Antologi Cerpen Nugroho Notosusanto HUJAN KEPAGIAN (Penerbit: PN Balai Pustaka, Jakarta, 1983, 69 halaman) TIGA KOTA (Penerbit: PN Balai Pustaka, Jakarta, 1983, 76 halaman) RASA SAYANGE (Penerbit: Pustaka Jaya, Jakarta, 1983, 132 halaman). SEJAK tahun 1950-an, estafet penulisan cerpen di Indonesia terus berlanjut. Penulisnya, tentu saja, silih berganti, dan mutunya naik-turun. Salah seorang penulis cerpen tahun 1950an itu ialah Nugroho Notosusanto - yang pada masanya juga menulis timjauan. Dari sekian banyak cerpen Nugroho, 25 buah diterbitkan ke dalam tiga antologi pribadi. Artinya, tidak dicampur dengan hasil karya sastrawan lain. Enambuah dalam Hujan Kepagian (Balai Pustaka, 1958), sembilan di Tiga Kota (Balai Pustaka, 1959), sisanya dalam Rasa Sayange (Pembangunan, 1961). Tahun 1983 lalu, ketiga antologi Nugroho itu mengalami cetak ulang. Dua judul terdahulu buat keempat kalinya. Sedangkan Rasa Sayange, kini beralih ke penerbit Dunia Pustaka Jaya, buat kali kedua, tapi dengan sampul tebal. Ada dua hal yang segera tampak begitu kita rampung membaca ketiga antologi imi. Pertama, Perang Kemerdekaan banyak memberi ilham kepada Nugroho. Dari sejumlah cerpennya, sepuluh mengambil kejadian pada masa itu, dan empat (Senyum, Vickers Jepang, Jeep 04-1001 Hilang, dan Puisi) menjadikan masa tersebut sebagai latar belakang cerita. Sebelas cerpen lainnya berlangsung di "zaman normal". Kedua, penguasaan teknisnya untuk menghasilkan cerita yang pendek, tetapi selesai. Memang ada satu di antara cerita pendeknya itu kurang berhasil, tapi aspek tekniknya tetap tampak dikuasai penulisnya. Andai kata diperlukan catatan ketiga, tentulah itu menyangkut bahasa. lahasa Indonesia Nugroho cukup hidup, bersih, juga jelas. Tentang cerpen berlatar belakang Perang Kemerdekaan, dapat diambil kesan bahwa Nugroho akrab dengan seluk-beluk interiornya. Maklum, dia pernah aktif dalam Tentara Pelajar di Jawa Tengah. Tetapi, betapapun hebat dan kayanya seseorang akan pengalaman perang, semua itu belum ada bobot sastranya selama belum dituliskan. Semua itu perlu dihayati kembali, direnungkan ulang, disaripatikan, kemudian baru diJabarkan dengan umbu-bumbu fantasi di sana-sini. Seperti halnya beberapa sastrawan kita yang dulu ikut Perang Kemerdekaan, Nugroho juga melakukan hal-hal serupa. Nugroho, seperti penulis lainnya, lewat cerpen-cerpennya juga menyematkan sesuatu. Ada humor, ada kecemasan, tidak sedikit pula renungan, pergumulan batin, gairah buat hidup, sindiran, atau protes halus. Tentang protes halus ini, rasanya perlu disebut secara khusus, karena tokoh cerpen Nugroho tidak bergemuruh, apalagi berandalan, seperti halnya pelaku-pelaku dalam cerpen Trisnoyuwono. Perhatikan petikan berikut ini: . . . Ketika matari ada di puncak langit, aku telah menambil keputusan baru. Aku tak tahu betul, apakah aku akan ke Pelayaran Niaga, ke Angkatan Laut atau belajar dulu. Tapi satu hal pasti: aku akan kembali ke laut. Dan mendesau suara Ayah dalam telingaku, "Ia pasti jadi priyayi juga. Priyayi laut!" (Rasa Sayange, 1983, halaman 105). Perang Kemerdekaan juga dipakai Nugroho menghadirkan tragedi. Satu di antaranya mengisahkan seorang penodong dari kalangan eks pejuang keturunan priayi. Suatu malam, sesudah mencoba segala usaha yang serba gagal saja, akhirnya dia hendak menodong. Keputusan mata gelap itu terdorong oleh penderitaan istrinya yang hamil ranum di pondok reyot, di kawasan Senen yang pengap. Calon korban pertama si penodong ternyata rekan seperjuangannya melawan Belanda. Itulah "aku" dalam cerpen Vickers epang. Penodongan itu gagal total, karena "aku" mengenali gagang pistol yang ditodongkan tidak ada magazin pelurunya. Yang berkembang kemudian adalah percakapan akrab. Si penodong mengaku terbuang dari keluarganya karena menawini anak cank desa yang merawatnya ketika kena mortir Belanda. Dia dibuang karena istrinya itu, "Biarpun pelajar SMP tapi di mata mereka ia tetap anak desa. Jadi merendahkan martabat keluarga" (Tiga Kota, 1983, halaman 63). Tampak ielas beberapa protes (minimal sindiran) penulisnya tersematkan di situ: Pertama, tertuju kepada kaum sok-ningrat penganut feodalisme kedua, kepada kaum yang gampbng menyerah kepada Nugroho memang penulis yang bukan sembarang bercerita lewat cerpen-cerpennya. Senantiasa ada saja yang harus kita teliti dan renungkan kembali dari mereka. Dalam bentuk-bentuk fisik yang singkat, beberapa cerpen Nugroho tak kalah mengasyikkannya daripada cerpennya yang panjang-panjang. Sungai dan Ular, misalnya, bisa dianggap cerpen Indonesia yang berhasil. Aspek berceritanya, kuat. Namun, "arah-arah yang dituju"-nya (meminjam istilah Iwan Simatupang) juga tak sedikit. Tinggal menagih kesanggupan pembaca buat menapak sendiri "arah-arah" itu. Tapi bukan berarti semua cerpen Nugroho di ketiga buku ini bermutu tinggi. Kebayoran 1954 dan Raden Satiman, misalnya, jelas sulit dimasukkan ke golongan bagus. Kendati begitu, itu tidak mengurangi posisi Nugroho Notosusanto sebagai cerpems. Sebab, kedua cerpen itu ditulisnya ketika belum lagi genap 23 tahun, ketika romantika masih pantas bila sering lepas sendiri. Soalnya sekarang: Masih akan lahirkah cerpen-cerpen sebagus itu dari Nugroho Notosusanto? Atau novel-sejarah, bahkan. Satyagraha Hoerip.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini