Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sang Pemberontak di Gereja Santo Antonius

Di luar Arsenale dan Giardini, Biennale diramaikan sejumlah pameran yang lokasinya berbeda-beda. Dari Ai Weiwei sampai Antoni Tapies. Memaksa kita bertualang ke sudut-sudut Venesia.

23 Juni 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gereja Santo Antonius. Posisi gereja kecil itu di Jalan Castello, dekat kawasan San Zaccaria. Mencarinya cukup sulit, mesti melalui beberapa lorong. Gereja itu terletak di sebuah pojok dekat sebuah kelokan. Dari depan, kita melihat kotak-kotak serupa kontainer. Serangkaian bujur sangkar itu lebih-kurang memiliki tinggi 1,5 meter dan lebar 5 meter.

Beberapa kontainer itu tidak menutupi altar utama. Altar tetap bisa dipandang lantaran kotak-kotak diletakkan di antara bangku-bangku doa. Sejumlah bangku memang disingkirkan. Dari pintu masuk terasa aneh. Beberapa orang terlihat naik tatakan kayu, dan dengan kaki agak berjinjit dan badan setengah membungkuk mengintip ke dalam kotak. Dari pintu, masih belum bisa ditebak apa yang mereka lihat. Ternyata, di dalamnya terdapat diorama adegan-adegan.

Itulah S.a.c.r.e.d. karya Ai Weiwei, perupa terkenal Cina. Pameran Ai Weiwei masuk Collateral Event—acara resmi Biennale di luar karya-karya di Arsenale dan Giardini. Ada 47 pameran Collateral Event. Tercatat para seniman menggunakan taman, teras rumah, loteng, museum, atau gedung-gedung tua gotik yang tak terpakai di segala penjuru Venesia. Mereka menyesuaikan diri dengan arsitektur bangunan yang penuh ketidakterdugaan. Sering sisi muka bangunan tampak demikian tertutup, tapi ternyata begitu kita masuk terdapat taman yang lapang. Banyak karya ditempatkan di dalam ruang yang memiliki dua sisi, menghadap air dan interior rumah. Tapi mencapai lokasi-lokasi ini tidak mudah, harus keluar-masuk lorong-lorong yang membingungkan.

Dari sekian karya itu, yang memilih menggunakan gereja hanya karya Ai Weiwei. Tak jelas apakah selama enam bulan gereja itu tak akan menampung jemaatnya. Sebab, tentu akan sulit apabila mereka harus bersimpuh, mendaras tasbih, dan mendengarkan misa di sana. Pasti mereka terganggu oleh adanya kotak-kotak tersebut.

Apalagi, meski berada di dalam gereja, karya Ai Weiwei sama sekali tak berhubungan dengan soal keagamaan. Karya itu justru diary pengalaman pribadi Ai Weiwei berkonfrontasi dengan pemerintah Cina. Judul S.a.c.r.e.d. bukan berarti kekudusan atau kekeramatan, melainkan singkatan dari supper, accuses, cleansing, ritual, entropy, dan doubt.

Pada 2011, Ai Weiwei dipenjara selama 81 hari di sebuah lokasi rahasia di Cina. Dalam setiap kontainer itu, ia menampilkan patung kecil dirinya dan petugas-petugas yang menjaganya. Kita melihat di sel tahanannya Ai Weiwei berkaus biru, bercelana pendek putih, dan mengenakan sandal. Kita melihat ruangannya hanya berisi dipan, lemari sederhana dengan beberapa gantungan, meja, dan kursi. Kita melihat bagaimana Ai Weiwei dijaga petugas, baik saat tidur, makan, maupun mandi. Serangkaian kontainer itu seakan-akan menjadi catatan harian dia di dalam sel yang dijaga dua tentara.

Yang menarik, ternyata lubang tempat mengintip itu tidak hanya dari atas, tapi ada juga yang dari samping. Ini membuat kita bisa melihat dimensi patung dari berbagai arah. Misalnya, saat dari atas, kita dapat mengintip patung Ai Weiwei tapi tak bisa melihat isi ransumnya. Menu makanannya di penjara itu bisa kita lihat jelas ketika kita mengintip dari arah samping: dua telur, tetelan, jagung, dan mi. Juga saat mengintip adegan ia diinterogasi petugas. Dari atas, posisi kita tepat pada ubun-ubun petugas. Kita melihat ada dua petugas. Satu membawa laptop dan mengetik di meja. Satunya lagi dengan tangan kiri menuding-nuding muka Ai Weiwei. Bila kita mengintip dari sisi samping, kita bisa melihat apa yang diketik petugas di layar komputer.

***

Sejumlah pameran Collateral Event bertema unik. Tema seniman Rusia misalnya Lost in Translation. Pada Biennale Venesia 1997, Indonesia berpartisipasi dalam Collateral Event. Saat itu Indonesia menjadi bagian dari pameran besar negara-negara muslim. Bertajuk Modernity and Memories, pameran itu mengambil lokasi di sebuah biara Armenia di kawasan Accademia. Pameran Indonesia tersebut dikuratori perupa A.D. Pirous dengan membawa karya seniman Hendrawan Riyanto, Anusapati, dan Setiawan Sabana.

Kini tak ada lagi seniman Indonesia yang terlibat di Collateral Event. Sedangkan seniman negara lain, meski negaranya memiliki paviliun resmi, banyak yang berpameran sendiri, dengan dana bukan dari negara, melainkan bantuan sponsor-sponsor swasta. Korea misalnya. Korea memiliki paviliun di Giardini. Paviliun itu berupa ruang hitam pekat yang membuat kita mengalami disorientasi saat melangkah masuk. Mereka yang punya kecenderungan klaustrofobia, public disorder, dan epilepsi dilarang antre. Tapi, di samping pameran itu, sejumlah perupa Korea di kawasan Cannaregio menggelar pameran bertajuk Who is Alice?.

Para perupa Arab juga hadir dalam Collateral Event, yang diwakili sejumlah perupa muda lintas negara Timur Tengah. Mereka menampilkan Rhizoma (Generation in Waiting). Toh, sejumlah perupa Palestina tidak ikut menggabungkan diri karena mereka membuat pameran sendiri di sebuah kebun kawasan Dorsoduro: Otherwise Occupied. Yang jenaka adalah para perupa Taiwan yang menggelar pameran bertema This is Not Taiwan Pavilion.­ Agaknya menyindir Taiwan yang tak memiliki paviliun.

Perupa Cina adalah perupa yang paling agresif terlibat dalam Collateral Event. Setidaknya ada tiga pameran perupa Cina di lokasi yang berbeda-beda. Pertama, Passage to History: 20 Years of La Biennale di Venezia and Chinese Contemporary Art; kedua, Voice of the Unseen: Chinese Independent Art 1979/Today; dan ketiga, The Grand Canal. Yang terakhir ini unik. Di sebuah galeri di kawasan San Zaccaria, mereka membandingkan kanal-kanal di Venesia dengan Cina. Menurut mereka, saat Marco Polo datang ke Cina, ia juga menginspeksi kanal-kanal besar antara Beijing dan Hangzhou. Problem sehari-hari dari rute transportasi, tumbuhnya perkotaan sepanjang Beijing-Hangzhou, menjadi titik tolak karya mereka.

Memang banyak pameran berupa gabungan. Future Generation Art Prize, lembaga yang membuat kompetisi seni rupa global, menampilkan sejumlah seniman lintas negara yang pernah meraih penghargaan dunia. Salah satunya Mykyta Kadan dari Ukraina. Di sebuah rumah tua di kawasan Dorsoduro, ia membuat bangunan tersendiri. Ia memberi judul Mausoleum. Kita bisa bingung menaksir-naksir apakah bangunan ini karya atau bagian dari arsitek ruangan.

***

Semua pameran di atas tergolong pameran resmi dalam agenda Biennale. Namun, memanfaatkan momentum Biennale, museum-museum di Venesia juga menyelenggarakan pameran besar. Venesia banyak memiliki museum, mulai Museum Maritim sampai museum para pelukis zaman Renaisans bergaya Venetian.

Berdampingan langsung dengan Basilika San Marco, misalnya, terdapat sebuah bangunan gotik elegan bernama Palazzo Ducale, yang di masa lalu merupakan pusat pemerintahan dan pengadilan Venesia selama berabad-abad. Selama Biennale berlangsung, Palazzo Ducale menggelar pameran langka bertajuk Manet Back to Venice. Manet yang dimaksud adalah Edouard Manet (1832-1883), pelukis Prancis. Ia salah seorang bapak seni lukis modern. Pameran itu diberi tajuk demikian karena Manet ternyata pernah menetap di Venesia untuk mempelajari gaya Venetian Old Master, terutama gaya pelukis besar Titian, yang pada 1520-an menjadi official painter Republik Venesia.

Manet belajar melukis di Paris pada usia 18 tahun. Ia menjadi murid seorang pelukis bernama Thomas Couture. Keterampilannya adalah mampu secara persis meniru lukisan pelukis-pelukis ternama. Pada 1853, Manet tinggal di Venesia selama sebulan. Selama di Venesia, ia membuat copy lukisan karya Titian berjudul Pardo Venus. Empat tahun kemudian, ia balik ke Italia dan tinggal di Florence. Di sana ia mengimitasi fresko-fresko penderitaan Kristus. Tapi sekali lagi ia meniru persis lukisan Titian. Kali ini: Venus of Urbino, lukisan yang menggambarkan seorang perempuan tergeletak telanjang di sebuah ranjang.

Pada 1863, Manet mengguncang Paris. Ia memamerkan lukisan berjudul Dejeuner sur L'herbe ("Makan Siang di Rerumputan"). Lukisan itu menampilkan dua laki-laki tengah duduk-duduk di rerumputan bersama seorang wanita. Yang jadi persoalan adalah dua lelaki itu berpakaian jas resmi, sementara sang perempuan telanjang bulat. Perempuan itu tampak sama sekali tak risi. Matanya memandang ke depan. Tangannya bertopang ke dagu.

Segera karya itu dianggap berselera aneh. Karya itu tidak hanya dianggap melanggar tabu, tapi juga menyelewengkan imajinasi. Manet dianggap membuat skandal. Karyanya ini segera menimbulkan polemik panas. Manet dibela sastrawan-sastrawan sahabatnya, antara lain penyair Baudelaire dan Stephane Mallarme serta novelis Emile Zola. Di pameran ini, kita juga dapat menyaksikan surat-surat, artikel-artikel, dan pamflet pembelaan Emile Zola untuk Manet.

Betapapun dihujat, Manet tak kapok. Pada 1865, sekali lagi ia mengeluarkan sebuah lukisan telanjang, berjudul Olympia. Lukisan ini menggambarkan seorang perempuan telanjang bulat di sebuah kasur ditemani inang berkulit hitam. Lukisan ini dipamerkan di sebuah salon bersama lukisannya yang menggambarkan Yesus, dengan pergelangan tangan diikat, diinterogasi para serdadu Romawi. Lukisan ini berjudul Jesus Insulte Par les Soldats. Kedua lukisan Manet ini segera dicaci-maki publik.

Sampai sekarang, baik Dejeuner sur L'herbe maupun Olympia banyak diapropriasi pelukis kontemporer. Kedua lukisan yang menggambarkan ketelanjangan tersebut sering ditafsir ulang. Di Indonesia, perupa Dipo Andy, misalnya, pada sebuah pameran bertajuk Master Revisited di Vanessa Art Link, Setiabudi, Jakarta Selatan, beberapa tahun lalu, menggambar ulang Dejeuner sur L'herbe tapi dengan pendekatan optik-geometris. Ketelanjangan disamarkan dengan permainan optik-geometris.

Yang belum banyak diketahui orang, lukisan kontroversial Manet ini sesungguhnya sangat dipengaruhi lukisan Titian yang diciptakan pada 1538: Venus of Urbino. Dan itulah yang hendak disajikan pameran Manet Back to Venice. Keunggulan kurasi pameran ini adalah kemampuannya menyandingkan lukisan Olympia Manet dan Venus of Urbino Titian dalam satu dinding. Sehari-hari lukisan Titian disimpan di Museum Uffizi Florence, sementara karya Manet berada di Musee d'Orsay Paris. Untuk pertama kalinya lukisan Olympia Manet keluar dari Prancis agar pengunjung dapat membandingkan sendiri keserupaan umum kedua lukisan itu.

Lihatlah: dua perempuan itu sama-sama tergeletak bugil. Usia mereka kira-kira seumur. Kedua wanita itu juga mengarahkan tubuh telanjangnya ke arah mata tatapan penonton. Mereka sama-sama mengenakan gelang. Tangan kiri mereka sama-sama menutupi kemaluan. Pada gambar Manet, di ujung kasur ada seekor kucing, sementara pada gambar Titian di ujung kasur ada gambar seekor kucing.

Titian sendiri sesungguhnya banyak melukis sosok perempuan telanjang yang diangkat dari mitologi Yunani, seperti Danae, sang kekasih Zeus, dan Venus. Bila tak puas dan ingin tahu lebih dalam tentang karya Titian, pengunjung dapat lari ke Accademia Gallery, museum yang menyimpan harta karun lukisan Venesia abad 15-16. Namun, bila yang dicari adalah lukisan-lukisan telanjang lain Titian, seperti yang ada dalam katalog pameran, Sacred and Profane, Venus with Organist, dan Venus with a Mirror, pengunjung tentu akan kecewa. Sebab, semua karya Titian yang digantung di Accademia Gallery bercorak religius, seperti Saint John the Baptist dan Pieta, yang menggambarkan Titian sendiri membungkuk di depan jenazah Kristus.

Pameran penting lain di luar agenda Biennale resmi adalah pameran tunggal Antoni Tapies bertajuk The Gaze of the Artist. Tapies adalah perupa Catalan, Spanyol, yang meninggal tahun lalu pada usia 89 tahun. Dua puluh tahun lalu, pada Biennale Venesia ke-45, Tapies memenangi anugerah Golden Lion. Kini pameran itu digelar di Palazzo Fortuny dan dikuratori anak Tapies sendiri, Toni Tapies.

Pengunjung akan melihat semacam komposisi-komposisi "inner". Kanvas Tapies menyajikan tumpukan mata, lelehan bidang diagonal putih, buku putih terbuka dengan tanda plus-minus, dan sebagainya. Yang dikejar terasa sesuatu yang sublim. Ditampilkan juga karya sejumlah pelukis yang merespons gagasan Tapies. Di antaranya Gunther Uecker—seniman Jerman yang pernah berpameran di Bentara Budaya Jakarta. Karyanya berjudul Trees and Nail Tribute to Tapies, berupa paku-paku menancap di batang pohon, mengingatkan kita pada pamerannya di Bentara Budaya Jakarta. Selama pameran, mengalun karya komponis avant-garde yang menjadi kesayangan Tapies, seperti Schoenberg, Alban Berg, John Cage, dan Anton Webern.

Tengoklah juga pameran perupa pop Amerika, Roy Lichtenstein (1923-1927). Pameran ini tidak menampilkan poster-poster pop wanita berambut pirang yang menjadi ciri khas Lichtenstein, tapi menyajikan patung-patung yang diciptakannya pada 1965-1997. Beberapa pameran agak sulit dikunjungi karena berada di pulau lain. Pameran Joycean Society, misalnya, harus dicapai dengan menyeberangi Kanal Giudecca menggunakan vaporetti beberapa kali. Ini petualangan tersendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus