Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Berita Tempo Plus

Rehal-bambang bujono

Pengarang: djamil soeherman bandung: pustaka, 1984. (bk)

15 Desember 1984 | 00.00 WIB

Rehal-bambang bujono
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PEJUANG-PEJUANG KALI PEPE Novel Djamil Soeherman Penerbit Pustaka, Bandung, 1984, 119 halaman Pengantar oleh Jalaluddin Rakhmat PADA 1904, di Desa Kebon singkep, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Sidoardjo, Jawa Timur, timbul perlawanan terhadap kompeni. Ini sebuah perang sabil yang dipimpin seorang lanjut usia bernama Kiai Hasan Mukmin - konon bekas prajurit Pangeran Diponegoro yang lolos dari tangan Belanda. Penyebabnya, persoalan sewa tanah bagi Pabrik Gula Sruni, yang merugikan rakyat. Perlawanan itu, sebagaimana perlawanan terhadap kompemi pada awal abad ke-20 dan sebelumnya di sini, lantas bisa dipadamkan. Djamil Soeherman, 60, sastrawan kelahiran Surabaya, mengambil peristiwa itu sebagai latar belakang novelnya ini. Tak persis benar, tentu. Kasus sewa tanah ia ganti dengan pembebasan tanah secara paksa untuk jalan kereta api. Kisahnya? Tersebutlah tokoh Kiai Mukmin dari Pesantren Gedangan, yang memimpin tak kurang dari 800 santri. Selain taat menjalankan ibadah, ia juga rajin bekerja dan berlatih silat. Sang Kiai mempunyai seorang santri unggulan, seorang yatim piatu bernama Umar. Di Pesantren ini pun tinggal Ismail, kemenakan Kiai Mukmin, yang juga sudah yatim piatu. Ismail ketika kecil sudah dijodohkan dengan Fatimah, anak bungsu Kiai. Tapi gadis pesantren itu tumbuh dan ternyata hanya bersikap sebagai adik terhadap Ismail, karena hatinya tertambat kepada Umar. Cinta segi tiga tampaknya memang perlu dimunculkan agar novel ini bukan sekadar caratan sejarah, tapi ada suasana romantis dan suspense. Misalnya, penolakan cinta Ismail oleh Fatimah dimanfaatkan pengarang sebagai alasan nekatnya Ismail membebaskan Kiai Mukmin dari tahanan Belanda. Dari peristiwa inilah sebuah perang habis-habisan dimulai. Semuanya berguguran. Ismail, sang Kiai, lalu Ahmad dan Muhammad, kedua kakak Fatimah. Umar sempat lolos, dan mencoba menyelamatkan keluarga Kiai. Tapi gagal. Iatimah tertembak punggungnya, dan istri Kiai didapati Umar sudah syahid. Maka, dengan senapan di tangan dan tubuh hitam oleh asap mesiu, Umar dengan sisa-sisa tenaga melakukan balas dendam. Ia mencari lurah, mantri polisi, dan kaki tangan Belanda lainnya yang membawa surat perintah pengosongan tanah. Lalu, ditembaknya mereka semua - kecuali mantri polisi yang keburu bunuh diri. Dan kemudian Kali Pepe, yang mengalir di samping pesantren, menghanyutkan Umar yang terpeleset kelelahan. Novel ini tampaknya ditulis dengan sangat iancar dan karena itu tanpa pendalaman kisah dan karakter para tokohnya. Semuanya berjalan begitu sederhana. Pejuang-pejuang Kali Pepe memang bukan novel terbaik Djarmil, dibandingkan, misalnva, dengan Perjalanan ke Akhirat (1963), karyanya yang pernah dimuat bersambung di majalah Sastra. Yang mengganggu dari novel Pejuang-pejuang Kali Pepe yakni "Pengantar", yang tak ada hubungan langsung dengan cerita. Barangkali lebih bermanfaat seandainya sebagai pengantar adalah kisah perlawanan Kiai Hasan Mukmin pada 1904. Sehingga merupakan satu referensi yang pas dan bisa mendukung novel yang enak dibaca ini. Bambang Bujono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus