraguan. Karena itu, "kenangan pribadi" akan selalu merupakan sumbangan yang berharga dalam usaha kita memahami proses dan peristiwa sejarah. "Kenangan pribadi" makin mendekatkan kita kepada hakikat sejarah sesungguhnya -- manusia yang berkehendak bergumul dengan nasib dan lingkungannya. Setidaknya ada hal penting yang bisa diharapkan dari "kenangan pribadi". Pertama, tentu saja, wajah manusiawi dari peristiwa sejarah. "Kenangan pribadi" menyumbangkan kepada usaha rekonstruksi sejarah suasana keakraban emosional dengan peristiwa yang terjadi di "negeri asing", yang disebut sejarah itu. Betapa tersinggung rasa kepantasan moral seorang mahasiswa Amerika, George Kahin (yang kemudian sangat terkenal dengan bukunya Nationalism and Revolution in Indonesia), melihat perlakuan tentara Belanda terhadap the grand old man, H. Agus Salim, ketika Yogyakarta diduduki pada awal Agresi Kedua. Kahin protes, dan ia pun ditahan untuk dibawa ke Jakarta. Peristiwa kecil, tetapi betapa manusiawi. Keterangan-peristiwa ("mengapa hal ini terjadi?") yang bercorak hubungan manusia adalah hal yang kedua yang bisa diharapkan dari sebuah "kenangan pribadi". Jadi, kita tak lagi harus selalu terpaku pada keterangan-peristiwa yang bercorak "kronologis" (yang terjadi lebih dahulu dianggap sebagai sebab dari yang terjadi kemudian) ataupun "teoretis", apalagi "ideologis", tetapi juga bisa mendapatkan keterangan-peristiwa yang humanistik. Maka, Hamid Algadri pun berkisah tentang konfrontasi yang harus dihadapinya, sebagai anggota delegasi RI dalam perundingan mengenai Irian Barat, antara Presiden Soekarno, yang menghendaki sikap politik yang keras terhadap Belanda, dan Kabinet Natsir, yang lebih menekankan moderasi. Makna konfrontasi ini barulah kelihatan kemudian, ketika Soekarno makin memperlihatkan ketidaksabarannya dengan demokrasi parlementer yang menjadikan presiden hanya sebagai simbol negara. Pada Natsir ia menemukan kemungkinan yang riil bahwa ada pemimpin pemerintahan yang tak terpukau oleh karismanya. Betapapun "kenangan pribadi" berkisah tentang peristiwa dan kejadian yang teringat dan yang ingin dikenang. Buku ini dapat memperdalam pemahaman kita terhadap peristiwa besar yang telah dilalui bangsa kita. Ditulis dalam bahasa yang enak dengan plot yang tak terpaku pada kronologi yang kaku, maka jadilah buku ini bacaan yang nyaman. Taufik Abdullah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus