Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJARAH SOSIAL UMMAT ISLAM Jilid 1, 2, 3 | ||
Penulis | : | Ira Lapidus |
Penerbit | : | PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999 |
Penerjemah | : | Ghufron A. Mas'adi |
IRA Lapidus, guru besar emeritus sejarah Islam di Universitas California, Los Angeles, memulai karyanya ini dengan pengakuan tentang pluralitas masyarakat yang memeluk Islam. Mereka tersebar dari pesisir Lautan Atlantik hingga Pasifik, dari stepa Siberia sampai kepulauan Nusantara. Mereka mencerminkan keragaman dalam berbagai segi, dari etnisitas, budaya, politik, hingga ekonomi. Tapi, pada saat yang sama, Islam menyatukan masyarakat Islam. Bahkan, lebih jauh, Islam memberikan dasar konsepsi diri, mengatur kehidupan sehari-hari, menyediakan ikatan kemasyarakatan, dantidak kurang pentingnyamemenuhi pencarian rohani menuju keselamatan.
Karya ini adalah sejarah tentang kenapa masyarakat yang demikian beragam itu menjadi muslim, dan apa makna Islam bagi mereka. Lapidus, yang sebelumnya terkenal melalui karya-karyanya tentang "kota-kota Islam" (Islamic cities), mencoba mencari jawaban atas pertanyaan pokok ini dengan pendekatan "sejarah masyarakat-masyarakat muslim", yang kemudian dalam edisi bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai "sejarah sosial umat Islam".
Penting dicatat, Lapidus sendiri tidak menggunakan istilah "social history" ("sejarah sosial"). Agaknya, ia sengaja menghindari istilah "sejarah sosial" karena istilah ini mengandung berbagai konotasi agak rumit, yang sering dihubungkan dengan mazhab annales Prancis, yang menekankan sejarah demografi, geografi, iklim, dan pengaruhnya terhadap kehidupan teknologi, ekonomi, dan politik. Karena itu, penggunaan istilah "sejarah sosial" dalam edisi terjemahan ini disebabkan Lapidus lebih menekankan sejarah institusi kemasyarakatan, keagamaan, dan politik daripada sejarah ekonomi dan teknologi. Lapidus mensubordinasikan institusi ekonomi dalam masyarakat muslim ke bawah lembaga non-ekonomi karena, menurut dia, perkembangan historis masyarakat-masyarakat muslim dalam milenium terakhir secara distingtif lebih bersifat kultural dan politik.
Walau Lapidus memandang perkembangan politik sebagai salah satu dari dua perkembangan historis distingtif masyarakat-masyarakat muslim, ia tidak tergelincir ke dalam penekanan yang berlebihan pada politik. Ia terhindar dari penyajian karyanya ini sebagai sebuah sejarah politik (history of politics) seperti lazim pada banyak buku sejarah Islam yang lain. Seperti diketahui, selama ini apa yang disebut sebagai "sejarah Islam" atau "sejarah umat Islam" adalah sejarah politik, sejarah tentang bangkit dan runtuhnya dinasti-dinasti muslim. Dari sudut itu, karya Lapidus ini merupakan suatu bentuk "sejarah baru" (new history) yang juga sangat mempertimbangkan perkembangan nonpolitik umat Islam atau, tegasnya, yang disebut Lapidus sebagai perkembangan kultural distingtif.
Sebagai sebuah bentuk "sejarah baru", karya ini lebih dari sekadar narasi dan deskripsi ensiklopedis tentang politik Islam. Sejarah politik memang tetap menjadi salah satu fokus utama, tapi pembahasan bukan lagi memusat hanya pada narasi tentang jatuh bangunnya dinasti dan kekhalifahan muslim, melainkan pada faktor-faktor kultural, intelektual, dan keagamaan yang terlibat dalam interplay yang intens dan, karena itu, sangat mempengaruhi perkembangan politik. Pola inilah yang bisa kita cermati dari pembahasan Lapidus, misalnya, tentang institusi kekhalifahan yang dikaitkan dengan pertumbuhan Islam kosmopolitan, Islam perkotaan, serta wacana intelektual yang berkembang pada periode terkait. Dari sudut ini, sejarah yang disajikan Lapidus adalah sejarah interpretatif, sejarah yang dijelaskan dengan bantuan ilmu lainnya seperti teologi, antropologi, sosiologi, dan ilmu politik. Hasilnya, karya Lapidus ini memberikan perspektif yang jauh lebih luas dan komprehensif kepada pembaca.
Lapidus tidak hanya memberikan contoh yang baik tentang transisi penulisan sejarah kaum muslimin dari sejarah politik ke sejarah masyarakat, tapi juga dari sejarah Islam yang selama ini cenderung "too Middle Eastern oriented" menjadi sejarah muslim mondial. Dalam konteks terakhir ini, Lapidus merevisi pandangan yang mapan di kalangan banyak "islamisis" Barat dan juga sebagian sarjana muslim yang cenderung mengidentikkan sejarah Islam dengan sejarah masyarakat muslim Timur Tengah. Padahal, fakta menunjukkan, jumlah kaum muslimin di Timur Tengah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang hidup di Asia Selatan, Asia Tenggara, Asia Tengah, dan Afrika. Faktor ini tidak bisa lagi diabaikan.
Revisionisme historis Lapidus sangat penting dari beberapa segi. Pertama, penulisan sejarah yang dilakukannya akan menghilangkan atau meminimalkan kecenderungan kuat di antara para ahli untuk mengidentikkan Islam dengan Timur Tengah atau lebih tegas lagi dengan Arab. Islam di tanah Arab hanya merupakan suatu bentuk dari ekspresi keseluruhan Islam dan umat muslimin. Berkaitan dengan itu, hal penting kedua, karya Lapidus ini dapat membuka perspektif dan pemahaman lebih akurat bahwa tidak ada lagi "Islam pusat" (center) dan "Islam pinggiran" (periphery). Yang terakhir ini biasa diidentikkan dengan Islam yang terdapat di luar Arab atau Timur Tengahtegasnya, seperti Islam yang terdapat di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika.
Lapidus memang merupakan salah satu dari segelintir sarjana Barat atau "islamisis"seperti Nikki Keddie (guru besar Universitas California, Los Angeles) dan Richard Bulliet (guru besar Universitas Columbia)dengan pandangan revisionisme historis yang sangat kental. Keddie, misalnya, dalam penelitiannya yang dilakukan di beberapa tempat di Indonesia dan Timur Tengah beberapa tahun lalu, menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada "Islam pusat" dan "Islam pinggiran". Apalagi kalau kemudian dikotomisasi ini disertai anggapan atau pandangan bahwa "Islam terbaik", "Islam paling murni", hanya terdapat di wilayah Arab atau Timur Tengah, sementara "Islam yang buruk", "Islam yang tidak murni", cuma ada di wilayah pinggiran. Keddie membuktikan bahwa dalam segi-segi tertentu, "Islam pinggiran" tidak kurang murni dan baiknya dibandingkan dengan Islam di Timur Tengah.
Bahkan, lebih maju dan lebih tegas lagi, Bulliet dalam karyanya Islam: the View from the Edge" (1996) mendesak agar para sejarawan hendaknya memulai pembahasan tentang Islam dari pinggir atau ujung (edge), seperti dari wilayah India, Indonesia, dan Malaysia, tidak lagi memulai serta memusatkan kajian dan pembahasan dari Timur Tengah. Alasannya, pandangan dari pusat membuat perspektif yang muncul tidak akan akurat atau bahkan mengalami bias dan distorsi. Karena itu, akan menarik jika Bulliet mengkaji eksperimen kaum muslimin di Aceh pada masa para penguasa perempuan (sultanah). Mengutip kajian Azra (1992), ia menyatakan keprihatinannya terhadap hegemony of meaning dari pusat, dalam hal ini Mekah, yang mengeluarkan fatwa agar kaum muslimin Aceh menurunkan raja perempuan mereka dan menggantinya dengan dinasti Jamal al-Layl yang berasal dari Arab.
Dilihat dari perspektif revisionisme historis ini, karya Lapidus sangat monumental. Dari cakupan isinya, karya Lapidus menyajikan sejarah umat Islam secara komprehensif. Melalui perspektif revisionisme itu pula, misalnya, bisa dilihat bahwa gerakan jihad melawan kekuatan asing terjadi bukan hanya di Timur Tengah, tapi juga di Afrika dan Nusantara. Sebaliknya, gerakan-gerakan pemurnian agama terjadi tidak hanya di wilayah pinggiran, tempat Islam dipandang bercampur dengan kepercayaan dan budaya lokal, tapi juga bahkan di Semenanjung Arabia dan wilayah-wilayah lain di Timur Tengah, seperti terlihat dari gerakan Wahabiyyah di Arabia atau gerakan Muwahhidun di Afrika Utara. Hal terakhir ini membuktikan bahwa "Islam yang tidak murni" bukan hanya ada di wilayah "pinggiran", tapi juga di "wilayah pusat".
Mengkaji sejarah masyarakat muslim model Lapidus jelas tidak sederhana. Kerumitan itu terutama terletak pada faktor bagaimana menganalisis berbagai perkembangan historis yang begitu beragam dalam kurun waktu demikian panjang, sejak masa pra-Islam sampai masa kontemporer. Maka, cara Lapidus dalam mengatasi masalah ini adalah dengan pendekatan evolusioner dan komparatif.
Kedua pendekatan ini, menurut Lapidus, didasarkan pada tiga asumsi historis dan metodologis. Pertama, sejarah masyarakat dapat dihadirkan melalui sistem institusional mereka. Institusi-institusi itu terbentuk berdasarkan pola-pola hubungan antar-umat manusia, seperti didefinisikan dan dilegitimasi dunia mental para pelakunya. Kedua, sejarah masyarakat muslim dapat diungkapkan dalam kerangka empat jenis institusi: keluarga, kabilah, dan kelompok etnis; ekonomi, organisasi produksi, dan distribusi; kebudayaan atau konsep agama tentang nilai-nilai akhirat, tujuan hidup, dan kolektivitas; serta politik, sistem kekuasaan, penyelesaian konflik, dan pertahanan. Semua lembaga ini mempunyai ciri-cirinya yang khas dalam masyarakat, tapi berkaitan dalam pola tertentu. Semua ini tidak bisa dijelaskan secara baik kecuali melalui pendekatan evolusioner dan komparatif.
Asumsi ketiga, meski sejarah masyarakat muslim memiliki ciri-ciri distingtif, sebagai bagian dari umat manusia secara keseluruhan, ia tetap terkait dengan sejarah masyarakat-masyarakat lain di muka bumi. Ini berlaku sejak sebelum kedatangan dan penyebaran Islam sampai ke masa modern mutakhir. Karena itu, sejarah masyarakat muslim juga harus dilihat dalam perspektif komparatif dengan masyarakat-masyarakat nonmuslim.
Akhirnya, penerbitan karya ini dalam bahasa Indonesia perlu kita apresiasi. Bisa dipastikan karya ini akan memberikan sumbangan sangat penting dalam membangun perspektif lebih komprehensif dan akurat tentang sejarah umat Islam.
Azyumardi Azra (guru besar sejarah Fakultas Adab IAIN Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo