ARIFIN C. Noor kelahiran Cirebon tahun 1941, adalah penulis
skenario terlaris dewasa ini. "Saya kini bisa hidup hanya dari
hasil menulis skenario", begitu ia pernah berkata. Sebelum
dikenal sebagai penulis skenario -- dua kali memenangkan hadiah
Citra FFI -- ia lebih terkenal sebagai penulis dan sutradara
drama. Ia pendiri dan sutradara tetap Teater Kecil, yang sejak
beberapa tahun terakhir ini selalu mengisi cara di Taman Ismail
Marzuki.
Sebagai penulis skenario film Sesuatw Yang Indah, Arifin pekan
silam menyempatkan diri berwawancara dengan wartawan TEMPO,
Zulkifli Lubis. Berikut ini adalah rekaman wawancara itu:
Tanya: Ide cerita Sesuatu Yang Indah itu berasal dari anda
atau Wim?
Jawab: Itu ide Wim Umboh. Sampai sekarang, setelah hampir 7
tahun sebagai penulis skenario saya belum pernah menulis
skenario berdasarkan ide cerita yang datang dari saya.
T: Bagaimana cara Wim menyampaikan ide tersebut pala anda?
J: Mula-mula Wim menceritakan pokok-pokok ceritanya pada saya
lengkap dengan keinginan-keinginannya. Kemudian kami
bersama-sama ke Irian Jaya, saya dibawanya ke tempat-tempat
bakal lokasi. Selama di sana kami terus berdiskusi, terutama
mengenai hal-hal yang menyangkut karakter pelaku. Setelah saya
merasa agak lengkap, saya buat sinopsis yang agak panjang. Dan
Wim memberi beberapa catatan dalam sinopsis tersebut yang
kemudian dilanjutkan lagi dengan diskusi, yang biasanya kalau
dari pihak saya berkisar segi logika dan sebagainya. Kecuali
kalau dia mau bikin dongeng.
T: Penulisan skenario ini dilakukan seluruhnya sebelum
pemotretan film atau sembari pemotretan?
J: Dengan Wim, cara kerjanya rupanya agak istimewa. Kalau dalam
teater, saya biasa mengerjakan hal serupa itu. Naskah lahir
bersama-sama dengan latihan. Pada Wim juga begitu, meskipun
tidak sepenuhnya. Ada bagian-bagian yang sambil jalan dia
katakan pada saya kadang-kadang. Nah ini kami diskusikan.
T: Bagaimana kerjasama anda dengan Wim sebagai sutradara?
J: Kerjasama dengan Wim itu agak lebih enak dia sutradara dia
juga produser. Lebih dari itu dia juga tahu dunia penciptaan,
sehingga ada keleluasaan dan kebebasan untuk berdiskusi secara
terbuka. Dan saya merasa kerjasama itu sangat memuaskan. Terus
terang saja waktu film Senyum Di Pagi Bulan Desember -- saya
kira skenario saya yang paling baik adalah di situ - ternyata
Wim mengerjakan film itu jauh lebih baik dari skenario saya.
T: Apakah anda juga terjun ke lapangan ketika proses pembuatan
film ini?
J: Nggak. Cuma biasanya kalau Wim mau berangkat kami diskusi
lebih dulu. Tapi kalau lagi shocting di Jakarta kadang-kadang
saya juga hadir.
T: Mengingat bahwa film ini bercerita secara intensif mengenai
kehidupan penerbang dan penerbangan sesuatu yang amat baru
bagi dunia film kita - bisakah anda kisahkan mengenai persiapan
yang anda lakukan untuk menulis skenario tersebut?
J: Pada waktu kami di Irian Jaya, saya selalu ditemani Kapten
Tri. Kordinator heli Pelita Air Service, lama di sana saya
banyak dibantu dan dibimbingnya, terutama menjawab segala macam
pertanyaan yang saya lontarkan mengenai penerbangan. Dari mulai
soal cuaca, jumlah kecelakaan, pendidikan penerbangan sampai
pada tahyul para pilot, itu saya tanyakan.
T: Bagaimana komentar anda setelah menonton film tersebut?
J: Secara keseluruhan saya bilang bagus. Malah, setelah melihat
film ini, saya melihat beberapa kekurangan saya sebagai penulis
skenario. Terutama dalam hal penyusunan adegan dan dialog.
T: Bagaimanakah secara umum kesan anda terhadap dunia penulisan
skenario film ?
J: Kalau menurut saya, penulisan skenario sekarang ini tarafnya
masih elementer termasuk saya. Yang tidak elementer mungkin
Asrul Sani. Di sini ada beberapa kelemahan kita. Media film itu
sendiri belum dikuasai sepenuhnya oleh penulis skenario. Dia
harus belajar untuk dapat pengalaman juga. Seperti menulis
naskah sandiwara, saya menemukan berbagai-bagai kemungkinan
komposisi berbagai-bagai kemungkinan bentuk, berbagai-bagai
kemungkinan cara berekspresi. Itu tentu saja karena pengalaman
bertahun-tahun, bukan karena belajar secara teoritis saja.
T: Bagaimana dengan ide cerita?
J: Nah tentang ini saya akan blak-blakan. Repertoar film
Indonesia untuk saya sangat mengerikan sekali. Hampir bisa
dikatakan tidak ada variasi, padahal hidup ini penuh variasi
Realitas ini kayanya bukan main, tapi film kita kok miskinnya
bukan main. Berarti ini suatu bukti bahwa film kita belum secara
utuh merefleksikan kehidupan kita sendiri.
T: Apa anda bermaksud jadi sutradara?
J: Tahun 1976 saya jawab 'tidak'. Tapi sekarang saya jawab 'ya'.
Tapi itu kalau saya punya repertoar sendiri. Atau paling tidak
repertoar yang menang saya sukai. Maha itu dalam waktu dekat
ini saya akan mulai berguru pada Wim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini