TIGA balon raksasa melambung di atas lebih dari sepuluh ribu manusia yang menyemut di Stadion Tambaksari, Surabaya. Setiap kali jatuh menyentuh kerumunan, ratusan tangan segera menyundulkan lagi balon-balon itu ke langit. Begitu terus-menerus: bola raksasa itu melambung, turun, dan melambung lagi. Sementara itu, di atas panggung berukuran 240 meter persegi, Jamrud—sebuah grup musik rock papan atas—menyengat ribuan penonton dengan hit-nya yang berjudul Ningrat. Cahaya lampu sorot ribuan watt yang berpendar-pendar kian menaikkan histeria penonton.
Suasana di stadion itu betul-betul meriah pada malam Minggu, 25 Agustus lalu, tatkala Jamrud tampil pada acara penutup Djarum Super Rock Festival IX. Festival musik akbar ini menelan biaya hingga Rp 8 miliar. Krisis ekonomi yang melilit rupanya tak menyurutkan apresiasi musik penonton. Buktinya, acara rutin yang digelar sejak 1984 itu tetap diserbu orang. Festival yang melahirkan banyak grup rock kondang ini sejatinya mengusung niat mulia: mencari bibit-bibit pemusik rock. Upaya itu bukan tanpa hasil.
Elpamas—kelompok yang dikenal kerap membawakan lagu-lagu rock klasik dunia—adalah pemenang festival ini pada 1985. Jamrud berlomba di festival tersebut pada 1984, meski gagal menjadi juara. Festival ini memang bukan arena yang ringan. Dimulai sejak April lalu, kompetisi yang diadakan promotor musik Log Zhelebour ini menyaring 500 grup musik dari seluruh Indonesia. Babak penyisihan berlangsung di delapan kota: Denpasar, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Lampung, Medan, Banjarmasin, dan Makassar. Dari sana, panitia menyeleksi 20 grup terbaik, yang diperas lagi menjadi 10 kelompok.
Siapa bintang tahun ini? Dewan juri—di antaranya Bens Leo (pengamat musik), Totok Tewel, dan Jocky Soeryaprajogo (musisi)—memilih grup Ungu (Kediri) sebagai pemenang. Dua pemenang lainnya adalah Loe Joe asal Makassar dan Dadoo dari Gresik. Para finalis umumnya bukan wajah baru—setidaknya di daerah masing-masing.
Ungu, misalnya. Pada 1998, kelompok ini pernah menjuarai Festival Rock se-Jawa dan Bali. Di babak penyisihan, mereka adalah grup band terbaik untuk wilayah Jawa Timur. Green Master, finalis lain dari Malang, pernah tampil dalam Gudang Garam Road Show di sepuluh kota di Jawa Timur. Kelompok ini juga sudah ngetop di kota asalnya. "Kami semua belajar musik secara autodidak," kata Zyudistira, salah seorang personel Green Master. Semangat berautodidak itu agaknya tidak sia-sia. Sebab, menurut Bens Leo, "Dari sembilan kali festival, ini yang paling hebat." Toh, tidak semua grup mampu tampil orisinal.
Beberapa kelompok, misalnya, meniru-niru Jamrud, baik dalam warna musik maupun vokal. Padahal orisinalitas adalah salah satu faktor penting penilaian. Bens semula menjagokan Green Master sebagai pemenang. Tapi, begitu menyimak penampilan grup ini, dia ragu. "Lo, kok persis Jamrud?" katanya. Green, yang kecewa, menyangkal menjadi epigon band rock yang sudah kondang itu. "Suara saya aslinya memang begini, Mas. Enggak dibuat-buat," kata Zyudistira kepada TEMPO.
Orisinalitas bukan cuma penting untuk memenangi festival, tapi juga agar diterima pasar. Harap maklum, para finalis, selain mendapat uang, bakal memperoleh kesempatan masuk dapur rekaman. Apakah itu berarti festival ini akan membuka gerbang menuju ketenaran dan kekayaan? Belum tentu. Pemenang festival tak selalu mampu mencetak duit segerobak dari dapur rekaman. Salah satunya karena tak ada identitas yang spesifik itu. Grass Rock (pemenang Festival Rock 1986), misalnya, kerap diidentikkan dengan kelompok musik Yess. Harley Angles (1984) dikenal karena fasih menirukan lagu-lagu Van Hallen.
Alhasil, alumni Djarum Super Festival Rock yang melejit hanya Jamrud. Meskipun bukan pemenang festival, kelompok ini laris-manis. Ningrat, album terakhir Jamrud, kini terjual lebih dari 1,5 juta kopi hanya kurang dari setahun. Dan dalam setahun, kelompok ini bisa manggung sekitar 15 kali dengan bayaran Rp 30 juta sekali tampil.
Dengan kata lain, festival ini bukan jaminan menjadi jutawan. Agar bisa "lolos pasar", para juara harus pandai menjaga identitas grup. Salah satunya dengan me-milih materi lagu yang cocok dengan kelompok mereka. "Untuk sukses, dibutuhkan jam terbang, manajemen yang baik, dan kreativitas. Festival ini cuma menyediakan jalan masuk. Selebihnya tergantung mereka," kata Bens Leo.
Arif Zulkifli, Wahyu Dhyatmika (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini