Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Reportase mochtar

Pengarang: mochtar lubis jakarta: pustaka jaya, 1977 resensi oleh: ras siregar. (bk)

28 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAUT DAN CINTA Karya Mochtar Lubis Tebal 306 halaman Penerit Pustaka Jaya, 1977 MOCHTAR Lubis memang seorang pengarang yang masih betah menuliskan apa saja. Setelah suksesnya dengan Harimau! Harimau! yang memperoleh hadiah dari Yayasan Buku Utama, penerbit yang sama Pustaka Jaya menampilkan romannya yang mutakhir dengan judul Maut dan Cinta. Agak menarik untuk mengetahui latar belakang ditulisnya cerita ini. Mulai ditulis ketika ia memasuki penjara resim Soekarno, baik di Madiun maupun di tempat lain sampai ia dibebaskan oleh Orde Baru iX Mei 1966. Dalam hampir enam tahun itu, toh buku itu tidak juga selesai. Dan sekeluarnya dari penjara, ia menyelesaikan. Harimau! Harimau! Barulah tahun 1973, ketika ia berkesempatan studi ke Aspen, Amerika Serikat, buku itu rampung juga dan terbit di mula April 1977. 13uku Mochtar ini bermula dari kisah Mayor Sadeli sebagai pejoang Kemerderdaan yang mendapat tugas menyusun kekuatan intelijen di Singapura dan menyelundupkan senjata, obat dan peralatan radio ke tanah air yang sedang dilanda revolusi 1945. Sadeli juga ditugasi untuk meneliti petugas tcrdahulu, Kapten Umar Yunus, yang sudah lupa diri akan tugas revolusi. Ia diberi wewenang mengambil tindakan seperlunya, bahkan kalau perlu membunuh Umar Yunus. Demikianlah, dengan menentang maut dan risiko lainnya, Sadeli telah berhasil menyusun strategi intel dari Singapura dan telah berhasil menyelundupkan apa saja keperluan revolusi. Sukses ini berkat bantuan banyak orang, baik bangsa sendiri maupun orang asing, ya pedagang, polisi, wartawan dan juga penerbang bayaran. Tentu saja berhasil karena antara mereka terdapat kesatuan ide dan sikap dalam mengartikan hak hak kebebasan. Demikianlah buku itu, mengisahkan patriotisme, bahkan cenderung le petualangan yang secara fisik terasa menegangkan kita dalam membacanya. Sebagaimana ciri khas Mochtar, penuturan ke belakang telah mengungkapkan secara menyakinkan, apa guna kemerdekaan, hak merdeka dan cita-cita membebaskan diri dari semua ikatan. Dan tak terhindarkan pula flash-back dialog bagaimana setelah kemerdekaan diperoleh, bagaimana pemimpin-peminlpin kelak dan seterusnya. Akhirnya, pesan yang disampaikan oleh Mochtar, tercermin dalam kisah ini, bahwa kemerdekakan bangsa berarti mengorbanKan apa saja. Setelah ini berhasil, maka seluruh rakyat akan mengenyam keadilan yang merata, baik materiil maupun moril. Demikianlah kisah ini diakhiri dengan epilog, penyerahan kedaulatan 29 Desember 1949. Di situ pun berakhir kisah Mayor Sadeli yang sekembalinya dari Yogya, menemukan isterinya orang lacao. Begitu juga Ali Nurdin yang sulah mengorbankan apa saja, termasuk kehilangan kekasih Nani yang direnggut peluru kapal terbang musuh antara Solo dan Yogya, telah berubah sikap dan tak tahulah kita bagaimana Kelanjutan kisah Umar Yunus ang sedang asyoi dengan Rita Lee. Dan sebagai cerita, buku ini memang tak berakhir. Akhirnya kita juga menyesalkan, bahwa menyelundupkan keperluan revolusi tidak diberikan makna hakikinya. Okelah, senjata dan obat kita tahu gunanya. Tapi soal alat-alat radio, yang justru sebenarnya telah menyempurnakan Perang Kemerdekaan 1945 - 1949 itu, tidak diungkit-ungkit sediki tpun oleh Mochtar, Padahal pesan radio itu, yang melahirkan estafet Sumbing-Bukittinggi-Kotaraja-New Delhi, merupakan andil yang telah merubah opini dunia untuk memihak Indonesia, karena dari New Delhi inilah aspirasi kemerdekaan Indonesia dipancarkan ke seantero dunia. Jika Pasternak dengan Doktor Zhivago yang diwarnai dengan Revolusi Oktoer di Kusia telah berhasil mengangkat buku itu karena gaya ceritanya benar-benar literer, maka Mochtar kali ini benar-benar menurunkan gaya reportase. Akibatnya, buku ini lebih berbobotkan jurnalistik daripada karya sastra. Bacaan ini mengundang ketegangan, tetapi kisah ini tidak melahirkan unsur-unsur keindahan. Itu pulalah salah satu sebab, mengapa akhirnya saya cenderung untuk mengatakan bahwa roman Mochtar kali ini tidak sebaik romannya yang terdahulu seperti Tak Ada Hari Esok, Jalan Tak Ada Ujung dan Harimau! Harimau!. Karena itu pula, istilah maut dalam buku ini seakan istilah anak muda sekarang ini yang mengartikan kata itu dengan "yahud." Buku ini memang dibungai dengan kisah cinta yang asyoi. Ras Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus