PERKIRAAN menurunnya harga cengkeh karena suatu ketika bakal
terjadi kelebihan produksi ternyata cukup menggetarkan hati para
petani cengkeh Lumajang. "Jika ramalan itu salah, maka daerah
ini betul-betul akan menjadi cerah", tutur seorang pejabat pemda
Lumajang kepada TEMPO. Sekurang-kurangnya buat daerah
Sumberwuluh - berdekatan dengan bekas daerah banjir dan
Kaliuling. Memang, meskipun ramai-ramai bertanam cengkeh itu
baru mulai sekitar 4 tahun yang lalu, tapi penduduk setempat
mulai mengenal cengkeh telah belasan tahun lalu. Nampaknya
kampanye cengkeh Bupati Suwandi dengan memberikan tak kurang
dari 20 ribu bibit sembari berkata: "Rek nek pengin makmur
nanduro cengkeh (kalau ingin makmur tanamlah cengkeh)", cukup
berhasil. Kaliuling saja, kini tak kurang memiliki 20.000 batang
cengkeh dari umur 1 - 15 tahun. Di antaranya "25-nya telah bisa
dipetik hasilnya", tutur Susanto, petani cengkeh setempat yang
masih muda. Nampaknya mereka telah ngunduh wohing pakarti
(memetik hasil perbuatannya), tutur Susanto pula.
Susanto benar, sekurang-kurangnya buat Ny. Mursyid yang pindah
dari Palembang ke Kalirejo, Kaliuling, 11 tahun yang lalu.
Suaminya almarhum pak Mursyid begitu pensun dari perusahaan
minyak Stanvac menjual rumah pekarangannya di Palembang seharga
Rp 15 juta (uang lama). Dengan bekal itu plus tabungannya
Mursyid bisa membeli rumah plus tanah pekarangan seluas 4,25 Ha,
seharga Rp 22 ribu uang baru. Untung juga di samping
pekarangannya telah tumbuh 11 pohon cengkeh yang baru berusia 3
tahun. Meskipun tanaman itu baru dirasakan hasilnya beberapa
tahun yang lalu. Belum lama ini, 11 pohon dengan perkiraan hasil
sebanyak 2 kwintal telah diborong oleh seorang pembeli dengan
harga Rp 1,2 juta. Tahun 1973 Bu Mursyid (48 tahun) yang telah
ditinggal mati suaminya, bersama 7 orang anaknya mulai menanam
200 batang cengkeh di halaman belakangnya yang cukup luas itu.
Ah, Tak Mungkin
Bagi penduduk setempat hasil yang diperoleh Ny. Mursyid itu
tentu saja cukup mengundang gairah untuk turut mencoba bertanam
cengkeh. Penduduk nyaris tak membiarkan tanahnya meski sejengkal
untuk tak ditanami cengkeh. Malahan ada beberapa penduduk yang
nekad menanamnya di tepi jalan kabupaten -- yang dengan kocek
Inpres mulai dilicinkan tahun 1974. Kebun kopi seluas 400 Ha
--bekas persil kopi zaman Belanda - ditebang dan diganti dengan
tanaman cengkeh. Padahal separuh jumlah areal tanaman kopi yang
berhasil diremajakan masih mampu memberi hasil 8 kwintal per
hektarnya. Barangkali hasil itu memang tak bisa dibandingkan
dengan penghasilan Ny. Mursyid -- yang dengan 11 batang cengkeh
dan ongkos pemeliharaan tak lebih dari Rp 10 ribu setahun
menghasilkan Rp 1,2 juta.
Apakah para petani cengkeh Lumajang tak kuatir harga akan jatuh?
"Ah saya kira itu tak mungkin pak", tutur petinggi Kaliuling.
"Coba fikir pak", katanya, "saya saja tiap hari menghabiskan
rokok 3 bungkus", tambahnya pula. Apalagi menurut petinggi itu
kini anak-anak kecilpun mulai mengisap rokok kretek. Belum
"untuk keperluan farmasi dan sebagainya", sahut Susanto yang
pernah mengantongi ijazah SMEA Malang beberapa tahun lalu. Jika
betul begitu, maka mereka boleh mulai menghitung-hitung hasilnya
beberapa tahun mendatang. Meskipun penduduk mengakuinya sebagian
dari kebun-kebun cengkeh di wilayah Lumajan selatan ini tak
seluruhnya dimiliki oleh petani-petani setempat. Lalu milik
siapa? "Entahlah", tutur penduduk itu mengelak. Kabarnya memang
ada beberapa pejabat yang memiliki kebun di situ.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini