PELAKSANAAN HUKUM KEWARISAN ISLAM DALAM LINGKUNGAN ADAT MINANGKABAU Oleh: Dr. Amir Syarifuddin Penerbit: PT Gunung Agung, Jakarta, l984, 374 halaman BAGAIMANA mungkin hukum Islam dan hukum adat bisa bergandengan tangan mengatur masyarakat Minangkabau? Padahal, dalam pewarisan, hukum Islam menetapkan bahwa ahli waris utama adalah anak dan orangtua, sementara hukum adat, menurut sistem kekeluargaan matrilineal, tidak memberi hak kepada anak, tapi kepada kemenakan. Selintas kedua sistem hukum itu seperti bertolak belakang. Bahkan seorang ulama asal Minang, Syekh Ahmad Khatib, yang meninggal di Mekkah awal abad ini, pernah mengatakan bahwa hukum adat Minang itu adalah hukum haram. Sebab, kemenakan memakan harta waris yang seharusnya hak anak-anak yatim. Setelah melalui proses waktu, kedua sis tem hukum itu sekarang bisa berjalan sejajar. Titik kompromi yang dicapai: untuk pewarisan harta pusaka turun-temurun dari nenek moyang berlaku hukum adat. Sedangkan untuk harta pencaharian si mati, yang semula juga menurut hukum adat, disepakati berlaku hukum Islam. Amir Syarifuddin dalam penelitiannya, yang khusus menyoroti pewarisan harta pencahanan, menemukan lebih dari 90% responden, baik di kota maupun di desa, memberlakukan hukum Islam untuk pewarisan semacam itu (halaman 292). Sedangkan untuk harta pusaka kaum, ninik mamak dan alim ulama sepakat memberlakukan hukum adat. Artinya, anak tidak berhak atas harta itu. Sebab, untuk harta pusaka yang dimiliki secara kolektif, menurut Amir Syarifuddin, si pewaris hanya menjadi pengurus, dan bukan pemilik. Karena itu. sesuai dengan hukum Islam, seorang anak tidak berhak mendapat harta warisan yang tidak jelas asal usulnya melalui almarhum ayahnya. Disertasi yang dituangkan Amir Syarifuddin dalam bentuk buku ini cukup luas membentangkan cakrawala mengenai hukum yang berlaku di Minangkabau. Bahkan, ia membuktikan bahwa teori resepsi - hukum lslam baru berlaku jika diterima oleh hukum adat - yang diundangkan pemerintah Hindia Belanda tidak benar, sekurangnya di Minangkabau. Sebab, di daerah itu, yang berlaku sebaliknya: hukum adat bisa tetap hidup bila sesuai dengan hukum Islam. Hanya, buku ini benar-benar utuh sebagaimana layaknya disertasi. Tidak kelihatan usaha menjadikannya sebuah buku yang memikat untuk dibaca semua khalayak. Juga tidak selembar halaman pun yang dikorbankan guna memperkenalkan pengarang yang namanya sama dengan nama almarhum bekas perdana menteri Republik Indonesia di awal Kemerdekaan. Karni Ilyas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini