Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Ciptaan generasi empat lima

Singapura : oxford university press, 1985 resensi oleh : burhan magenda. (bk)

23 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GOLKAR OF INDONESIA: AN ALTERNATIVE TO THE PARTY SYSTEM Oleh: David Reeve Penerbit: Oxford University Press, Singapore, 1985, 405 halaman SETELAH tiga kali pemilu kemenangan dicapai Golongan Karya (Golkar) selama pemerintahan Orde Baru, timbul pertanyaan tentang basis politik dan sejarah Golkar, yang berdiri 20 Oktober 1964. Mengapa Golkar tetap mengumpulkan sekitar 62 persen pemilih pada pemilu 1971 dan 1982? Apakah Golkar memang merupakan perwujudan ide lama pemikir politik Indonesia tentang penerapan "falsafah keluarga" dalam kehidupan politik, seperti dikemukakan Ki Hajar Dewantoro pada 1920-an? Pertanyaan-pertanyaan inilah, antara lain, yang dijawab David Reeve, sejarawan politik Australia, yang sekarang menjadi dosen tamu pada Studi Australia di Fakultas Sastra UI, Jakarta. Buku yang merupakan disertasi pada Universitas Sydney ini dapat dianggap sebagai hasil kerja yang cukup kontributif terhadap studi ilmu politik di Indonesia, khususnya studi tentang lembaga-lembaga politik. Terutama di tengah-tengah perubahan "mode" studi politik ke arah teori-teori ekonomi politik, belum banyak diketahui tentang lembaga-lembaga politik pada masa Orde Baru. Studi ini juga banyak menguraikan proses politik pada periode yang paling jarang diteliti dalam sejarah politik Indonesia yakni periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Dalam kerangka teoretisnya tentang Golkar, Reeve melihat pada pendekatan historis, khususnya pada periode 1920-an, ketika pemuka-pemuka politik nasional seperti Ki Hajar Dewantoro dan Suryokusumo berbicara tentang "demokrasi dengan kepimpinan". Dalam pandangan mereka, yang diteruskan oleh tokoh-tokoh seperti Wongsonegoro, R.P. Suroso, Prof. Djokosutono, dan Prof. Supomo, negara harus dipimpin orang-orang bijaksana yang bersifat paternalistik terhadap rakyat, tanpa melalui pemilihan langsung. Tokoh-tokoh ini tidak setuju dengan sistem "satu suara satu orang" karena bisa menjurus ke arah pemerintahan totaliter, yang justru diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial Belanda. Ide pokoknya adalah suatu paternalisme yang "benevolent" - ada pengayoman dari pemimpin terhadap rakyat, seperti halnya dengan Morokaki pada pemerintahan desa Jawa lama. Mengenai perbedaan kelas, pandangan ini juga menganggap sebagai hal yang bertentangan dengan prinsip kolektivisme dan kekeluargaan. Yang mereka inginkan adalah "sosialisme tanpa pertentangan kelas". Ide inilah yang melahirkan teori "negara integralistik" dari Prof. Supomo, serta melandasi prinsip "Demokrasi Terpimpin" Bung Karno sejak 1959 sampai 1965. Ide ini berbeda, misalnya, dengan ide Bung Hatta, yang melihat individualisme tetap penting tanpa harus menjurus pada sikap individualistis. Walau pengantar teoretisnya cukup baik, Reeve kurang menjalin kerangka empiris secara konsisten, yang menghubungkan teori tersebut dengan perkembangan Golkar. Padahal, justru inilah yang menyebabkan Golkar mendapat dukungan luas dari kalangan adat - baik di Jawa maupun di luar Jawa dalam usahanya melembagakan tradisi paternalisme yang sudah ada pada hampir semua masyarakat Indonesia. Ini mungkin disebabkan oleh usaha Reeve yang terlalu ambisius, yakni ingin meliput perkembangan "Golkar" sejak 1945 sampai 1971 (bahkan dengan epilog sampai 1983). Meski tidak secara jelas dititikberatkan, Reeve, dengan uraian sejarahnya, melihat Golkar sebagai ciptaan Generasi 45. Hal ini terlihat dari usaha membangun suatu "partai tunggal" oleh eksponen Angkatan 45, dengan tokoh-tokoh seperti Ahmadi, Letkol S. Parman (Seskoad), Mas Isman, dan A.M. Hanafi, melalui Kongres Rakyat, sejak 1955. Jalan ini merupakan alternatif bagi banyak eksponen 45, karena kekecewaannya terhadap parpol, dan makin mendapat angin dengan konsepsi Bung Karno pada 1957, yang ingin menghapuskan partai-partai, serta menganggap Golongan Fungsional (kemudian diubah menjadi istilah Golkar), sebagai alternatif. Pada tahun itu juga, ide ini diperkuat TNI-AD dengan pembentukan berbagai Badan Kerja Sama (BKS) dan Front Nasional pada 1958. Dalam usaha membendung pengaruh PKI, TNI-AD berhasil menggabungkan berbagai ormas dan parpol ke dalam BKS sampai 1962. Periode inilah yang dianggap Reeve sebagai awal kejayaan Golkar, tapi kemudian menurun selama 1963-1965 karena peranan parpol yang meningkat. Selama periode menurunnya Golkar, satu kemajuan kelembagaan dicapai, yakni pembentukan Sekber Golkar pada Oktober 1964, yang merupakan koalisi dari TNI-AD, kelompok Angkatan 45 nonparpol, kelompok profesional, dan unsur-unsur tentara pelajar. Bersama-sama dengan SOKSI, Sekber Golkar merupakan koalisi kelompok anti PKI, yang berkembang pesat setelah 1964. Besarnya peranan parpol selama 1963-1965 dan persaingan di antara parpol itu sendiri membuat ide "partai tunggal", dan bahkan "partai pelopor", tidak pernah terwujud walaupun Partindo dan PNI, pada periode yang berbeda, pernah berusaha ke arah itu. Dari sudut alih generasi, Sekber Golkar dan SOKSI merupakan satu-satunya lembaga politik yang seluruh kepemimpinannya ada pada Generasi 45, di luar birokrasi seperti TNI-AD. Tidak heran jika organisasi ini sama-sama bersikap skeptis terhadap parpol, serta sama-sama dilandasi sikap anti-komunis yang kuat pula. Basis politik ini tentu berbeda setelah periode i966, khususnya menjelang pemilu 1971. Salah satu pendukung utama Golkar dalam memenangkan pemilu 1971 adalah Kokarmendagri, yang melalui Permen 12/1969 menjamin loyalitas seluruh pegawai negeri. Dalam uraian mengenai ini, Reeve kurang melihat peranan korps pegawai profesional yang tergabung dalam Serikat Sekerja, yang sejak 1950-an tidak mau berafiliasi pada parpol. Sikap nonparpol inilah yang memberikan dukungan anggota pada SOKSI di awal 1960-an, serta juga peranan yang menonjol dari SSKDN (Serikat Sekerja Kementerian Dalam Negeri), yang menjadi inti Korpri. Peranan pamong praja karier dalam SSKDN (Kokarmendari) ini cukup penting dalam memenangkan pemilu 1971 untuk Golkar, khususnya dengan belajar dari kemenangan PNI pada pemilu 1955, yang memanfaatkan aparatur birokrasi Sipil. Pendukung-pendukung lainnya adalah ormas-ormas yang sudah ada sejak awal 1960-an, seperti Kosgoro, SOKSI dan MKGR. Peranan Bapilu, tidak banyak diuraikan Reeve, karena sudah cukup tercakup dalam studi sebelumnya, misalnya oleh Nishihara dan Ken Ward. YANG juga kurang dibahas Reeve adalah konstituen baru Golkar, khususnya setelah pemilu 1971. Ideologi "paternalisme" diterapkan Golkar dengan merangkul tokoh-tokoh adat di seluruh Indonesia sehingga merupakan alternatif terhadap ideologi "pertentangan kelas" dari Marxisme/ Leninisme. Pendukung lainnya adalah berbagai kelompok golongan Islam, yang setelah bubarnya Masyumi (1960), seolah-olah tidak memiliki afiliasi. Juga Golkar mampu memberikan payung untuk golongan Islam yang baru muncul: pegawai negeri berlatar belakang Islam (dalam KDI) berbagai kelompok pengajian yang sebenarnya menampung "golongan menengah baru Islam di perkotaan" - Al Hidayah, MKGR GUPPI, Satkar Ulama, dan lainnya -yang juga memiliki lapisan pendukung serupa di pedesaan. Dari sudut ini, Golkar merupakan suatu lembaga politik yang integratif, yang dalam sejarah kita mungkin hanya bisa ditandingi oleh birokrasi (terutama birokrasi sipil) dan PNI pada tahun-tahun 1963-1965, dalam tingkat ke majemukannya. Dengan kenyataan ini, Golkar masih tetap menghadapi masalah yang ditanyakan Reeve dalam bukunya, yakni bagaimana menjadi kekuatan politik yang dinamis di Indonesia. Hal ini tentu menyangkut proses pendewasaannya menjadi partai kader, serta tingkat kemandiriannya, sehingga dukungan birokrasi harus dianggap bantuan "gawat darurat". Dari sudut ini, buku Reeve (walaupun udak didasan pada wawancara, karena masalah izin), tetap merupakan hasil karya yang patut dibaca - dan diterjemahkan - agar kita dapat memahami latar belakang sejarah suatu lembaga politik yang menentukan masa depan kita. Burhan Magenda

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus