MAUT DAN CINTA
Karya Mochtar Lubis
Tebal 306 halaman
Penerit Pustaka Jaya, 1977
MOCHTAR Lubis memang seorang pengarang yang masih betah
menuliskan apa saja. Setelah suksesnya dengan Harimau! Harimau!
yang memperoleh hadiah dari Yayasan Buku Utama, penerbit yang
sama Pustaka Jaya menampilkan romannya yang mutakhir dengan
judul Maut dan Cinta.
Agak menarik untuk mengetahui latar belakang ditulisnya cerita
ini. Mulai ditulis ketika ia memasuki penjara resim Soekarno,
baik di Madiun maupun di tempat lain sampai ia dibebaskan oleh
Orde Baru iX Mei 1966. Dalam hampir enam tahun itu, toh buku itu
tidak juga selesai. Dan sekeluarnya dari penjara, ia
menyelesaikan. Harimau! Harimau! Barulah tahun 1973, ketika ia
berkesempatan studi ke Aspen, Amerika Serikat, buku itu rampung
juga dan terbit di mula April 1977.
13uku Mochtar ini bermula dari kisah Mayor Sadeli sebagai
pejoang Kemerderdaan yang mendapat tugas menyusun kekuatan
intelijen di Singapura dan menyelundupkan senjata, obat dan
peralatan radio ke tanah air yang sedang dilanda revolusi 1945.
Sadeli juga ditugasi untuk meneliti petugas tcrdahulu, Kapten
Umar Yunus, yang sudah lupa diri akan tugas revolusi. Ia diberi
wewenang mengambil tindakan seperlunya, bahkan kalau perlu
membunuh Umar Yunus.
Demikianlah, dengan menentang maut dan risiko lainnya, Sadeli
telah berhasil menyusun strategi intel dari Singapura dan telah
berhasil menyelundupkan apa saja keperluan revolusi. Sukses ini
berkat bantuan banyak orang, baik bangsa sendiri maupun orang
asing, ya pedagang, polisi, wartawan dan juga penerbang bayaran.
Tentu saja berhasil karena antara mereka terdapat kesatuan ide
dan sikap dalam mengartikan hak hak kebebasan.
Demikianlah buku itu, mengisahkan patriotisme, bahkan cenderung
le petualangan yang secara fisik terasa menegangkan kita dalam
membacanya. Sebagaimana ciri khas Mochtar, penuturan ke belakang
telah mengungkapkan secara menyakinkan, apa guna kemerdekaan,
hak merdeka dan cita-cita membebaskan diri dari semua ikatan.
Dan tak terhindarkan pula flash-back dialog bagaimana setelah
kemerdekaan diperoleh, bagaimana pemimpin-peminlpin kelak dan
seterusnya.
Akhirnya, pesan yang disampaikan oleh Mochtar, tercermin dalam
kisah ini, bahwa kemerdekakan bangsa berarti mengorbanKan apa
saja. Setelah ini berhasil, maka seluruh rakyat akan mengenyam
keadilan yang merata, baik materiil maupun moril. Demikianlah
kisah ini diakhiri dengan epilog, penyerahan kedaulatan 29
Desember 1949.
Di situ pun berakhir kisah Mayor Sadeli yang sekembalinya dari
Yogya, menemukan isterinya orang lacao. Begitu juga Ali Nurdin
yang sulah mengorbankan apa saja, termasuk kehilangan kekasih
Nani yang direnggut peluru kapal terbang musuh antara Solo dan
Yogya, telah berubah sikap dan tak tahulah kita bagaimana
Kelanjutan kisah Umar Yunus ang sedang asyoi dengan Rita Lee.
Dan sebagai cerita, buku ini memang tak berakhir.
Akhirnya kita juga menyesalkan, bahwa menyelundupkan keperluan
revolusi tidak diberikan makna hakikinya. Okelah, senjata dan
obat kita tahu gunanya. Tapi soal alat-alat radio, yang justru
sebenarnya telah menyempurnakan Perang Kemerdekaan 1945 - 1949
itu, tidak diungkit-ungkit sediki tpun oleh Mochtar, Padahal
pesan radio itu, yang melahirkan estafet
Sumbing-Bukittinggi-Kotaraja-New Delhi, merupakan andil yang
telah merubah opini dunia untuk memihak Indonesia, karena dari
New Delhi inilah aspirasi kemerdekaan Indonesia dipancarkan ke
seantero dunia.
Jika Pasternak dengan Doktor Zhivago yang diwarnai dengan
Revolusi Oktoer di Kusia telah berhasil mengangkat buku itu
karena gaya ceritanya benar-benar literer, maka Mochtar kali ini
benar-benar menurunkan gaya reportase. Akibatnya, buku ini lebih
berbobotkan jurnalistik daripada karya sastra. Bacaan ini
mengundang ketegangan, tetapi kisah ini tidak melahirkan
unsur-unsur keindahan.
Itu pulalah salah satu sebab, mengapa akhirnya saya cenderung
untuk mengatakan bahwa roman Mochtar kali ini tidak sebaik
romannya yang terdahulu seperti Tak Ada Hari Esok, Jalan Tak
Ada Ujung dan Harimau! Harimau!. Karena itu pula, istilah maut
dalam buku ini seakan istilah anak muda sekarang ini yang
mengartikan kata itu dengan "yahud." Buku ini memang dibungai
dengan kisah cinta yang asyoi.
Ras Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini