Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mustafa Akyol, jurnalis dan peneliti asal Turki, menulis buku berjudul Reopening Muslim Minds: a Return to Reason, Freedom and Tolerance.
Ada tiga hal utama yang dibahas dalam buku ini.
Menurut Akyol tidak terjadi revolusi intelektual di kalangan umat Isam karena tersisihnya rasionalitas.
APAKAH pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) adalah kutukan Tuhan atau ujian? Apakah mematuhi protokol kesehatan itu artinya tidak berserah diri pada takdir? Apakah vaksin haram? Apakah larangan sementara ke tempat ibadah, termasuk masjid, bertentangan dengan ajaran Islam? Buku Mustafa Akyol, jurnalis Turki, membahas pertanyaan-pertanyaan ini dalam bukunya, Reopening Muslim Minds: a Return to Reason, Freedom and Tolerance.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian berpihak pada alasan rasional berdasarkan ilmu pengetahuan, tapi banyak juga yang berkukuh pada teks keagamaan (Al-Quran dan hadis) yang dipahami tanpa konteks. Pertentangan kedua kubu—kelompok rasional dan tekstual—itulah yang menjadi pusat gravitasi buku terbaru Akyol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memang, dalam buku tersebut Akyol tidak menyinggung contoh kasus yang berkaitan dengan Covid-19, mungkin karena buku itu ditulis sebelum masa pandemi. Namun isi buku tersebut sebagian besar membahas bagaimana pelan-pelan rasionalitas tersingkir dari budaya keagamaan umat Islam, digantikan oleh pemahaman tekstual.
Seperti judulnya, ada tiga hal utama yang dibahas dalam buku ini, yaitu soal hilangnya reason atau alasan rasional dalam memahami agama, kebebasan beragama, dan toleransi. Ketiga hal ini bersumber dari satu masalah, yaitu disisihkannya argumen dan rasionalitas dalam pemahaman teks.
Akyol memulai bukunya dengan cerita tentang Hayy ibn Yaqzan, sebuah novel filsafat yang ditulis oleh Ibn Tufayl pada abad ke-13 di Andalusia, Spanyol. Novel itu bercerita tentang Hayy ibn Yaqzan, pemuda yang tinggal di pulau terpencil, sendirian. Hayy kemudian, berdasarkan akal budi dan nurani, berhasil menemukan Tuhan tanpa sedikit pun membaca teks keagamaan. Intinya Ibn Tufayl ingin mengatakan, secara naluriah dan akal sehat, manusia adalah makhluk beragama, dengan atau tanpa wahyu dan teks keagamaan.
Novel itu “menggugat” pendapat semua agama yang mengatakan bahwa tanpa bantuan wahyu mustahil manusia dapat beragama dan bertuhan. Bahkan, empat abad kemudian, ketika novel itu diterjemahkan ke bahasa Prancis dan Inggris, Hayy ibn Yaqzan masih mempesona dan menggegerkan para akademikus di Sorbonne, Oxford, dan sejumlah negara Eropa.
“Yang kemudian menjadi pertanyaan banyak orang adalah kenapa ide yang termaktub di Hayy ibn Yaqzan mampu memantik revolusi intelektual di Eropa, tapi di saat yang sama, karya luar biasa itu hampir tak dilihat wujudnya oleh umat Islam?” tulis Akyol.
Menurut Akyol, yang sebelumnya menulis buku Islam Without Extremes itu, hal ini terjadi karena tersisihnya rasionalitas dan reason dalam kehidupan beragama umat Islam. Pemahaman teks secara telanjang (tanpa konteks) membuat para pemikir seperti Ibn Tufayl dan karya-karya mereka tersisihkan. Akibatnya, pemahaman keagamaan mandek dan hanya cocok di masa lalu.
Kejumudan ini membuat beku semua sisi kebudayaan Islam, dari pemahaman teologi, hukum, penafsiran Al-Quran, dan pemahaman teks hadis (perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad).
Ilmu kalam (teologi) kemudian tidak dianggap penting (bahkan diharamkan oleh Wahabisme). Sebagai “gantinya”, umat Islam sibuk dengan hukum (fikih). Hasilnya, budaya Islam menjadi “budaya hukum”, lebih berfokus pada apa yang harus dilakukan dibanding apa yang harus diyakini. “Saat ini, hampir semua umat Islam hidup dalam budaya hukum sibuk dengan apa yang harus dilakukan dan dilarang dalam salat, puasa, sedekah, wudu, pakaian, hukum makan ini itu, dan lain sebagainya.”
Hal ini tidak lepas dari politik. Para penguasa Islam di masa lalu lebih mendukung para ulama tekstual dibanding para ulama yang mengedepankan rasionalitas, seperti kelompok Mu’tazilah. Patronasi semacam ini terjadi karena pendapat para ulama tekstual, menurut Akyol, dibutuhkan oleh para penguasa untuk mengukuhkan kekuasaan mereka. Ini terjadi karena pemahaman tekstual akan membuat orang menganggap berkuasanya para raja adalah takdir Ilahi yang tidak perlu dipertanyakan.
Sebaliknya, pendapat para ulama rasional menganggap berkuasanya para sultan, raja, khalifah, dan amir hanyalah soal sebab-akibat biasa. Karena itu, kekuasaan mereka tidak berhubungan dengan keinginan Tuhan. Dan, karena itu pula, pemimpin bebas untuk dikritik dan disanggah. Kelompok ini jauh lebih kritis karena mereka menganggap manusia punya kehendak bebas dalam takdir Ilahi, termasuk dalam memilih penguasa.
Hanya di awal-awal Dinasti Abbasiyah kelompok rasional mendapatkan tempat terhormat dan berhasil memajukan peradaban saat itu dengan penerjemahan banyak buku dari Yunani dan peradaban lain di luar Islam. Ilmu pengetahuan dan seni pun berkembang pesat, hingga masa itu disebut sebagai Masa Keemasan Islam.
Sempat hilang, atmosfer seperti ini sempat diteruskan lagi oleh penguasa muslim Spanyol dan memunculkan kembali para pemikir brilian, termasuk Ibn Tufayl, penulis Hayy ibn Yaqzan tadi. Di luar itu, kelompok rasional disisihkan, bahkan dipenjara dan disiksa. Buku-buku mereka dibakar dan mereka dilarang memberikan pengajaran kepada para muridnya.
Mustafa Akyol/hrf.org
Akibatnya, pemahaman terhadap teks menjadi beku dan kerap salah kaprah. Misalnya soal kesetaraan gender. Hak waris anak perempuan yang separuh untuk anak laki-laki seharusnya tidak dipahami secara tekstual seperti itu. Menurut dia, Islam muncul ketika anak perempuan sama sekali tidak mendapatkan hak waris. Seperti hukum Islam lain—misalnya pengharaman khamar—yang turun secara gradual, hak waris itu seharusnya dipahami sama. Artinya, upaya kesetaraan itu belum selesai, perlu dilanjutkan progresnya setelah wahyu berhenti turun.
Soal kebebasan beragama, Akyol kerap menyitir ayat 256 Surat Al-Baqarah, “Tidak ada paksaan dalam beragama.” Menurut dia, ayat yang seharusnya menjadi dasar dari toleransi dalam Islam ini ditafsirkan sesuai dengan keinginan kaum intoleran.
Dalam sejumlah terjemahan, ada keterangan tambahan yang justru mendukung intoleransi, hingga terjemahannya menjadi, “Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama (Islam).” Artinya, yang tidak ada paksaan hanya dari nonmuslim menjadi muslim. Adapun setelah menjadi Islam, orang harus dipaksa untuk tetap beragama Islam. Kalau murtad, ia harus divonis mati. Hal ini ditegaskan oleh banyak ulama, termasuk Imam Al-Ghazali.
Dalam diskusi dengan Mustafa Akyol yang diadakan oleh Madat Club, pekan lalu, cendekiawan Ulil Abshar Abdalla memuji buku ini, meski dia mengingatkan bahwa sejumlah argumentasi Akyol yang seolah-olah menyisihkan teks hadis harus dilihat dengan kritis. “Akan jauh lebih tepat jika kita bisa memberikan tafsir yang kontekstual pada hadis-hadis tersebut,” kata Ulil.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo