Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jangan dateng ari Saptu atawa Minggu, saye mo pegi ke Puncak.” S.M. Ardan menulis pesan pendek itu untuk saya pada 10 November 2006. Sudah lebih dari dua bulan kami bolak-balik bertemu untuk penyuntingan kumpulan cerpennya. Pada 2 Februari 2007—saat dia genap 75 tahun—kami mengangankan akan merayakannya dengan kumpulan cerpen tersebut.
Dua hari kemudian saya mendapat kabar bahwa sastrawan yang juga tokoh perfilman itu tertabrak motor. Ia koma tujuh hari, lalu meninggal. Ketika melayat Almarhum, saya tanyakan ke istrinya, ”Apakah benar hari itu Almarhum pergi ke Puncak?” Istrinya menjawab, ”Nah…nah ngelantur tuh Abang ngomongnya, pan itu ari dia di rumah aja.” Saya jadi teringat pada kepercayaan orang Betawi bahwa sebelum orang meninggal dunia, dia akan ngebekasin atau memberi isyarat berupa omongan yang melantur atau aneh.
Bolehlah disebut S.M. Ardan ngebekasin saya. Yang terus membekas ke ingatan saya adalah kata-katanya ”pegi ke Puncak”. Kata-kata itu seperti lorong waktu yang membawa saya terkenang sebuah sajaknya tentang daerah dingin di Puncak: ”Kenangan dari Ciloto” di Siasat, 1953.
Ini salah satu sajak yang menandakan kehadiran pertama Ardan dalam peta sastra Indonesia. Sajak muram yang merupakan jalinan sikap moral terhadap sebuah kehilangan. Ada nada sunyi dan rindu ceria keluarga serta ketiadaan cinta kasih orang tua. Misbach Jusa Biran, teman segalang-segulungnya, mengungkapkan bahwa sajak itu, juga sajak-sajak Ardan lainnya di Poejangga Baroe, Siasat, Madjalah Nasional, Indonesia, dan Zenith, direguk idenya dari kehidupan Ardan sendiri yang diliputi kemuraman karena kematian ayahnya sejak ia berumur enam tahun.
Suatu saat di masa kecil (sesuai dengan blangko biodata di PDS H.B. Jassin), Ardan punya empat cita-cita. Salah satunya menjadi penyelidik kehidupan manusia. Dalam cerpen Abang Pulang Siang—kelak dalam semua cerpennya—ia benar-benar berusaha mewujudkan dirinya sebagai penyelidik kemasyarakatan. Kritikus Boejoeng Saleh dan H.B. Jassin pun mengakui Ardan pengamat yang teliti. Dia akan membantu sekali penyelidikan mengenai Betawi-Jakarta. Antara lain, dengan mendokumentasikan bermacam unsur tradisi-budaya Betawi.
Ada satu anggapan keliru selama ini tentang Ardan, yaitu bahwa dia orang Medan. Dia hanya menumpang lahir di Medan 2 Februari 1932. Tapi tulen beribu-bapak Betawi. Ayahnya seorang tukang potret yang merantau ke Medan dan kembali ke Jakarta saat Ardan berumur enam tahun. Jadi Ardan adalah ”orang dalam” Betawi-Jakarta. Ia tumbuh di antara anak-anak Betawi-Jakarta, mengalami suka-duka mereka. Sehingga, mengutip Ajip Rosidi, Ardan mampu membuat cerita-ceritanya disemangati pengamatan rasa kemanusiaan yang inklusif, merangkul dan memiliki kesadaran kemanusiaan yang satu.
Tema dunia rakyat Betawi-Jakarta dalam sastra Indonesia saat itu bukanlah baru. Aman D. Madjoindo telah mulai dengan Si Dul Anak Betawi. Lantas M. Balfas dengan Si Gomar. Tapi Ardan lebih menukik dari keduanya. Madjoindo bukan omong Betawi. Ejaannya saja yang Betawi, tapi gaya dan jiwanya Indonesia-Minang. Balfas lebih murni dari Madjoindo, ia menggunakan omong Betawi Ora’. Tapi agak kebelanda-belandaan. Di sinilah kelebihan Ardan. Dia memakai benar-benar dialek Betawi. Dan sebagai ”orang dalam”, nyata benar kewajarannya.
Pada pertengahan 1950-an Ardan adalah tokoh yang memikat. Gaya baru cerpennya disambut, para kritikus menyorotnya. Bahkan dialek Betawi dipakainya untuk mengobarkan polemik di Star Weekly dan Kisah pada 1954 dan awal 1955 antara H.B. Jassin, B. Soetiman, Setiawan H.S., dan Lie Tie Gwan. Setiawan H.S. menyerang Jassin selaku redaksi Kisah bahwa memuat cerpen Ardan yang berlogat Betawi bisa mengancam persatuan nasional. Sedangkan bagi Jassin dan Lie Tie Gwan, justru karya Ardan memperkaya kesusastraan Indonesia.
Menjawab polemik itu, Ardan menulis; ia memakai dialek Betawi agar cerita-ceritanya lebih hidup. Soal menimbulkan perpecahan, justru sebaliknya. Etnis lain membaca cerpennya jadi tahu kultur orang Betawi sehingga bisa memahami. Sebab itu, ketika Ardan mengumumkan cerpen Abang Pulang Siang, Jassin mengimbau betapa perlunya tugas merekam yang dikerjakan Ardan diikuti juga oleh pengarang lain di daerah-daerah di luar Pulau Jawa.
Jika boleh menilai melalui cerpen-cerpennya, Ardan ingin menunjukkan bahwa ia tak pernah terasing dari tradisi dan rakyat kecil Betawi-Jakarta yang dicintainya. Betapa ia sedih atas bahaya-bahaya yang mengancam mereka. Kemiskinan, kebodohan, ketakutan, dan penyakit yang membekam mereka bukanlah takdir, melainkan suatu sistem jahat yang sengaja dibangun dari atas.
Ardan ”menyanyikan kesaksian” mereka. Dan berkat kesaksiannya, kita dapat mendengarkan derita rakyat kecil Betawi-Jakarta yang terus bertiup di gubuk-gubuk sepanjang tebing Ciliwung.
J.J. Riza (Pengamat Budaya Betawi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo