Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Regulasi baru antidumping produk baja segera terbit.
Kampanye lintas asosiasi menyuarakan potensi bahaya banjir baja impor.
Perlindungan juga disiapkan lewat pembaruan kebijakan wajib Standar Nasional Indonesia.
BACHRUL Chairi mengecek kembali lembaran kertas di mejanya, Jumat, 12 Maret lalu. Ketua Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) itu berencana mengirimkan sebundel dokumen tersebut kepada Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Sebagai otoritas penyelidikan praktik perdagangan internasional yang tak berimbang, KADI akan mengusulkan penerapan bea masuk antidumping produk baja lembaran dan gulungan canai panas paduan atau hot rolled coil (HRC) alloy impor asal Cina. “HRC alloy, segera,” kata Bachrul kepada Tempo, 12 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rekomendasi kebijakan tersebut menjadi keputusan kedua KADI di sektor besi dan baja pada tahun ini. Sebelumnya, lembaga ini mengeluarkan instrumen trade remedies berupa bea masuk antidumping (BMAD) terhadap produk baja lapis aluminium seng (BjLAS), 11 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bachrul menjelaskan, kebijakan ini merupakan sanksi bagi para eksportir dunia yang bertindak curang atas barang yang diekspor ke Indonesia. Hukuman itu bertujuan menciptakan kesetaraan area bermain (equal level playing field) antara pelaku industri dalam negeri dan negara lain. “Ekspor boleh, tapi harus sesuai dengan kaidah perdagangan internasional yang benar,” ujarnya.
Kebijakan BMAD atas produk baja lapis aluminium seng memang bergulir untuk merespons keluhan pelaku industri baja dalam negeri atas produk impor yang sejak 2016 membanjiri pasar dengan harga tak realistis. Akibatnya, Indonesia Zinc-Alumunium Steel Industries dan Asosiasi Pengusaha Indonesia mencatat tingkat utilisasi pabrik BjLAS hanya di kisaran 50 persen, jauh dari keekonomian industri ini. Data Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA) menunjukkan, hingga 2019, rata-rata produksi baja segala jenis hanya sekitar 41 persen dari kapasitas yang ada.
Pada 11 Januari lalu, Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim melayangkan surat kepada tiga menteri sekaligus: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita. Badan usaha milik negara di sektor baja itu meminta pemerintah melindungi industri dari serbuan produk baja paduan (alloy) impor.
Direktur Utama PT Krakatau Steel Silmy Karim (tengah) berbincang dengan Dirut PT KHI Pipe Industries Utomo Nugroho (kiri), usai mengikuti seremoni Completion Shipment Ekspor Pipa Baja ke Australia, di Cilegon, Banten, Desember 2020. ANTARA/Asep Fathulrahman
Data Badan Pusat Statistik mencatat impor produk baja, dengan kode Harmonized System (HS) 72, per Oktober 2020 telah mencapai 3,7 juta ton. Sebanyak 1,1 juta ton di antaranya merupakan produk baja paduan yang lebih dari separuhnya berasal dari Cina. Impor produk BjLAS juga terus menanjak sejak Juli tahun lalu hingga mencapai puncaknya pada Desember 2020.
Krakatau Steel mensinyalir barang-barang asal Cina itu didatangkan dengan cara yang tak adil, seperti dumping dan pengalihan kode HS (circumvention). Perseroan khawatir praktik unfair trade semacam itu akan memperburuk kondisi industri besi dan baja nasional yang sedang terkena dampak pandemi Covid-19.
Silmy, yang juga menjabat Ketua Umum IISIA, meminta dukungan dari ketiga menteri. Dia meminta pemerintah mengendalikan secara ketat importasi produk besi atau baja, baja paduan, dan produk turunannya. Caranya bisa berupa tidak memberikan rekomendasi atau persetujuan impor atas produk yang bisa dihasilkan oleh produsen dalam negeri atau barang impor yang diduga diperdagangkan dengan cara circumvention. Silmy juga meminta pengawasan dan pemeriksaan barang impor di pelabuhan kedatangan diperketat, terutama terhadap produk baja impor paduan asal Cina.
KRAS—kode Krakatau Steel di bursa saham—pun berharap pemerintah mendukung penyelidikan antidumping HRC alloy asal Cina yang dilakoni KADI. Terakhir, Silmy berharap pemerintah menetapkan bea masuk antidumping yang selama ini tertunda atas produk baja canai dingin (cold rolled coil) asal Jepang, Korea, Cina, Taiwan, dan Vietnam. “Tanpa adanya dukungan dari pemerintah, industri baja nasional akan sulit bertahan jika harus berhadapan dengan produk baja impor,” tulis Silmy dalam suratnya.
•••
RABU pekan lalu, 10 Maret 2021, menjadi hari yang penting bagi Krakatau Steel. Tepat pada momen setahun pandemi Covid-19, yang telah melumpuhkan hampir semua sektor industri di Indonesia, perusahaan pelat merah itu kembali mengapalkan produknya untuk diekspor.
Ekspor itu memang bukan pertama kalinya dilakoni KRAS sepanjang tahun ini. Sebelumnya, perseroan mengekspor produknya, seperti HRC, hot rolled plate (HRP), dan hot rolled pickled oil, ke Malaysia. Tapi pengapalan pekan lalu begitu istimewa lantaran sekitar 20 ribu ton produk ekspor itu dikirimkan ke Benua Biru, yakni ke Portugal, Spanyol, dan Italia. “Satu, (bisa) masuk pasar Eropa. Dua, harganya bagus, € 800 koma sekian,” kata Silmy Karim.
Menurut Silmy, tahun ini Krakatau Steel juga menjalin kerja sama ekspor baja jenis HRP ke Australia. Perusahaan pun sedang bernegosiasi untuk pengiriman selanjutnya ke Eropa. “Kami juga mulai menjajaki pasar ekspor baru ke India pada semester kedua 2021,” ujarnya.
Pandemi setahun terakhir telah mengganggu rantai pasok baja dunia. Tapi agaknya hal itu juga menjadi berkah bagi industri baja di Tanah Air. Pasalnya, importasi baja pun menurun lantaran importir kesulitan mendapatkan barang di luar negeri, juga dihantui nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang tak stabil.
Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia mencatat, pasokan berbagai jenis baja impor ke pasar dalam negeri berkurang rata-rata 36 persen sepanjang 2020. Silmy pun sumringah. Sebab, volume penjualan Krakatau Steel menjadi terkerek naik 20 persen.
Walau begitu, tantangan terhadap industri baja bukannya tak ada sama sekali. Di tengah ketatnya persaingan baja lokal dan baja impor, pasar di dalam negeri mengerut akibat pandemi. Karena itu, produsen domestik kudu memperluas pasarnya di tingkat global, sembari meminta pemerintah mengintervensi lewat beragam kebijakan perlindungan industri dalam negeri.
Pemerintah sebenarnya telah lama menyoroti persoalan impor dalam industri baja nasional. Pada 12 Februari 2020, sebulan sebelum kasus Covid-19 pertama teridentifikasi di Indonesia, Presiden Joko Widodo menyebut baja sebagai satu dari tiga komoditas impor nasional terbesar. “Ini salah satu sumber utama defisit neraca perdagangan,” tutur Jokowi saat itu dalam rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta.
Impor pipa besi dan baja memang meroket lima tahun terakhir. Pada 2016, nilai impornya baru di kisaran US$ 537 juta. Namun, pada 2019, angkanya sudah menembus US$ 1,15 miliar.
Presiden pun memerintahkan pembenahan ekosistem industri besi dan baja, dari soal ketersediaan bahan baku hingga kestabilan harga. Tak hanya itu, Jokowi juga meminta penghitungan dampak impor baja terhadap kualitas dan persaingan harga dengan produk lokal. Dia pun memerintahkan kebijakan nontarif, seperti Standar Nasional Indonesia (SNI), diterapkan sungguh-sungguh untuk melindungi industri baja dalam negeri dan konsumen. “Jangan justru pemberian SNI yang serampangan sehingga tidak dapat membendung impor baja yang berkualitas rendah,” ujar Jokowi.
Menurut Silmy, ketentuan SNI untuk produk baja harus berlaku dari hulu sampai hilir, terutama terhadap baja untuk konstruksi. Asosiasi telah membahas intensif penerapan SNI dengan Kementerian Perindustrian. Silmy mengatakan rancangan ketentuan yang akan mewajibkan SNI hulu-hilir telah rampung. “Setahu saya sudah di meja Menteri. Mudah-mudahan segera ditandatangani,” ucapnya.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier mengatakan proses pembuatan SNI memang dilakukan oleh komite teknis lintas kementerian bersama asosiasi, pelaku industri, serta Badan Standardisasi Nasional (BSN). "Setelah ada konsensus, baru dikirim ke Pusat Standardisasi Industri untuk mendapat persetujuan BSN," kata Taufiek pada Sabtu, 13 Maret lalu.
Ia menjelaskan, saat ini terdapat 28 SNI wajib di sektor besi baja. Ketentuan SNI wajib bertujuan meredam komoditas impor lantaran barang yang masuk ke Indonesia harus memenuhi standar tersebut. "Kalau sampai ada (barang) beredar di luar standar SNI wajib, sudah masuk wilayah hukum," ujar Taufiek.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan bahwa upaya pemulihan ekonomi akan lebih cepat dengan menekan atau mendorong substitusi impor sebesar 35 persen sampai akhir 2022. Salah satu instrumen untuk mengendalikan impor adalah pemberlakuan wajib SNI.
Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia juga bersafari ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk mendiskusikan masalah ini. Silmy menerangkan, selama ini terdapat SNI Baja Tulangan Beton (BjTB) dan SNI Baja Keperluan Umum (BjKU). “Di pasar, orang awam tidak tahu mana BjKU mana BjTB,” tuturnya.
Bahayanya, menurut Silmy, BjKU digunakan untuk membangun proyek infrastruktur. Kementerian Pekerjaan Umum, kata dia, merespons positif. “Untuk proyek di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum diwajibkan menggunakan BjTB, dengan proses blast furnace (tanur tiup) atau electric arc furnace (tanur busur listrik).”
RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo