PETA PERJALANAN, sajak-sajak Sitor Situmorang
Penerbit: Budaya Jaya, Jakarta 1977
Gambar Kulit: Popo Iskandar Tebal: 80 halaman.
ANTARA perjalanan dan penjara terdapat semacam tali penghubung
yang mengikat meskipun dua dunia tersebut saling bertentangan.
Yang satu melambangkan kebebasan dan yang lain mengingatkan pada
keterkungkungan. Namun dalam penjara pun seseorang bisa
melakukan perjalanan jauh untuk pembebasan batinnya dan dalam
perjalanan pun seseorang bisa dipenjara oleh ketakbetahan
ataupun keasingannya di tengah manusia lain, lingkungan
kebudayaan yang tak bisa dipahami ataupun kenyataan-kenyataan
yang lain dari yang diinginkan dan dirindukan.
Bahkan Sitor sendiri menganggap dunia di luar penjara pun
sebenarnya adalah "penjara di luar penjara" dan penjara itu
sendiri sebagai "penjara dalam penjara." Semua itu adalah
"lambang dari lambang dari lambang" (Guernica, 69-71). Tubuh
dan kerinduan kita akan kebakaan juga sebuah penjara yang
membuat kita tak betah di dunia mana pun di bumi ini. Begini
Sitor menulis dalam sebuah sajaknya tentang penjara: "Bulan
menyinari trali dan lantai/kandang harimau penjara dalam
penjara/sel hatiku yang dikerangkeng rindu" (Purnama Ibukota.
40).
Atau seperti ditulis penyair dalam bagian sajaknya yang lain:
"Hati meninggalkan tubuh/ikut perahu meluncur ke luar teluk/jadi
bintang cebur/mandi samudra waktu subuh." Bandar Menjelang
Subuh, 16). Di sini penyair membayangkan betapa indahnya
kebebasan atau kehidupan di luar penjara. Tapi hatinya segera
kecut dan undur merasakan kesia-siaannya sendiri berhadapan
dengan kenyataan sekitar dan dirinya sendiri:
Pelacur sendiri, habis - terpakai, seperti tonggak menengadah
pada bintang, lama sudah ditelan samudra.
(hal. 16)
Contoh-contoh tersebut hanya menggambarkan sebagian dari watak
sajak-sajak Sitor yang ditulis setelah beberapa tahun berada
dalam penjara sebagai tahanan politik. Seperti kebanyakan puisi
Indonesia lainnya, sajak-sajak tersebut lahir dari keadaan
tertekan (depresif).
Kesan ini akan menjadi lebih kuat bilamana membaca seluruh sajak
Sitor dalam kumpulannya yang termasuk tebal ini melebihi
kebanyakan kumpulan puisi yang dilahirkan penyair lainnya.
Sitor Situmorang (lahir 1924) benarbenar penyair yang produktif.
Rupanya memang banyak yang dipendarn selama dia di penjara dan
siap untuk dituliskan. Karena sajak-sajaknya lahir dari keadaan
serba tertekan, lahir dan batin, politis dan kulturil, maka tak
aneh jika di dalam sajak-sajaknya tersebut banyak kita jumpai
kata-kata yang berkaitan dengan keadaan dalam penjara: diam,
sepi, rindu, mati, sendiri, bosan dan sebagainya. Yang
berasosiasi pula dengan keadaan hidup manusia yan serba fana.
Kefanaan inilah yang memenjara ba tin manusia dan mengingatkan
manusia akan keterbatasannya dan keterikatan nya pada
jasmaninya. Malah penyai sampai pada kesimpulan ingin mati ka
rena mati adalah sebuah pembebasan ang sempurna. Tapi segera
pula penyair dalam sajaknya yang lain mengingkari adanya bahagia
sesudah mati dan bahwa pencahariannya pada kepercayaan semacam
itu sia-sia belaka. Seperti keinginan penyair untuk hidup
sebagai petapa, tinggal di puncak gunung dalam kesendirian,
sentosa memeluk jagad raya.
di hutan kundalini
di sumber air air amerta
di lembah dalam lan sepi
hatiku bercermin sorga)
Kami pun sampai di kawah gersang
Sekeiling, jauh di bawah, Jawadwipa
Di atas sini batu semata, bau belerang.
dan - entah cari apa - seekor kera!
(Mendaki Puncak Merapi, hal 80).
Lihatlah penyair mengidentifikasikan dirinya dengan seekor kera.
Sitor memang sudah lama hilang kepercayaan pada nilai rohani
manusia dan agama, terutama oleh kecamuk teknologi dan peradaban
abad 20. Dalam sajak-sajaknya lama dahulu dia membayangkan
dirinya sebagai asing di mana-mana, di tanah airnya sendiri dan
di tengah-tengah kebudayaan bangsanya. Keinginan untuk
berkomunikasi dengannya sudah lama direndamnya, namun selalu ada
rintangan kejiwaan yang membatasi dirinya hingga nampaknya dia
gagap, sebab dia dibesarkan dalam lingkungan kebudayaan yang
lain.
Galileo
Referensi sejarah. mitologi, nama tempat yang berhubungan dengan
sejarah dan perjalanannya dan lain-lain banyak terdapat dalam
sajak-sajak Sitor. Ini yang menyebabkan kita merasa sulit untuk
memahami sajaknya. Misalnya saja ia mengidentifikasikan dirinya
dengan tokoh semacam Galileo, Simon Petrus Sholzenitsyn,
Pasternak dan bahkan dengan Sakyamuni. Mi.salnya sekeluar dari
penjara dia mengatakan: "Kawasan biru/benteng bahari/menjemur
jalan fli serambi matahari/menyambut Aku Sakyamuni/lahir
kembali/berumah bintangBima/berlayar riak purnama/upacara
samudra Nusantara " Khatulistiwa, 11-12)
Sitor memang penyair yang cepat tersentuh oleh kesan-kesan
permukaan dan lewat kesan itu menyatakan dirinya. Juga oleh
kesan-kesan permukaan dari kejadian sejarah yang ditangkapnya,
Kadang-kadang ini meminta kita untuk menguji apakah yang ditulis
Sitor benar-benar realitas dirinya atau hanya
perasaan-perasaannya yang sekilas saja.
Kalau dalam sajaknya terdahulu dia terkenal lembut dan meskipun
lirik-liriknya bersahaja namun dalam. Kata-kata yang
digunakannya sebagai isarat atau lambang pernyataan keadaan
dirinya padat dan mempunyai daya saran yang kuat. Dan
menimbulkan tafsir ganda yang membuat sajaknya kaya. Dalam
sajaknya yang terkumpul dalam Peta Perjalanan semua itu
membekas. Hanya saja dalam kumpulan ini Sitor lebih eksak dan
tandas. Dalam beberapa sajaknya masih terasa kejernihan dan
kecermatannya menyaring pengalaman. Cumarepotnya di dalamnya
masih terdapat sajak-sajak yang berbau slogan dan bombastis.
Sedangkan temanya bermacam-macam. Ada yang relegius, ada yang
hanya melukiskan suasana atau lanskap.
Meskipun demikian semuanya seakan-akan diikat oleh suatu
kesatuan. Lima puluh buah sajaknya di situ merupakan rangkaian
dari hasil perjalanannya selama berada dalam penjara. Penjara
itu boleh terali besi dan tembok yang dijaga kuat-kuat oleh
manusia, Tapi ia bisa juga waktu di mana seseorang dengan pedih
dan nestapa menunggu mautnya tiba. Kata Sitor:
Kita kafilah sahara waktu
penunggang unta padang sejarah.
Berangkat subuh. Istirahat tengah
hari Malamnya
seonggok kenangan tertutup debu.
(Samarkand, 13-14).
Abdul Hadi W.M.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini