GURU PINANDITA Oleh: Prof. Dr. Selo Soemardjan (et al.) Penerbit: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesa, Jakarta, 1984, 666 halaman MUNGKIN inilah satu-satunya buku yang dikarang belasan guru besar atau lebih dari dua puluh cendekiawan terpandang di Indonesia. Guru Pinandita, yang berarti guru yang dipendetakan disumbangkan oleh para murid Almarhum Prof. Djokosoetono, S.H., yang kini menggantikan gurunya itu, untuk memperingati 80 tahun hari kelahiran sang guru hesar, 5 Desember 1984 lalu. Selain para murid, rekan-rekan Almarhum ikut pula memberi sumbangan. Prof. Djoko, ang ikut mendirikan Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, berdasarkan nostalgia para muridnya memang seorang "guru besar". Ia tidak saja memberi murid-muridnya ilmu, tapi juga membuat murid-muridnya bisa menggali dan mengembangkan ilmu itu. Ia juga mengajar murid-muridnya berpikir tertib dan Jernih. Almarhum, yang meninggal 6 September 1965, memang dikenal dekat dengan murid-muridnya. Ajaran-ajarannya membentuk cara berpikir murid-muridnya. Hakim Agung Bismar Siregar, misalnya, mengakui kemampuannya untuk mengorbankan kepastian hukum demi keadilan dalam putusan-putusannya - yang oleh sementara orang dianggap kontroversial - adalah berkat tempaan gurunya itu. Sementara itu, Prof. Dr. Tapi Omas Ihromi membenarkan bahwa kuliah Almarhum telah membentuk pemahaman hukum murid-muridnya. Bahkan Prof. Dr. Selo Soemardjan, yang mengkoordinasikan peringatan hari lahir Almarhum, menganggap Prof. Djoko sebagai panutan dalam hidupnya. Sederhana, kutu buku, disiplin akan waktu, terbuka, dan tidak kaku, itulah gambaran murid-muridnya tentang beliau. Hanya saja, walau sangat pintar, ia sangat pemalu. Menurut Harjono Tjitrosoebono, ketika mahasiswa, Prof. Djoko tidak berani ujian formal, sehingga terpaksa para gurunya datang ke tempatnya untuk mengujinya secara informal. Ilen Surianegara malah menyebut gurunya itu tidak pandai mengambil hati orang bermanis-manis - sehingga tidak berbakat sebagai diplomat. Ilen, yang beberapa kali jadi duta besar, juga menyebut gurunya itu tidak fasih berbahasa asing. Buku ini, yang tebalnya 666 halaman, patut dibaca mahasiswa hukum masa kini. Terutama mereka yang hanya sempat menyaksikan patung Almarhum di FH UI dan PTIK, serta hanya mendengar cerita tentang Almarhum dari guru-guru besar bekas muridnya. Sebab, dalam buku ini, juga dimuattulisan-tulisan tentang pandangan dan ajaran Almarhum dalam berbagai bidang ilmu hukum. Prof. Padmo Wahyono menguraikan beberapa teori ketatanegaraan Almarhum. Prof. Mr. Dr. S. Gautama menjelaskan pandangan Almarhum terhadap Hukum AntarTata Hukum. Prof. Oemar Seno Adji tentang hukum pidana, dan Prof. Dr. Awaloedin Djamin, M.P.A. tentang ajaran-ajaran Almarhum dalam ilmu kepolisian. Namun, sebagai buku kenangan, kumpulan tulisan ini menjadi tidak layak karena banyak penulis yang hanya asyik menceritakan biografinya sendiri - yang tidak ada kaitan sama sekali dengan Prof. Djoko sebagai fokus isi buku. Kecuali itu, beberapa guru besar, misalnya Soebekti dan Priyatna Abdurasyid, menulis artikel lepas yang tidak ada hubungan dengan pribadi dan ajaran Almarhum. Bahkan pidato Widjojo Nitisastro, ketika dikukuhkan sebagai guru besar, sungguh tidak layak untuk buku kenangan ini. Karni Ilyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini