Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Band Efek Rumah Kaca (ERK) merilis lagu baru berjudul "Freedom Writer" untuk meramaikan Peringatan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer atau Seabad Pram. Lagu ini diadaptasi dari kesaksian Pramoedya dalam laporan Amnesty International pada 1972.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pilihan Editor: Efek Rumah Kaca dan Khidmat Konser Rimpang Versi Luar Ruangan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sebuah ode yang penuh perenungan dan permenungan akan sosok Pramoedya Ananta Tour yang telah memberikan inspirasi bagi kebebasan dan pembebasan akan nilai-nilai kemanusiaan universal,” kata gitaris Efek Rumah Kaca, Reza Ryan, dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Sabtu, 8 Februari 2025.
Kata Usman Hamid Soal Lagu Baru Efek Rumah Kaca
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid mengatakan, "Freedom Writer" terinspirasi dari kesaksian Pramoedya. Sebagai tahanan politik, ia melukiskan betapa berat kehilangan kebebasan, keluarga, dan kerja sebagai penulis. "Pramoedya adalah pengingat betapa pentingnya menulis dan berbicara tentang kebenaran,” katanya.
Vokalis grup musik Usman And The Blackstones (UATB) itu menjelaskan, "Freedom Writer" adalah lagu yang hendak mengingatkan kita tentang pentingnya kebebasan berekspresi. Ia menilai lagu itu merupakan penghormatan ERK kepada Pramoedya. "(Pramoedya itu) Pengarang yang sangat mencintai Indonesia,” ujarnya.
Usman mengakui sebagai seseorang yang mencintai Indonesia seperti Pramoedya, dia merayakan pencapaian karya sastra yang mendunia. Perhelatan Seabad Pram, katanya, menguatkan kembali cita-cita Soekarno dan Hatta dan sebagai pendiri republik: Kebebasan dan kemerdekaan adalah hak setiap anak bangsa.
"Marilah kita rayakan cita-cita mereka dengan mengajak semua anak bangsa saling menghormati perayaan kemerdekaan kita sebagai bangsa,” ucap Usman.
Profil Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan kelahiran Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925. Penerima Ramon Magsaysay di Manila, Filipina, pada 1995, itu menulis banyak karya yang berhasil menggugah pembaca.
Sejumlah karya terkenalnya adalah Tetralogi Buru, yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Empat buku ini ditulis saat ia dipenjara di Pulau Buru, Maluku. Pengarang yang akrab dipanggil Pram ini dipenjara di Pulau Buru sepanjang 1969-1979, setelah sebelumnya dipenjara di Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah. Total ia ditahan rezim Orde Baru tanpa proses pengadilan selama 14 tahun.
Sejumlah seniman, sastrawan, musisi, pematung, dan pemerintah Kabupaten Blora merayakan #SeabadPram di Blora pada 6-8 Februari 2025. Acara itu dirayakan meliputi pemancangan nama jalan Pramoedya Ananta Toer. Selain itu memorial lecture, diskusi, pameran cetak ulang buku.
Screening film, pementasan teater, dan konser musik bertajuk Anak Semua Bangsa dengan menghadirkan musisi nasional. Pengarang yang meninggal pada 30 April 2006 di Jakarta itu berpulang dengan meninggalkan warisan karya monumental. Buku-bukunya terus menginspirasi pembaca meski berkali-kali dilarang.