SWORDFISH
Sutradara : Skip Woods
Skenario : Skip Woods
Pemain : John Travolta, Hugh Jackman, Halle Berry
Produksi : Warner Brothers
DI SEBUAH kedai kopi, Gabriel Shear menghujat Hollywood sebagai pembuat film yang menyebalkan. Katanya, pabrik film itu selalu bikin film yang alur ceritanya mudah ditebak dan punya akhir yang selalu menyenangkan. Ia pun nyerocos menggugat ending film Dog Day Afternoon. Semestinya, film itu berakhir dengan lolosnya pelaku perampokan bank dengan uang rampokan itu dan hidup tenang bersama kekasih warianya. Pokoknya, menurut dia, persetan dengan moral.
Dialog yang diucapkan Gabriel Shear (John Travolta), penjahat bengis itu, menjadi pengantar memasuki sebuah dunia yang seolah-olah berbeda dengan Hollywood. Tapi betulkah film ini berbeda dengan film Hollywood lainnya? Simpan dulu deh harapan itu. Tidak ada hal baru dari film ini. Soal hacker yang jadi tema cerita, itu bukan yang pertama. Sudah banyak film Hollywood yang mengangkat soal tersebut. Lalu, konflik yang disajikan apalagi kalau bukan pertarungan si kuat melawan yang lemah. Soal ending juga tidak terlalu istimewa. Kalaupun ada yang lain, adalah soal alur yang tidak lagi linear. Tapi, maaf, itu juga bukan barang baru.
Sesungguhnya dialog tentang Dog Day Afternoon, yang diumbar Shear di awal, merupakan maklumat bahwa film ini berangkat dari cerita yang muncul dalam film yang melambungkan Al Pacino itu. Ringkasnya, film ini menarik ide adegan perampokan dan penyanderaan di bank—yang klasik dan asyik itu—lalu ditambahi bumbu penyedap yang klop dengan keadaan zaman kiwari, yakni hacking dan terorisme.
Swordfish dibuka dengan adegan perampokan bank yang mirip dengan adegan Dog Day. Bedanya, film ini tampil lebih mengerikan. Setiap sandera bukan lagi ditodongi pistol, melainkan diganduli bom. Pelaku perampokan ini adalah komplotan Gabriel Shear, seorang bekas mata-mata yang ingin membobol duit panas yang dikumpulkan DEA (badan antinarkotik AS) dalam operasi yang dinamai "Swordfish".
Di benak Shear, uang yang telah dikumpulkan selama 15 tahun untuk memerangi soal narkotik dan telah beranak-pinak hingga mencapai US$ 10 juta (Rp 90 miliar dengan kurs Rp 9.000) itu lebih baik dipakai melindungi AS dari serangan terorisme. Shear mendapat restu dan beking dari se-orang senator (Sam Shepard).
Dibantu Ginger (Halle Berry), asistennya yang seksi, cantik, dan licin, Shear membujuk Stanley Jobson (Hugh Jackman), hacker nomor wahid yang baru keluar dari penjara, untuk membobol uang dengan cara masuk ke jaringan komputer. Jobson tentu saja menolak. Dia tidak diperbolehkan lagi menyentuh tuts keyboard. Tapi Ginger punya kartu As: keselamatan Holy, anak Jobson satu-satunya, akan terancam bila ia menolak tawaran itu. Hacker itu pun manut. Nah, dari situlah cerita bergulir. Jobson masuk dalam jaringan Shear yang sulit disentuh.
Dalam 20 menit pertama, film ini bermain dengan tempo cepat dan dipenuhi adegan kekerasan seperti ledakan bom dan mobil yang beterbangan diterjang bom—beberapa di antaranya dengan gerak slow motion yang persis adegan dalam Matrix. Puncaknya adalah sebuah adegan bus yang melayang-layang di udara, ditarik sebuah helikopter. Secara visual, film ini memang menyajikan adegan-adegan yang tak terduga.
Film ini memang menjadi pembuktian untuk sutradara Dominic Sena, yang se-belumnya menggarap Gone in 60 Seconds dan Kalifornia—kedua film ini sarat dengan adegan kekerasan—untuk memainkan emosi penonton. Itu cukup berhasil. Be-berapa adegan yang bergulir kadang terjadi di luar dugaan.
Namun, ia pun bisa bermain-main dengan menyisipkan lelucon di antara ketegangan yang dibangunnya. Saat Jobson harus memecah kode sandi masuk ke situs Departemen Keamanan AS, di bawah ancaman pistol yang siap meletup ia harus memecahkan kata sandi dalam waktu 60 detik. Pada saat bersamaan, seorang perempuan blonda suruhan Shear memberikan pelayanan seks. Ketegangan dan sensasi yang dirasakan itu muncul dalam tampang kacau Jobson. Cukup menggelitik. Sayang, ketegangan sejenis itu diulangi lagi dalam adegan lain saat Jobson lagi-lagi disuruh memecah kata sandi. Kali ini nyawa Ginger yang menjadi taruhan.
Soal pengulangan tampaknya jadi masalah besar bagi industri film di Hollywood saat ini. Planet of the Apes, yang digarap Tim Burton, misalnya, mencomot beberapa cerita dari Star Trek dan Quantum Leap untuk melilitkan jalinan cerita yang mengolok-olok teori Darwin. Perhitungan bisnis dan selera yang telah telanjur terbentuk selama ini menjerat langkah para sineas di sana. Begitu pula yang terjadi dengan film ini.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini