Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Perjalanan dalam penjara

Pengarang: sitor situmorang jakarta: budaya jaya, 1977 resensi oleh: abdul hadi wm. (bk)

28 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETA PERJALANAN, sajak-sajak Sitor Situmorang Penerbit: Budaya Jaya, Jakarta 1977 Gambar Kulit: Popo Iskandar Tebal: 80 halaman. ANTARA perjalanan dan penjara terdapat semacam tali penghubung yang mengikat meskipun dua dunia tersebut saling bertentangan. Yang satu melambangkan kebebasan dan yang lain mengingatkan pada keterkungkungan. Namun dalam penjara pun seseorang bisa melakukan perjalanan jauh untuk pembebasan batinnya dan dalam perjalanan pun seseorang bisa dipenjara oleh ketakbetahan ataupun keasingannya di tengah manusia lain, lingkungan kebudayaan yang tak bisa dipahami ataupun kenyataan-kenyataan yang lain dari yang diinginkan dan dirindukan. Bahkan Sitor sendiri menganggap dunia di luar penjara pun sebenarnya adalah "penjara di luar penjara" dan penjara itu sendiri sebagai "penjara dalam penjara." Semua itu adalah "lambang dari lambang dari lambang" (Guernica, 69-71). Tubuh dan kerinduan kita akan kebakaan juga sebuah penjara yang membuat kita tak betah di dunia mana pun di bumi ini. Begini Sitor menulis dalam sebuah sajaknya tentang penjara: "Bulan menyinari trali dan lantai/kandang harimau penjara dalam penjara/sel hatiku yang dikerangkeng rindu" (Purnama Ibukota. 40). Atau seperti ditulis penyair dalam bagian sajaknya yang lain: "Hati meninggalkan tubuh/ikut perahu meluncur ke luar teluk/jadi bintang cebur/mandi samudra waktu subuh." Bandar Menjelang Subuh, 16). Di sini penyair membayangkan betapa indahnya kebebasan atau kehidupan di luar penjara. Tapi hatinya segera kecut dan undur merasakan kesia-siaannya sendiri berhadapan dengan kenyataan sekitar dan dirinya sendiri: Pelacur sendiri, habis - terpakai, seperti tonggak menengadah pada bintang, lama sudah ditelan samudra. (hal. 16) Contoh-contoh tersebut hanya menggambarkan sebagian dari watak sajak-sajak Sitor yang ditulis setelah beberapa tahun berada dalam penjara sebagai tahanan politik. Seperti kebanyakan puisi Indonesia lainnya, sajak-sajak tersebut lahir dari keadaan tertekan (depresif). Kesan ini akan menjadi lebih kuat bilamana membaca seluruh sajak Sitor dalam kumpulannya yang termasuk tebal ini melebihi kebanyakan kumpulan puisi yang dilahirkan penyair lainnya. Sitor Situmorang (lahir 1924) benarbenar penyair yang produktif. Rupanya memang banyak yang dipendarn selama dia di penjara dan siap untuk dituliskan. Karena sajak-sajaknya lahir dari keadaan serba tertekan, lahir dan batin, politis dan kulturil, maka tak aneh jika di dalam sajak-sajaknya tersebut banyak kita jumpai kata-kata yang berkaitan dengan keadaan dalam penjara: diam, sepi, rindu, mati, sendiri, bosan dan sebagainya. Yang berasosiasi pula dengan keadaan hidup manusia yan serba fana. Kefanaan inilah yang memenjara ba tin manusia dan mengingatkan manusia akan keterbatasannya dan keterikatan nya pada jasmaninya. Malah penyai sampai pada kesimpulan ingin mati ka rena mati adalah sebuah pembebasan ang sempurna. Tapi segera pula penyair dalam sajaknya yang lain mengingkari adanya bahagia sesudah mati dan bahwa pencahariannya pada kepercayaan semacam itu sia-sia belaka. Seperti keinginan penyair untuk hidup sebagai petapa, tinggal di puncak gunung dalam kesendirian, sentosa memeluk jagad raya. di hutan kundalini di sumber air air amerta di lembah dalam lan sepi hatiku bercermin sorga) Kami pun sampai di kawah gersang Sekeiling, jauh di bawah, Jawadwipa Di atas sini batu semata, bau belerang. dan - entah cari apa - seekor kera! (Mendaki Puncak Merapi, hal 80). Lihatlah penyair mengidentifikasikan dirinya dengan seekor kera. Sitor memang sudah lama hilang kepercayaan pada nilai rohani manusia dan agama, terutama oleh kecamuk teknologi dan peradaban abad 20. Dalam sajak-sajaknya lama dahulu dia membayangkan dirinya sebagai asing di mana-mana, di tanah airnya sendiri dan di tengah-tengah kebudayaan bangsanya. Keinginan untuk berkomunikasi dengannya sudah lama direndamnya, namun selalu ada rintangan kejiwaan yang membatasi dirinya hingga nampaknya dia gagap, sebab dia dibesarkan dalam lingkungan kebudayaan yang lain. Galileo Referensi sejarah. mitologi, nama tempat yang berhubungan dengan sejarah dan perjalanannya dan lain-lain banyak terdapat dalam sajak-sajak Sitor. Ini yang menyebabkan kita merasa sulit untuk memahami sajaknya. Misalnya saja ia mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh semacam Galileo, Simon Petrus Sholzenitsyn, Pasternak dan bahkan dengan Sakyamuni. Mi.salnya sekeluar dari penjara dia mengatakan: "Kawasan biru/benteng bahari/menjemur jalan fli serambi matahari/menyambut Aku Sakyamuni/lahir kembali/berumah bintangBima/berlayar riak purnama/upacara samudra Nusantara " Khatulistiwa, 11-12) Sitor memang penyair yang cepat tersentuh oleh kesan-kesan permukaan dan lewat kesan itu menyatakan dirinya. Juga oleh kesan-kesan permukaan dari kejadian sejarah yang ditangkapnya, Kadang-kadang ini meminta kita untuk menguji apakah yang ditulis Sitor benar-benar realitas dirinya atau hanya perasaan-perasaannya yang sekilas saja. Kalau dalam sajaknya terdahulu dia terkenal lembut dan meskipun lirik-liriknya bersahaja namun dalam. Kata-kata yang digunakannya sebagai isarat atau lambang pernyataan keadaan dirinya padat dan mempunyai daya saran yang kuat. Dan menimbulkan tafsir ganda yang membuat sajaknya kaya. Dalam sajaknya yang terkumpul dalam Peta Perjalanan semua itu membekas. Hanya saja dalam kumpulan ini Sitor lebih eksak dan tandas. Dalam beberapa sajaknya masih terasa kejernihan dan kecermatannya menyaring pengalaman. Cumarepotnya di dalamnya masih terdapat sajak-sajak yang berbau slogan dan bombastis. Sedangkan temanya bermacam-macam. Ada yang relegius, ada yang hanya melukiskan suasana atau lanskap. Meskipun demikian semuanya seakan-akan diikat oleh suatu kesatuan. Lima puluh buah sajaknya di situ merupakan rangkaian dari hasil perjalanannya selama berada dalam penjara. Penjara itu boleh terali besi dan tembok yang dijaga kuat-kuat oleh manusia, Tapi ia bisa juga waktu di mana seseorang dengan pedih dan nestapa menunggu mautnya tiba. Kata Sitor: Kita kafilah sahara waktu penunggang unta padang sejarah. Berangkat subuh. Istirahat tengah hari Malamnya seonggok kenangan tertutup debu. (Samarkand, 13-14). Abdul Hadi W.M.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus