Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Revolusi hewan yang mengalahkan...

Pementasan sandiwara para binatang karya n. riantiarno di tim. disadur dari karya orwell. unsur surprisenya berkurang dan kurang menggigit. riantiarno tampak kurang bergairah.

17 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Revolusi hewan yang mengalahkan...
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
ADA "sandiwara pikiran". Ada "sandiwara hiburan". Apa salahnya? Setelah pertunjukan Teater Ketjil dengan Sumur tanpa Dasar-nya yang gemilang di Gedung Kesenian Pasar Baru, Jakarta, Teater Koma menggebrak di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Untuk 23 hari, sejak 3 Oktober, grup yang dipimpin N. Riantiarno ini memainkan Sandiwara Para Bintang -- saduran bebas dari Animal Farm karya George Orwell. Inilah kisah revolusi yang dilakukan para binatang untuk merebut kekuasaan. Dasar binatang, kekuasaan itu pun diperebutkan kembali. Para binatang di peternakan Manor itu melakukan revolusi setelah Babi Mayor yang mereka jadikan pemimpin, tutup usia beberapa saat setelah ia berkotbah panjang lebar tentang nasib buruk para binatang. Mereka berhasil menyingkirkan pemilik peternakan, Yonas (Sjaeful Anwar), manusia pemabuk yang punya istri cerewet (Ratna Riantiarno). Dalam Animal Farm yang antifasis dan antikomunis itu, Orwell memang mengibarkan panji yang menyindir, "Semua binatang sederajat, tapi beberapa lebih tinggi derajatnya dari yang lain." Kebersamaan binatang itu dalam revolusi yang mengalahkan insan bukan saja melahirkan negara baru, tetapi juga landasan dasar kaum binatang yang dinamai Tupedut alias Tujuh Pedoman Utama. Lagu suci perjuangan diciptakan, slogan untuk membangkitkan kebersamaan diteriakkan: empat kaki bagus, dua kaki jelek. Maksudnya mengejek manusia -- tentu berkaki dua -- sebagai biang keserakahan. Kemudian para babi merasa telah jadi pahlawan, berebut jadi pemimpin dan menawarkan program-proramnya. Babi Napoleon (Didi Petet) menginginkan dibangunnya kincir angin. Dan nantinya setelah dipasangi mesin, listrik mengalir ke berbagai kandang yang bisa meningkatkan produksi. Sebaliknya, Babi Snobol (Taufan S.) mengecam kincir angin itu sebagai proyek mercu suar. Kekuasaan dengan cepat mengubah "kebinatangan" Napoleon dan para pengikutnya. Snobol digulingkan. Bahkan diuber-uber bagaikan seekor babi kurap. Jadilah Napoleon pemimpin tunggal. Kepemimpinan cenderung diktator, korup, sewenang-wenang. Falsafah dasar Tupedut tiba-tiba ditambah di sana-sini -- untuk meneguhkan kekuasaan -- dan lagu suci pun diubah. Sejumlah penjilat bermunculan. Bintang-bintang jasa bertaburan bagi yang dekat kekuasaan. "Aku sebenarnya tak pantas menerima bintang ini. Tapi karena kalian memaksa, ya, terpaksa aku terima," kata Napoleon ketika para binatang penjilat menganugerahi bintang Mahabinatang Kelas I. Napoleon membuka prioritas dan fasilitas kepada kaumnya: babi. Sedangkan para ayam, kuda, betet, dan keledai digencet sampai setengah modar. Sebaliknya, persahabatan dengan manusia -- yang tadinya diharamkan sesuai dengan wasiat Mayor -- dipulihkan kembali. Untuk para pemain, memang terbuka tantangan melayani pewujudan "kebinatangan" yang diminta naskah. Mujur, suasana fabel dapat ditancapkan dengan berhasil pada adegan pembuka. Bahkan sampai pada saat Mayor (dimainkan bergantian oleh Riantiarno dan Boedi Giant) menyampaikan fatwanya yang terakhir. Justru ini adegan paling mencekam dari "opera" yang menyita waktu tiga jam itu. Dalam panggung yang sesak, celetukan-celetukan yang membuat penonton biasanya tertawa -- sebagaimana opera Riantiarno sebelumnya -- tak menggigit lagi. Dan klise. Salim Bungsu, yang memerankan keledai Benyamin, kian sulit memancing tawa, walau segala upaya dilakukannya, termasuk pelesetan kata seperti Srimulat. Sampaikah pesan Orwell melalui saduran bebas ini? Bagi Sutradara Riantiarno, tampaknya, hal itu tak penting-benar. Sejak memilih bentuk pengucapan musikal, perkumpulan ini lebih mengupayakan sebuah teater yang menghibur -- tak perlu benar "merenung" dan "mendalam". Naskah, agaknya, juga tak lagi diolah dalam tafsiran. Yang tampak jelas, lewat Sandiwara Para Binaang ini, Riantiarno kelihatan seperti capek, kurang bergairah. Ia bagaikan hanya mengejar jadwal pentas. Komedi satire pengarang kelahiran India yang besar di Inggris ini dipentaskan dengan datar, tak menukik pada persoalan yang lebih tajam -- sebuah protes pada kekuasaan yang cenderung sewenang-wenang. "Trade mark" itu memang kekuatan, tapi sekaligus kelemahan Teater Koma. Unsur surprise semakin berkurang. Karena itu, konsumen dengan mudah menebak kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi pada adegan berikutnya. Memang ada upaya mengangkat suasana. Antara lain dengan menampilkan selingan antistruktur yang murni entertainment. Misalnya ketika Kuda Molly dan Gagak Moses menyanyi dan menari, lengkap dengan permainan lampu yang mengubah pentas menjadi semacam diskotek. Kita langsung ingat: ini sebuah musical play. Tiga jam memang tenggang waktu yang mungkin memustahilkan kemampuan stamina. Apalagi untuk show panjang, sebuah catatan rekor dalam sejarah teater modern kita. Riantiarno sudah memulainya, dan bukan tanpa kesadaran memikul risiko. Kritik sosial, seperti yang mungkin banyak terpantul pada produksi ke-42 ini, memang lebih disurutkan ke belakang. Ke bawah redaman olah gerak, dialog komikal, setting yang mendesak, dan musik Harry Roesli serta sound system yang mengentak. Walau begitu, Teater Koma masih jadi pilihan yang patut ditonton -- biarpun sekali ini terpaksa disertai sejumlah catatan kaki. P.S. & B.S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus