Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebaliknya, bila ia mengumumkan hasil audit itu ke khalayak luas, sejumlah rambu hukum harus diterabas dengan risiko masuk bui bertahun-tahun bagi dirinya. Lantas, apa yang akan diperbuat doktor administrasi publik yang sudah berusia 58 tahun ini? Berikut ini adalah petikan wawancaranya dengan Bambang Harymurti dari TEMPO.*
Mengapa Anda tidak membuka saja laporan panjang PwC itu?
Orang-orang yang berteriak-teriak menuntut diumumkannya, diberikannya laporan kepada DPR, kepada umum, tidak sadar tentang adanya rambu-rambu hukum. Bahwa barang siapa dan bagi siapa yang melanggar UU Nomor 10 tentang Perbankan dan UU Nomor 5 Tahun 1973 tentang BPK dapat diancam hukuman penjara empat tahun dan enam tahun.
Yang terancam itu siapa?
Yang terancam itu ya saya sendiri, umpama saya yang menyerahkan, dan siapa pun dari BPK dan PwC dan yang menyerahkan laporan itu kepada pihak-pihak di luar yang saya sebutkan di sini: satu, polisi; dua, jaksa; tiga, hakim; dan keempat, Menteri Keuangan dalam kasus perpajakan dan dalam kasus PUPN. Jelas, Menteri Keuangan enggak relevan. Iya, to? Nah, barang siapa menyerahkan kepada pihak-pihak mana pun di luar polisi, jaksa, dan hakim itu langsung kena ancaman hukum empat tahun, menurut Pasal 40 UU Nomor 10 Tahun 1998. Dan bisa juga kena ancaman pidana enam tahun, sesuai dengan Pasal 19 UU Nomor 5 Tahun 1973 tentang BPK, yang mengatakan barang siapa yang menggunakan hasil penyelidikan BPK, melampaui wewenangnya, diancam hukuman enam tahun. Dan perbuatan ini diklasifikasikan sebagai kejahatan. Ini undang-undang yang saya tahu. Belum lagi kemungkinan undang-undang yang lain yang mengancam ancaman pidana lain, seperti KUHP, KUHAP. Jadi, mereka menuntut bahwa BPK ini menyerahkan laporan lengkap ini kepada pihak-pihak di luar ketiga ini, sebenarnya, menginginkan bahwa kita itu masuk penjara sekurangnya 4 tahun + 6 tahun + berapa tahun lagi. Belum lagi tuntutan perdata.
Jadi, bukan karena ingin melindungi Presiden Habibie dan pemerintahan?
Mengenai melindungi siapa pun, itu tidak ada sedikit pun dalam pikiran BPK. BPK ini kan, kita, melihat masalah ini dari sudut pengelolaan uang negara. Bagi kita, yang pertama harus diselidiki adalah apakah pembayaran tagihan kepada Bank Bali oleh Bank Indonesia atas perintah pemerintah itu sah apa enggak. Kalau itu sah, uang yang dibayarkan oleh pemerintah kepada Bank Bali itu uang pribadi. Dan tidak ada urusan siapa pun mengenai kepada siapa uang itu dibagi-bagikan, satu. Namun, sebaliknya, apabila pembayaran tagihan itu oleh Bank Indonesia atas perintah BPPN, melanggar ketentuan hukum, maka yang dibayar oleh Bank Indonesia kepada Bank Bali haruslah tetap uang pemerintah. Dan pembayaran selanjutnya dari Bank Bali ke siapa pun, Era Giat Prima, Pak Joko Tjandra, dan kepada siapa pun setelah itu, adalah pembagian uang negara. Nah, itu memerlukan suatu penyelidikan tentang siapa yang menerima uang negara itu dan mengapa mereka menerima. Itu adalah urusan polisi, dan hanya polisi yang bisa meminta Bank Indonesia memerintahkan bank-bank di mana rekening koran itu berada untuk membuka rekening koran tersebut.
Tapi apa tidak ada cara lain yang bisa dilakukan supaya laporan ini bisa dibuka?
Itu yang harus kita cari bersama-sama. Sebaliknya, kita memikirkan tentang asas kepantasan, asas keadilan. Pantaskah, adilkah IMF dan lembaga-lembaga pendanaan lainnya seperti Bank Dunia seolah-olah menyandera kemiskinan, kemelaratan rakyat, yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi ini, untuk memaksa kita melanggar undang-undang kita sendiri. Itu yang harus dipikirkan. Nah, saya tidak bisa mengerti, dan masih ada pengharapan saya, apabila IMF didampingi oleh ahli hukum yang mengetahui undang-undang mengenai perbankan, undang-undang pidana di Indonesia, itu bisa diyakinkan bahwa perlu dicarikan cara-cara yang lain supaya kita dari PwC dan BPK bisa terlindungi dari ancaman hukuman tersebut. Bayangkan, ini ada PwC, mereka di sini, mereka tidak tahu apa-apa, mereka disuruh melakukan hal-hal yang ternyata melanggar undang-undang perbankan. Kemudian mereka, karena takut ancaman hukum, sepakat dengan BPK untuk menyerahkan itu kepada polisi. Sekarang yang menyusun term mereka itu menuntut bahwa laporan itu dibuka. Nah, apakah mereka tidak memikirkan nasib orang-orang PwC di sini? Bagaimana coba, langsung saja mereka, sekurang-kurangnya sepuluh atau berapa orang itu dari PwC yang terlibat ini dan pimpinannya, langsung terkena ancaman empat tahun dan enam tahun.
Tapi UUD 1945 Pasal 23 cukup kuat untuk melindungi Anda dari ancaman hukuman ini. Sebab, di situ jelas BPK harus melapor kepada DPR.
Ya, tapi orang cuma berhenti di sana. Orang tidak mau membaca lebih lanjut. Cara-cara berbuat demikian diatur dalam undang-undang. Undang-undang yang berlaku adalah UU Nomor 5 Tahun 1973.
Kalau Anda menyerahkannya kepada Ketua DPR dan menyatakan sekarang tanggung jawab ada di DPR, terserah DPR mau membukanya atau tidak, apa Anda masih kena juga?
Ya, undang-undang positif mengatakan demikian. Dan saya yakin bahwa semua pengacara, terutama yang membela yang kita duga bersalah, akan memakai itu. Dan itu betul.
Mengapa laporan lengkap PwC tak diberikan kepada Independent Review Board (IRB) saja?
IRB itu kan kepanjangan tangan dari luar negeri. Mereka terdiri atas 5 orang, 2 orang Indonesia dan 3 orang asing. Mereka dipasang untuk mengawasi BPPN dan mereka menuntut agar long form diberikan kepada mereka. Mereka enggak ada dalam Pasal 40 UU Nomor 10.
Sekarang kita ada masalah yang besar. Di satu pihak ada kepentingan masyarakat, dan di lain pihak ada masalah prinsip menegakkan hukum. Sekarang kita ditempatkan pada situasi di mana seolah-olah demi kepentingan masyarakat, demi kepentingan rakyat, kita dipaksa-desak oleh orang-orang melanggar hukum. Pertanyaannya: apakah itu permintaan yang wajar atau enggak? Kita sendiri yang harus menjawab.
Tapi apa tidak bisa minta fatwa majelis Mahkamah Agung? Karena ini kan menyangkut kepentingan orang banyak sekali?
Ya, memang itu satu pemikiran yang dikembangkan. Dan kita memang harus meminta pendapat pertimbangan hukum dari MA mengenai apa yang sebaiknya yang dilakukan dalam hal ini. Dan yang penting bagi saya adalah memang saya melindungi seseorang, beberapa orang, tapi bukan yang bersalah. Yang saya lindungi adalah orang-orang BPK yang melakukan tugasnya secara tidak ada maksud tertentu, orang PwC yang melaksanakan kerja dengan sebaik-baiknya. Saya melindungi mereka bagaimana mereka itu terhindar dari ancaman hukum itu. Karena, enggak fair bahwa demi kepentingan IMF dan sebagainya, demi kepentingan masyarakat umum dan sebagainya, orang-orang yang mau bekerja dengan baik itu kena hukuman penjara.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Malah orang yang bersalah terlindungi. Buktinya, polisi menyebutkan tersangka utamanya Rudy Ramli, padahal menurut hasil PwC kan bukan dia?
Ya. Jadi, menurut pengamatan kita dan saran kita kepada polisi, ada unsur pidana lain, di samping unsur pelanggaran undang-undang perbankan. Kita duga, kita ada sangkaan, bahwa di sini ada tindak pidana penggelapan. Ada kemungkinan juga ada tindak pidana korupsi. Cuman, kita sebagai auditor hanya bisa menemukan tanda-tanda, indikasi yang kuat, bahwa terjadi penggelapan,terjadi kemungkinan korupsi. Sebab, hanya polisi dan kejaksaan yang bisa membuktikan bahwa benar-benar itu terjadi.
Artinya, kalau begitu, seharusnya tersangka utamanya, kalau dilihat dari laporan yang diberikan, adalah Pande Lubis dan para pejabat lainnya?
Kita mencatat bahwa yang sangat aktif di dalam pengurusan tagihan BB itu memang Pande Lubis itu. Sebab, kita ingat bahwa sewaktu diurus tagihan BB itu, semestinya di bawah peraturan yang ada, yaitu SKB yang lama antara BI dan BPPN, tagihan BB itu tidak bisa diproses. Sehingga, sebelum tanggal diberlakukannya SKB baru, mestinya tagihan itu mati. Nah, kita lihat bahwa tiba-tiba yang mati itu dihidupkan kembali. Dan yang menghidupkan kembali itu adalah orang yang ada dalam tubuh BPPN. Pertanyaannya: apa alasan dia berbuat seperti itu? Pertanyaan kedua: apakah dia bertindak sendiri? Pertanyaan ketiga: kalau dia bertindak dengan orang lain, siapa orang-orang itu? Itu yang harus diusut.
Dalam era reformis ini, masyarakat menuntut tidak hanya kekakuan hukum, tapi juga keberanian politis dan moral dari seorang Billy Joedono untuk menyelamatkan bangsa. Mengapa Anda tak memilih langkah melanggar hukum demi kebaikan bangsa?
Nah, di sini muncul sosok saya. Prinsip saya begini, kita tidak bisa membangun demokrasi dengan bertindak secara tidak demokratis. Kita tidak bisa menegakkan supremasi hukum dengan melanggar hukum. Karena apa? Karena kita sendiri menjadi bagian dari bangunan itu. Demokrasi supremasi hukum itu kan cara melakukan sesuatu. Nah, kalau kita sendiri bertindak di luar hukum, melanggar hukum, tidak demokratis dengan alasan UU demokrasi, itu kan palsu? Sebab, yang menjadi bangunan demokrasi, yang menjadi bangunan supremasi hukum, adalah tindakan kita secara nyata. Kita enggak bisa melanggar hukum demi membangun supremasi hukum. Kita tidak bisa bertindak tidak demokratis dengan alasan membangun demokrasi. Sebab, tindakan kita merupakan bagian dari bangunan demokrasi itu sendiri.
Anda dikenal dekat dengan Presiden Habibie, bahkan dalam beberapa hal barangkali Anda memiliki utang budi kepadanya. Hipotetis saja, seandainya Presiden Habibie terlibat, mana yang akan dikorbankan, pertemanan atau rasa keadilan bangsa?
Ya prinsip, dong. Dan Pak Habibie tahu itu. Kalau kita disuruh memilih pertemanan atau prinsip, kita pilih prinsip.
Dan prinsip seorang Billy Joedono adalah ?
Ya, menegakkan keadilan, menegakkan hukum yang berlaku, menegakkan demokrasi. Memang saya itu dari dulu terkenal sebagai orang yang melawan arus. Tapi lebih baik ada satu orang melawan arus daripada mengikuti ribuan orang yang mengikuti arus. Sebab, justru banyaknya orang yang mengikuti arus itu yang menjadi sumber malapetaka yang kita alami sekarang.
Ada isu bahwa Gus Dur dan Amien Rais disebut-sebut terlibat dalam laporan PwC itu.
Enggak ada itu. Saya sebagai Ketua BPK bisa mengatakan di sini secara tegas bahwa nama-nama itu enggak ada dalam laporan. Titik. Jadi, orang itu ngarang-ngarang. Justru karena laporan itu saya pegang, orang menyangka-nyangka. Dan itu tidak bener, kan? Itu namanya presumption of guilt. Kita dalam situasi di mana orang percaya betul kepada isu, rumor, kepada yang belum fakta. Dan ini jahat sekali. Siapa pun yang mengatakan bahwa kedua orang itu ada dalam laporan, bohong itu. Enggak ada itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo