Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Berita Tempo Plus

Setelah cina membuka pintu

Pengarang: john wong london: mac millan press, 1984 resensi oleh: a. dahana dan s. soerono. (bk)

15 Desember 1984 | 00.00 WIB

Setelah cina membuka pintu
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
THE POLITICAL ECONOMY OF CHINA'S CHANGING RELATIONS WITH SOUTHEAST ASIA Oleh: John Wong Penerbit: MaeMillan Press, London, 1984, 246 halaman TELAH banyak buku yang membahas interaksi RRC dengan Asia Tenggara. Sebegitu jauh karya-karya itu Iebih banyak menggarap isu populer, seperti politik diplomasi, ideologi, strategi, atau masalah etnis Cina. Tapi Wong menyentuh tema yang belum banyak dijamah, yakni ekonomi politik (political economy). Karenanya, buku ini merupakan karya unik dalam bidang hubungan RRC - Asia Tenggara. Walau judulnya menyebut wawasan yang luas, Asia Tenggara, cakupan isinya lebih sempit. Penulis membatasi dirinya pada tema hubungan ekonomi RRC dengan Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, dan Muangthai - lima negara ASEAN. Pemilihan judul itu mungkin buat menarik pembaca. Boleh jadi juga data perdagangan dan ekonomi negara Asia Tenggara lain (Birma, Kamboja, Laos, dan Vietnam) sukar diperoleh, karena ketertutupan mereka. Dalam Kata Pengantar, Wong mengatakan bahwa ia memilih tema ekonomi politik karena masalah politik - baik di RRC, di negara-negara ASEAN, maupun di Asia Tenggara secara keseluruhan - banyak mempengaruhi hubungan ekonomi Beijing-Asia Tenggara. Maka, buku ini berkisar pada pembuktian bahwa jatuh-bangun hubungan dagang ASEAN-RRC sangat dipengaruhi faktor-faktor politik. Pentingnya masalah politik itu dibahas Wong dalam lima bab yang mendiskusikan hubungan ekonomi RRC dengan Indonesia, Malaysia, Singapura, Muangthai, dan Filipina. Misalnya, di masa Orde Lama, poros Jakarta-Beijing mengakibatkan hubungan ekonomi RRC dengan Indonesia meningkat. Pada awal 1 950-an, Malaya ikut mengenakan embargo barang-barang strategis, yang didiktekan Amerika, ke Cina. Filipina melarang hubungan dagang dengan negara-negara komunis, karena politiknya mengekor Amerika. Demikian juga Muangthai. Di pihak Cina, karena adanya ikatan politik dengan blok Timur, mereka pun lebih memusatkan hubungan dagang dan kerja sama ekonomi dengan negara-negara sosialis itu. Baru setelah ada pendekatan Beijing-Washington, lebih-lebih setelah Mao wafat dan Deng Xiaoping muncul dengan program modernisasinya, semua itu berubah. RRC lebih membuka diri dan mau mengadakan kontak dagang dengan semua negara, termasuk ASEAN. Dalam menelaah hubungan dagang RRC--ASEAN, Wong mengatakan, dulu neraca perdagangan Cina selalu surplus. Itu digunakan mereka buat menutup defisit perdagangannya dengan negara-negara industri maju - Amerika, Jepang, dan Eropa Barat. Keuntungan itu dinikmati RRC dalam waktu yang cukup panjang. Tapi perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan gejala berbeda. Karena adanya tekanan-tekanan politik, terutama dari Filipina, RRC dipaksa meningkatkan impornya dari ASEAN. Dengan demikian, surplus itu belakangan ini menunjukkan gejala menurun. Dari kaca mata ASEAN, pentingnya hubungan ekonomi dengan RRC didasarkan pada masalah perluasan pasaran ekspor. Karena itu, Wong menganjurkan peningkatan hubungan dagang dengan RRC, di samping Timur Tengah dan negara-negara sosialis. Gunanya untuk mengurani ketergantungan ASEAN pada "pasar tradisional di negara-negara maju". Berbicara tentang peningkatan hubungan ekonomi itu, Wong mengetengahkan dua persoalan yang perlu diamati. Pertama, tentu saja, masalah politik dan kepemimpinan di RRC. Apakah RRC akan terus berjalan di rel "pintu terbuka" seperti dianut Deng sekarang? Apakah kepemimpinan nasional Cina nanti, terutama setelah Deng mundur akan kembali menutup diri? Kalau arah politik Cina kelak tidak mengalami perubahan berarti, mungkin peningkatan hubungan dagang RRC-ASEAN bisa terlaksana. Kemungkinan itu bisa terjadi apabila faktor-faktor di luar ekonomi, terutama politik, bisa dikesampingkan. Pengalaman masa lalu menunjukkan, RRC selalu mencampurkan faktor-faktor politik dalam hubungan dagangnya. Kecurigaan ASEAN tidak akan hilan beitu saja. Isu hubungan Beijing dengan golongan etnis Cina dan partai komums lokal selalu menghantui kawasan Asia Tenggara. Kedua, masalah kemampuan negara raksasa itu meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Saat ini RRC tampaknya belum sanggup menumbuhkan perekonomiannya secara cepat. Laju pertumbuhan 1980 hanya 5%, pada 1981 tercatat 3%. Itu sebagai akibat adanya revisi target pertumbuhan dan pengurangan investasi di banyak sektor setelah Deng menyadari banyaknya kelemahan struktural dalam perekonomian Cina. Walau demikian, karena aktivitas ekonomi Cina sangat besar, lambat laun pengaruh sampingnya akan terasa di ASEAN. Pertumbuhan ekonomi Cina akan membawa dampak positif dan negatif buat perekonomian ASEAN. Di situ pihak, impornya akan meningkat - ini membuka peluang bagi ekspor ASEAN ke RRC. Di pihak lain, ekspornya juga akan meningkat, yang berarti merupakan saingan bagi pasaran ekspor ASEAN di negara-negara maju. Selain itu, Wong juga mengungkapkan hal baru. Dengan mengutip hasil penelitian UNCTAD, terbukti bahwa Cina bukanlah negara yang kaya dengan sumber alam seperti diduga orang selama ini. Cina memerlukan komoditi yang bisa disediakan negara-negara ASEAN: cokelat, gula, kapas, karet, jute, sisal, tembaga, hasil hutan, dan gandum. Berdasarkan studi UNCTAD itu, Wong beranggapan bahwa ekspor beras, minyak bumij dan tembaga Cina bukan ancaman serius bagi ekspor ASEAN. Ancaman ekonomi RRC yang perlu diperhatikan adalah kemampuannya buat mengekspor produksi pabrik yang bersifat padat karya (labour intenstve manufacturtng goods) - yang )uga diproduksi dan diekspor ASEAN - ke negara-negara maju. Secara keseluruhan buku ini berguna. Bahasa dan jargon ekonomi yang digunakan relatif mudah dicerna orang awam di bidang ekonomi. Ditambah dengan pandangan yang tidak memihak, dan data yang kaya, Wong berhasil meyakinkan pembaca akan pentingnya memperhitungkan faktor Cina dalam konteks politik dan ekonomi ASEAN. Dalam menghadapi prospek pencairan hubungan Jakarta - Beijing, karya Wong amat berguna sebagai rujukan. Sebagai negara yang belum membuka hubungan ekonomi langsung dengan RRC, kita bisa belajar banyak dari pengalaman negara-negara ASEAN lainnya. Terutama bagaimana melakukan deal dengan RRC. Tentunya itu sebagai perbandingan saja, karena tiap negara punya cara yang berbeda-beda. A. Dahana dan S. Soerono * Masing-masing sinolog pada Deprtemen Sejarah, dan kandidat Ph.D. pada Departemen Ekonomi Universitas Hawaii.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus