Proyek kontroversial Chandra Asri Petrochemical Center memasuki babak baru. Industri petrokimia termegah dengan investasi US$ 2 miliar ini tak lama lagi akan menjadi milik rakyat Indonesia. Megaproyek yang pernah dihujat karena minta begitu banyak proteksi dan makan begitu banyak kredit dari bank BUMN itu akan diambil alih pemerintah.
Pahala atau karma? Hadiah atau tulah? Entahlah. Yang pasti, pengambilalihan megaproyek petrokimia dari tangan pemilik lamanya (trio Bambang Trihatmodjo, Prajogo Pangestu, dan Henry Pribadi bersama konsorsium sogososha Jepang) oleh pemerintah merupakan bentuk penyelesaian utang Chandra Asri yang macet di bank-bank BUMN.
Berapa persisnya jumlah kewajiban Chandra Asri ke bank-bank pemerintah tak pernah jelas. Menurut catatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), lembaga yang mengelola utang macet, pinjaman Chandra Asri mencapai Rp 4,2 triliun. Tapi sumber yang dekat dengan pabrik olefin (bahan baku utama industri plastik) itu yakin, beban utang Chandra Asri ke BPPN telah mencapai US$ 900 juta atau Rp 7,2 triliun.
Mana yang benar, tak penting betul. Cuma satu hal memang harus dicatat: utang itu, berapa pun nilainya, terlalu berat untuk disangga Chandra Asri. Apa boleh buat, proyek ini telah cacat sejak lahir. Selain merupakan proyek petrokimia, Chandra Asri dipakai sebagai alat untuk menyedot pinjaman banyak-banyak. Dana hasil pinjaman itu, sayangnya, tak dipakai melulu untuk membangun pabrik petrokimia, tapi, menurut seorang sumber di Departemen Keuangan, ''Digunakan untuk keperluan lain."
Singkat kata, proyek Chandra Asri di-mark-up, dibangun dengan biaya melampaui nilai wajarnya. Seorang pengusaha petrokimia menggambarkan, di seluruh dunia, pabrik olefin rata-rata dibangun dengan investasi US$ 1.200 per ton. Tapi Chandra Asri didirikan dengan biaya US$ 2.800 per ton produksi, lebih dari dua kali lipat biaya wajarnya. Akibatnya, gampang ditebak, pada tingkat operasi yang wajar, arus kas Chandra Asri tak mungkin menutupi biaya cicilan utang. Dengan kata lain, beban utangnya kelewat besar ketimbang kemampuan usahanya.
Tapi mengapa trio investor tadi begitu berani menjudikan miliaran dolar untuk proyek yang keberatan utang ini? Ada senjata pamungkas yang mereka jagakan: kekuasaan. Berbekal koneksi politik yang heboh, mereka berharap mendapatkan proteksi sebesar-besarnya. Pada masa awal operasinya, Chandra Asri dilindungi pemerintah dengan mengenakan bea masuk 40 sampai 45 persen untuk setiap produk yang dihasilkan pabrik petrokimia ini. Akibatnya, para konsumen, pemakai bahan baku industri plastik, tak punya pilihan lain kecuali membeli kebutuhannya dari Chandra Asri.
Dengan fasilitas yang begitu empuk pun, kinerja keuangan Chandra Asri tetap awut-awutan. Sejak beroperasi pada 1995, produsen etilen dan polietilen ini tak pernah untung. Sampai sekarang, total kerugian proyek ambisius ini mencapai US$ 650 juta.
Lalu apa yang diharapkan pemerintah dari proyek dengan cacat bawaan ini? Menurut sumber TEMPO di BPPN, kendati cacat, proyek ini masih punya prospek. Chandra Asri merupakan satu-satunya pabrik penghasil olefin di dalam negeri. Monopoli ini mestinya memberinya banyak kesempatan bisnis.
Selain peluangnya masih terbuka, Chandra Asri tidak berdiri sendiri. Ada banyak industri lain yang terikat dengan industri hulu ini. Di bagian hilir, misalnya, ada sejumlah industri antara yang mengolah hasil Chandra Asri. Jika Chandra Asri ditutup, sejumlah industri akan terganggu dan bahkan mungkin juga ikut tutup. ''Dampak sosialnya sangat besar," katanya. Selain itu, biaya untuk mengimpor bahan baku industri plastik akan membangkak. Bukan mustahil, neraca pembayaran juga akan terganggu. Karena itu, telah diputuskan, ''Chandra Asri harus jalan terus."
Tapi bagaimana mengatasi borok utangnya? Kabarnya, BPPN sudah menyiapkan sejumlah jurus. Sebagai langkah awal, lembaga pemerintah ini akan memilih satu dari tiga calon auditor independen (PricewaterhouseCoopers, Arthur Andersen, dan Amir Abadi Yusuf) untuk mengaudit Chandra Asri habis-habisan.
Audit itu akan mengukur kemampuan Chandra Asri membayar utang sekaligus meneliti penggunaan utang yang telah dicairkan. ''Kalau pinjaman ini tak dipakai dengan benar, pemegang saham lama akan digusur habis dari Chandra Asri," katanya tegas. Maksudnya, 100 persen saham Chandra Asri akan menjadi milik pemerintah tanpa menyisakan satu lembar pun untuk pemegang saham lama.
Setelah audit beres, barulah akan dilakukan pengalihan utang dengan saham (debt to equity swap). Beberapa utang yang dialihkan, belum jelas. Tapi, menurut seorang yang mengetahui negosiasi utang-piutang ini, pada tahap pertama akan dikonversi pinjaman senilai US$ 700 juta. Sisanya, US$ 200 juta, dijadwalkan ulang pelunasannya. Jika US$ 700 juta pinjaman ini sudah diubah menjadi saham, beban kerugian diharapkan bisa ditutup. ''Arus kas bisa jalan sehingga ada margin keuntungan," katanya.
Persoalannya, berapa nilai US$ 700 juta pinjaman itu? Di sinilah letak selisih paham antara pemerintah dan para pemegang saham Chandra Asri, terutama konsorsium sogososha Jepang. Para saudagar dari Negeri Samurai itu, kabarnya, sedang berusaha mendongkrak harga Chandra Asri agar pemerintah Indonesia tak terlalu banyak mengambil oper saham mereka.
Menurut perhitungan koran ekonomi Nihon Keizai Shimbun, jika saham Marubeni (salah satu sogososha pemegang saham Chandra Asri) berkurang satu setengah persen saja, kerugiannya bisa mencapai 20 miliar yen (kurang lebih US$ 167 juta). Dengan kata lain, mereka menilai Chandra Asri dengan harga sekitar US$ 10 miliar. Jadi, kalau cuma menyetorkan US$ 700 juta (yang dikonversi dari utang tadi), paling banter pemerintah hanya kebagian 7 persen saham. Luar biasa.
Tentu saja, pemerintah tak bisa menerima. BPPN juga punya hitungan. Seorang sumber menyebut nilai US$ 700 juta itu kini setara dengan 70 persen saham Chandra Asri. Karena itu, perkiraan komposisi saham Chandra Asri setelah restrukturisasi kelak adalah 70 persen pemerintah dan 30 persen dibagi di antara pemegang saham lama sesuai dengan porsinya semula. Tapi, menurut sumber TEMPO, komposisi itu bisa berubah 60:40 atau bahkan 55:45. Prinsip dasarnya: jika pemegang saham lama bersedia menginjeksikan tambahan modal, porsi mereka bisa bertambah. Tapi, jika tidak, kepemilikan mereka malah bisa merosot.
Jika memang berniat mengembangkan Chandra Asri, peluang untuk menginjeksikan modal ini sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh para juragan dari Jepang itu. Mereka bisa saja memanfaatkan pinjaman lunak dari pemerintah Tokyo (misalnya melalui Miyazawa Plan) untuk mem-bail-out (menanggung dan menebus) seluruh utang Chandra Asri. Dengan cara ini, mereka bisa mengangkangi pabrik olefin itu sendirian.
Namun, apakah mengonversi utang menjadi penyertaan saham akan menyelesaikan masalah? Di atas kertas, beban keuangan Chandra Asri memang akan lebih ringan, tapi belum tentu kinerja operasionalnya terbantu. Menurut sumber TEMPO di BPPN, persoalan Chandra Asri bukan cuma utangnya sudah membengkak lebih besar ketimbang aset. Lebih dari itu, jaringan bisnis Chandra Asri dikuasai kelompok tertentu.
Pemasok bahan baku nafta, misalnya, didominasi oleh Grup Napan (milik Henry Pribadi). Kalau pemerintah mengambil oper Chandra Asri dan mendepak Napan sebagai pemegang saham, pekerjaan pertama yang harus dilakukan adalah mendobrak monopoli perdagangan nafta. Cerita yang sama juga terjadi pada saat pemasaran produk Chandra Asri. ''Pasar domestik olefin sudah ditongkrongi para mafia yang dikendalikan mereka juga," katanya. Karena itu, menurut sumber tersebut, pemerintah harus menjajaki pemasaran Chandra Asri ke luar negeri. Ini tidak mudah karena pabrik olefin yang sebentar lagi menjadi milik rakyat itu tidak mampu bersaing dengan pabrik lain di luar negeri alias tidak kompetitif.
Jadi? Pahala atau karma, hadiah atau tulah, seperti biasa, rakyat tak banyak punya pilihan.
M. Taufiqurohman, Agus Hidayat, dan Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini