MALAY POLITICS IN SARAWAK, 1946-1966. THE SEARCH FOR UNITY AND POLITICAL ASCENDANCY. Oleh: Sanib Said. Penerbit: Oxford University Press, Singapura, 1985, 166 halaman CERITA tentang Sarawak lazimnya adalah kisah tentang Dinasti Brooke. Karena itu, ia selalu dimulai dengan nama James Brooke, pedagang dari Inggris, yang mengobrak-abrik wilayah Kesultanan Brunei. Kala itu, menjelang akhir abad ke-18. kekuasaan kesultanan Melayu ini meliputi kawasan utara Kalimantan hingga Filipina Selatan. Dengan sedikit muslihat, James Brooke akhirnya mendapatkan wilayah yang sekarang disebut Sarawak itu. Kehadiran James Brooke ternyata tidak banyak mengubah struktur kekuasaan tradisional. Ia sejauh mungkin mencoba mempertahankan kebiasaan yang ada. Begitu pula para penerusnya. Bahkan pada masa Charles Brooke, bahasa Melayu dijadikan bahasa nasional. Satu hal yang patut dicatat dari kehadiran mereka adalah memudarnya peran politis puak Melayu di Sarawak. Pertikaian antara kelompok nasionalis dan kaum aristokrat memuncak tatkala Dinasti Brooke menyerahkan Sarawak ke tangan pemerintah Inggris. Sudah lama, memang, Inggris ingin menyertakan wilayah tersebut ke dalam imperiumnya. Baru pada 1946, setahun setelah Perang Dunia II berakhir, Sarawak sepenuhnya tunduk pada Ratu Inggris. Keputusan itu sangat menyakitkan kaum Melayu dan sebagian suku Dayak. Menjelang 1960-an kedua kelompok yang bertikai itu mengadakan rekonsiliasi. Isu penggabungan dengan Inggris sudah tidak begitu bergema di sana. Sanib menyebut beberapa faktor yang menyebabkan mereka "bersatu", antara lain, kesenjangan dalam bidang ekonomi maupun pendidikan dibandingkan keturunan Cina. Hal lain yang memperkuat munculnya faktor ini, karena keturunan Cina dinilai mereka sebagai "teroris" berpaham komunis. Faktor lainnya adalah gagasan penggabungan Sarawak, Brunei, dan Sabah berdirinya Partai Rakyat Brunei, partai (orang Melayu) pertama di Kalimantan, serta dimerdekakannya Semenanjung Malaya. Dengan rekonsiliasi, pemuka puak Melayu berharap dapat mengatasi kesenjangan tadi, serta sekahgus memperkuat posisi politis. Untuk itu mereka pun mendirikan partai politik. Namun, kebersamaan mereka tidak berumur panjang. Selain harus menghadapi agitasi Partai Rakyat Bersatu Sarawak (SUPP), yang disusupi paham komunis, mereka disodori tawaran menggabungkan diri di bawah bendera Malaysia - persekutuan Malaya, Sarawak, Brunei, dan Sabah. Pemaparan sejarah Sarawak melalui pendekatan intraetnis ternyata mengasyikkan. Sejauh ini jarang ada pakar yang mau melakukan hal itu tatkala ia sampai pada keputusan ingin menyimak wilayah yang sekarang dikenal sebagai Malaysia itu. James Lapian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini