Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Repertoar film indonesia mengerikan

Wawancara tempo dengan arifin c. noor, penulis skenario, 2 kali memenangkan hadiah citra ffi tentang ide, waktu, persiapan penulisan skenario, kesan terhadap dunia penulisan skenario.

26 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARIFIN C. Noor kelahiran Cirebon tahun 1941, adalah penulis skenario terlaris dewasa ini. "Saya kini bisa hidup hanya dari hasil menulis skenario", begitu ia pernah berkata. Sebelum dikenal sebagai penulis skenario -- dua kali memenangkan hadiah Citra FFI -- ia lebih terkenal sebagai penulis dan sutradara drama. Ia pendiri dan sutradara tetap Teater Kecil, yang sejak beberapa tahun terakhir ini selalu mengisi cara di Taman Ismail Marzuki. Sebagai penulis skenario film Sesuatw Yang Indah, Arifin pekan silam menyempatkan diri berwawancara dengan wartawan TEMPO, Zulkifli Lubis. Berikut ini adalah rekaman wawancara itu: Tanya: Ide cerita Sesuatu Yang Indah itu berasal dari anda atau Wim? Jawab: Itu ide Wim Umboh. Sampai sekarang, setelah hampir 7 tahun sebagai penulis skenario saya belum pernah menulis skenario berdasarkan ide cerita yang datang dari saya. T: Bagaimana cara Wim menyampaikan ide tersebut pala anda? J: Mula-mula Wim menceritakan pokok-pokok ceritanya pada saya lengkap dengan keinginan-keinginannya. Kemudian kami bersama-sama ke Irian Jaya, saya dibawanya ke tempat-tempat bakal lokasi. Selama di sana kami terus berdiskusi, terutama mengenai hal-hal yang menyangkut karakter pelaku. Setelah saya merasa agak lengkap, saya buat sinopsis yang agak panjang. Dan Wim memberi beberapa catatan dalam sinopsis tersebut yang kemudian dilanjutkan lagi dengan diskusi, yang biasanya kalau dari pihak saya berkisar segi logika dan sebagainya. Kecuali kalau dia mau bikin dongeng. T: Penulisan skenario ini dilakukan seluruhnya sebelum pemotretan film atau sembari pemotretan? J: Dengan Wim, cara kerjanya rupanya agak istimewa. Kalau dalam teater, saya biasa mengerjakan hal serupa itu. Naskah lahir bersama-sama dengan latihan. Pada Wim juga begitu, meskipun tidak sepenuhnya. Ada bagian-bagian yang sambil jalan dia katakan pada saya kadang-kadang. Nah ini kami diskusikan. T: Bagaimana kerjasama anda dengan Wim sebagai sutradara? J: Kerjasama dengan Wim itu agak lebih enak dia sutradara dia juga produser. Lebih dari itu dia juga tahu dunia penciptaan, sehingga ada keleluasaan dan kebebasan untuk berdiskusi secara terbuka. Dan saya merasa kerjasama itu sangat memuaskan. Terus terang saja waktu film Senyum Di Pagi Bulan Desember -- saya kira skenario saya yang paling baik adalah di situ - ternyata Wim mengerjakan film itu jauh lebih baik dari skenario saya. T: Apakah anda juga terjun ke lapangan ketika proses pembuatan film ini? J: Nggak. Cuma biasanya kalau Wim mau berangkat kami diskusi lebih dulu. Tapi kalau lagi shocting di Jakarta kadang-kadang saya juga hadir. T: Mengingat bahwa film ini bercerita secara intensif mengenai kehidupan penerbang dan penerbangan sesuatu yang amat baru bagi dunia film kita - bisakah anda kisahkan mengenai persiapan yang anda lakukan untuk menulis skenario tersebut? J: Pada waktu kami di Irian Jaya, saya selalu ditemani Kapten Tri. Kordinator heli Pelita Air Service, lama di sana saya banyak dibantu dan dibimbingnya, terutama menjawab segala macam pertanyaan yang saya lontarkan mengenai penerbangan. Dari mulai soal cuaca, jumlah kecelakaan, pendidikan penerbangan sampai pada tahyul para pilot, itu saya tanyakan. T: Bagaimana komentar anda setelah menonton film tersebut? J: Secara keseluruhan saya bilang bagus. Malah, setelah melihat film ini, saya melihat beberapa kekurangan saya sebagai penulis skenario. Terutama dalam hal penyusunan adegan dan dialog. T: Bagaimanakah secara umum kesan anda terhadap dunia penulisan skenario film ? J: Kalau menurut saya, penulisan skenario sekarang ini tarafnya masih elementer termasuk saya. Yang tidak elementer mungkin Asrul Sani. Di sini ada beberapa kelemahan kita. Media film itu sendiri belum dikuasai sepenuhnya oleh penulis skenario. Dia harus belajar untuk dapat pengalaman juga. Seperti menulis naskah sandiwara, saya menemukan berbagai-bagai kemungkinan komposisi berbagai-bagai kemungkinan bentuk, berbagai-bagai kemungkinan cara berekspresi. Itu tentu saja karena pengalaman bertahun-tahun, bukan karena belajar secara teoritis saja. T: Bagaimana dengan ide cerita? J: Nah tentang ini saya akan blak-blakan. Repertoar film Indonesia untuk saya sangat mengerikan sekali. Hampir bisa dikatakan tidak ada variasi, padahal hidup ini penuh variasi Realitas ini kayanya bukan main, tapi film kita kok miskinnya bukan main. Berarti ini suatu bukti bahwa film kita belum secara utuh merefleksikan kehidupan kita sendiri. T: Apa anda bermaksud jadi sutradara? J: Tahun 1976 saya jawab 'tidak'. Tapi sekarang saya jawab 'ya'. Tapi itu kalau saya punya repertoar sendiri. Atau paling tidak repertoar yang menang saya sukai. Maha itu dalam waktu dekat ini saya akan mulai berguru pada Wim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus