Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Komunitas seni Taring Padi memasang 22 jenis poster bertema sosial politik menyambut Pemilu, Rabu 17 April 2019. Poster berwarna hitam putih yang menggunakan teknik cukil kayu memenuhi sudut Kota Yogyakarta.
Baca: Berhadiah Puluhan Juta, KPU Kulonprogo Gelar Lomba Selfie Pemilu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tengoklah poster berbentuk lingkaran berdiameter 58 sentimeter yang memenuhi tembok Jembatan Kewek, perempatan Tugu, Taman Siswa, Bausasran, Sagan, dan Munggur. Hampir dua pekan poster-poster itu menghiasi jalanan Yogyakarta. Gambar komunitas yang mengusung konsep seni untuk rakyat itu ramai dengan pesan anti-korupsi, toleransi, hak asasi manusia, dan lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Seniman Taring Padi, Fitriani Dwi Kurniasih menciptakan poster bergambar kerumunan orang yang menggenggam simbol perdamaian. Dia membuat gambar peta Indonesia dan orang-orang dengan beragam latar suku, agama, dan ras. Fitri melengkapi karyanya dengan tulisan keberagaman kita pertahankan, perdamaian kita perjuangkan, semua bersaudara, toleransi, dan perbedaan bukan alasan untuk saling menghantam.
Lewat karya itu, Fitri mengkritik isu SARA yang sering digunakan sebagai alat politik di masa pemilu. "Isu tersebut rentan menimbulkan konflik dan perpecahan di masyarakat dan mengancam keberagaman Indonesia," kata Fitri, Senin, 15 April 2019.
Poster lainnya juga bicara soal pentingnya menjaga keberagaman. Misalnya pada karya yang menggunakan citraan kepala manusia. Tiga lidah menjulur keluar dari mulut tiga orang yang muncul hanya kepalanya saja. Pada mata dan kepala orang-orang itu terdapat gambar ponsel bertuliskan hoax. Karya ini mencantumkan narasi stop membuat kami buta dan perbedaan agama, suku, dan ras bukan alasan untuk saling membenci.
Poster 'Terompet Rakyat' dari komunitas seni Taring Padi di dinding Jembatan Kewek Yogyakarta. TEMPO | Shinta Maharani
Tema yang juga relevan dengan situasi politik saat ini muncul pada karya pendiri Taring Padi, Muhammad Yusuf. Poster Yusuf bicara tentang korupsi. Dia membuat gambar kerumunan orang miskin yang berjejal di antara gedung pencakar langit dan senayan. Ada gambar tikus yang sedang nangkring di gedung itu. Kerumunan manusia terlihat membelakangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Seorang ibu bertubuh kering kerontang menggendong anaknya, pengamen dengan gitarnya sedang bekerja di dalam angkot.
Dia membubuhkan tulisan korupsi itu keji. Fakir miskin dan anak terlantar dijadikan alasan hutang negara yang dikorupsi pejabatnya dilindungi oleh undang-undang dan kawannya. Maka bersatu dan lawanlah. Yusuf menggambarkan kejahatan korupsi seperti memakan jatah anak yatim dan itu sebuah kejahatan yang besar bagi orang beragama. "Dalam konteks pemilu, jangan memilih calon yang berpotensi korup dan yang pernah korupsi," kata Yusuf.
Baca juga: KPU Evaluasi Pemungutan Suara di Sydney yang Dikabarkan Kisruh
Poster lainnya menyinggung ihwal memilih atau tidak memilih (golput) dalam pemilu yang seharusnya dihargai. Dalam gambar itu muncul seorang musikus yang sedang bermain gitar dan tangga nada. Sang musikus menyanyi 1, 2, 3 serta partai lainnya semua sama-sama bohongnya. Pilih boleh, tidak memilih boleh. Jangan memaksa itu hak gua. Bebas memilih tanpa paksaan.
Karya Taring padi lainnya tentu saja tak beranjak dari isu panas yang membelit orang-orang pinggiran yang tak bisa bersuara. Misalnya perjuangan ibu-ibu petani Kendeng yang menolak proyek pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah. Taring Padi memberi nama poster-poster tersebut sebagai Terompet Rakyat 2018 - 2019.
Fitri menyebutkan poster itu dibuat untuk menyikapi situasi sosial politik terkini di Indonesia dan merayakan tahun politik, Pemilu 2019. Sikap kritis, kata Fitri tetap selalu diperlukan dalam mewujudkan cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Gagasan pendidikan politik untuk semua dan tuntutan rakyat menjadi tema besar dalam karya tersebut. Taring Padi membaginya menjadi isu korupsi, toleransi, lingkungan dan hak asasi manusia.
Karya itu dikerjakan secara manual dan gotong royong. Tak hanya di jalanan, poster-poster dengan karakter yang sama ditampilkan dalam pameran di sejumlah kota dan negara. Selain di Yogyakarta, poster itu ditempel di Blora Jawa Tengah dan Malang Jawa Timur.
Taring Padi memamerkan poster dengan tema yang sama di Kuala Lumpur Malaysia pada Februari 2019. Tema pamerannya Democracy Festival. "Selain poster, kami juga mencetak dalam bentuk buku dan zine," kata Fitri.
Taring Padi dikenal sebagai kelompok seni yang memproduksi poster dan pamflet pada masa Reformasi. Mereka memilih jalur turun ke kaum pinggiran. Terinspirasi oleh semangat Lembaga Kebudayaan Rakyat, sejumlah mahasiswa Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia mengagas pembentukan kelompok seni Taring Padi pada akhir 1998, setelah pemerintahan Soeharto tumbang. Mereka menyuntikkan kembali napas "kebudayaan rakyat" yang sempat dihadang sepanjang Orde Baru berkuasa.
Nama Taring Padi dicomot dari frase Minang yang berarti 'duri lembut pada ujung bulir gabah.' Meski kecil, jika mengenai tubuh, duri itu bisa menyebabkan gatal-gatal. Padi juga mengilustrasikan petani yang menjadi simbolisasi rakyat. Filosofi mereka jelas: seni bukan barang elite yang hanya bisa dinikmati di ruang-ruang galeri, tapi karya yang membumi dan melibatkan rakyat. Karena itu, seni terutama harus kritis, bukan sekedar keindahan.
Prinsip dan pola gerakan Taring Padi memang mirip Lekra, terutama Bumi Tarung--sanggar seni rupa yang berada di bawah Lekra. Mereka menolak konsep seni untuk seni karena dianggap hanya akan menjauhkan seniman dari rakyat. Konsep seni untuk rakyat ini, misalnya, mereka terapkan saat menggelar Festival Memedi Sawah di Desa Delanggu, Klaten, pada 1999. Mereka mengarak orang-orangan sawah bertuliskan "Emoh Bahan Kimia" serta memasang poster besar bertuliskan "Rebut Kembali Hak Rakyat Atas Pengembangan Kebudayaan Rakyat".
Sekilas prinsip dan pola kerja mereka identik dengan Lekra yang diberangus pemerintah Orde Baru sejak 1965. Karya seni rupa mereka mirip karya-karya perupa Sanggar Bumi Tarung, yang merupakan sanggar perupa di bawah naungan Lekra.
Dalam proses berkarya, mereka juga menerapkan konsep turba, istilah yang digunakan Lekra untuk blusukan ke masyarakat sebelum mereka menciptakan karya seni. Dalam Taring Padi, istilah itu diganti menjadi live In. Meski begitu, Yustoni Volunteero (almarhum), pendiri Taring Padi lainnya pernah menyebutkan menolak disebut sebagai pewaris Lekra. "Kami independen," katanya.