Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Rupa yang Kembali pada Cerita

Sepuluh komikus muda menggelar pameran di Ruang Rupa. Mereka mulai menghasratkan lagi bercerita.

23 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG, rupanya, amat menentukan sebuah karya adalah seni atau bukan. Karya rupa yang ditempatkan dalam museum atau galeri akan dengan segera didefinisikan sebagai bernilai ”seni”. Hal ini jadi masalah besar bagi komik, yang selalu terjepit antara desakan menjadi seni dan desakan menjadi massal. Apalagi ketika komik ditempatkan di Ruang Rupa, tepatnya di Galeri Ruru, sebuah ruang seni yang rupanya ingin menyempal dari ruang-ruang seni yang resmi.

Sepuluh komikus muda Indonesia dikumpulkan oleh dua kurator muda dalam Komik Magnetik, Pameran 10 Seniman Komik di Ruang Rupa, Tebet, Jakarta. Pameran berlangsung pada 14-29 November 2009. Pembukaan pada Jumat, 13 November 2009, dihadiri ”cukup banyak (sekitar 60 orang) untuk ukuran hujan lebat,” kata Indra Ameng, koordinator program Galeri Ruru.

Kesepuluh komikus muda itu ditabalkan para kuratornya, Ifan Ismail dan Yudha Sandy, sebagai ”seniman komik”, seperti tertulis di katalog. Dengan segera kita berjumpa dengan sebuah pembedaan, sebuah pengistimewaan, yang hanya dianggap absah jika dilakukan dalam ruang seni semacam Galeri Ruru. Bisa berarti bahwa 10 komikus ini seniman, dan komikus lain (yang belum masuk galeri) belum atau bukan. Bisa juga berarti bahwa 10 komikus ini sedang ditahbiskan jadi ”seniman”. Atau bisa jadi, 10 komikus ini dianggap cocok dengan kriteria seni sang galeri.

Dengan diundang (atau dibetot) masuk ke ruang Galeri Ruru, karya-karya 10 komikus itu masuk sebuah medan pemaknaan yang mengandung pakem-pakemnya sendiri. Hal ini bisa mempengaruhi moda produksi karya-karya mereka. Paling tidak, moda presentasi karya-karya itu. Dalam ruang sekitar 7 x 9 meter, komik tak hanya hadir dalam bentuk halaman-halaman terjilid (baca: buku). Ada yang berbentuk mural, instalasi, digital print, malah ada juga yang ditampilkan dalam bentuk animasi.

Misalnya karya Erwan Hersi Susanto, lebih dikenal sebagai Iwank, tersaji di salah satu dinding pojok ruangan dalam bentuk keratan-keratan panel dari komik berjudul Dikontrakkan (2000), yang ditempelkan ke dalam instalasi sederhana rumah-rumahan kardus berbalut kertas kado. Plus gambar ulang karakter-karakter dalam komik itu di atas guntingan koran Kompas, dalam ukuran hampir sebesar manusia (walau hanya separuh badan). Dengan kuas ukuran besar dan tinta hitam kental untuk gambar ulang itu, segera menonjol gaya ekspresif garis-garis kartun Iwank.

Keratan-keratan panel, cuplik-cuplik adegan komik juga jadi moda presentasi karya Fida Irawanto di landasan patung mainan karyanya, Manusia Kaleng (2009). Jika dipisahkan antara patung dan landasannya yang ditempeli keratan-keratan komik The Kids and Birds, ini karya yang biasa saja. Tapi landasannya memberi konteks bahwa sang patung lahir dari sebuah komik, dan dengan demikian seolah sang komik sedang menyeruak ke dalam sebuah ruang seni—menjadi karya ”seni”.

Karya Ign. Ade bahkan tampil dalam bentuk animasi digital hitam-putih, berjudul 39 Black (2009). Komik-komik mini Ign. Ade yang biasanya digandakan secara fotokopian biasanya merupakan meditasi waktu. Panel demi panelnya adalah progresi waktu lambat, ditandai oleh gambar yang sering serupa posenya, dengan hanya ditandai gerak maju waktunya oleh dialog-dialog yang merambat berkembang. Animasinya pun bernada sama: gambar-gambar statis, yakni bayi memegang kuas, dan mengguriskan bentuk-bentuk ke berbagai bagian tubuh, dengan gerak dan teks minimal. Entah dalam bingkai ironi atau memang serius, animasi ini pakai diiringi latar komposisi piano dari Mozart segala.

Paling kuat kehendak menjadi seni rupa adalah karya-karya Sulung Widya Prasatya. Dengan berani, ia sekalian mencanangkan ”komikolase”, yakni komik yang dibuat dari kolase guntingan koran. Bahwa ini ”komik” juga, seperti penilaian kedua kurator, bisa kita setujui dari segi: Sulung menyusun halaman demi halaman kolasenya sebagai sebuah sekuens (perurutan) pernyataan. Dalam komikolase, progresi yang terjadi bukanlah progresi adegan (karena memang tak ada ”adegan”) tapi progresi ide. Seperti percakapan, serangkaian pernyataan yang bergerak dalam waktu.

Kehendak untuk tampil, ditampilkan, atau menampilkan komik sebagai seni rupa adalah bagian dari ketegangan posisi komik sebagai makhluk hibrida. Komik adalah perkawinan antara teks dan imaji, gambar dan kata (walau komik tak harus berkata-kata), paduan seni rupa dan seni sastra. Namun, cilaka, ia lebih sering ditampik oleh lembaga-lembaga resmi seni rupa atau sastra. Ia bukan ”seni murni”, bukan pula ”bacaan baik”.

Karena itu pula, menghadirkan komik di ruang seni sering problematik. Ia harus bernegosiasi—kadang dengan keras—dengan ruang seni itu. Sebab, seni komik adalah seni massal. Sejak orok, seni komik menemukan keberartiannya ketika dibaca orang banyak, hadir di ruang tempat orang kebanyakan berada, sebagai bacaan populer. Unsur-unsur seni rupanya masuk kotak yang dengan nyaman diabaikan para punggawa seni murni: ”seni terapan”, ”ilustratif”, ”alat bercerita”.

Namun ruang-ruang seni resmi beranak ruang-ruang seni tak resmi. Ruang Rupa dan galerinya adalah ruang publik yang merupakan akibat logis peradaban kota tahap lanjut: ruang tempat publik bisa leluasa menciptakan kebudayaan dan pakem-pakem seni mereka sendiri, diskursus mereka sendiri, bahasa mereka sendiri. Di Ruang Rupa, stiker angkot atau foto amatiran adalah seni juga. Dan komik pun seperti menemukan rumah keseniannya. Wajarlah jika unsur-unsur seni rupa dalam komik seperti dilantangkan dalam pameran semacam ini.

Toh, semangat utama pameran ini adalah mencatat bahwa dalam dekade kedua generasi komikus Indonesia ketiga (yang lahir pada 1992, dengan dimulainya tradisi komik indie di Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta) ditandai oleh kembalinya cerita. Para komikus di pameran ini, disebut setengah bergurau oleh Ifan sebagai komikus Indonesia ”Generasi 3.5”, mulai menghasratkan lagi bercerita.

Karya-karya Aji Prasetyo, yang bercorak ”old school”, karena kecenderungannya pada gaya realisme dan kartun Barat, tampak menonjol dalam hal ini. Aji memang membuat komik dalam dua gaya. Untuk Menik dan Setan Kerambit (belum selesai) dibuat secara realis. Komentar-komentar sosialnya, yang hanya diterbitkan di multiply.com, diguris dalam gaya kartun yang ”biasa”.

Untuk karya-karya realisnya, Aji mementingkan riset dan pendalaman karakter. Untuk kartun-kartun sosialnya, ia mengandalkan kepekaannya pada isu-isu terhangat. Lihat saja kartun tentang polah pegawai negeri yang serba rumpi, misalnya, atau kartun setan yang merasa kalah jahat oleh manusia di bulan Ramadan yang suka menghujat keyakinan orang lain.

Yang juga menonjol adalah komik diary Sheila Rooswitha Putri (Lala), kali ini tampil dengan catatan perjalanannya ke Gunung Kawi. Pada Lala, detail jalanan Gunung Kawi menjadi bagian penting cerita—bukan sekadar pamer kemampuan gambar. Sesuatu yang agaknya kurang berhasil dilakukan Azisa Noor dari Bandung. Lala dan Azisa sebetulnya tipikal komikus generasi ketiga kita: generasi yang dibesarkan dengan anggapan bahwa komik adalah gambar, gambar, gambar, dan (seakan) bukan cerita.

Tapi Azisa belum sepenuhnya mampu menaklukkan gambar. Komik-komiknya masih ”sawan (demam) gambar”, dan belum penuh bercerita. Hasrat itu ada pada Azisa. Seandainya Azisa lebih bersahaja, seperti Rhoald Marcellus (yang ”jagoan” membuat kisah-kisah patah hati berlatar dunia antah dongeng anak). Atau seperti Eko S. Bimantara dan Prihatmoko Catur (Moki), yang mampu girang bercerita lewat medium komik setrip (komik-komik pendek) mereka.

Ben Okri, dalam A Way of Being Free, bersabda: untuk meracuni bangsa, racunilah cerita mereka. Jika para komikus ini ingin asyik lagi mencipta cerita, bolehlah kita bermimpi mereka akan ikut menyehatkan bangsa kita yang sedang keracunan ini.

Hikmat Darmawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus