Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sembilan wayang bedhaya setinggi 1,5 meter berdiri di sebuah pendapa. Begitu melangkah masuk ke Paviliun Indonesia di Arsenale, kita segera tertumbuk pada bau Jawa yang kuat. Sementara kebanyakan karya di paviliun negara lain berbicara tentang hal personal, paviliun Indonesia kental dengan suara identitas. Bagi saya, ketika disajikan di Plaza Bank Mandiri Jakarta sebelum diberangkatkan ke Venesia, wayang karya Sri Astari terasa tak begitu istimewa. Namun di Biennale menjadi lain. Karya ini terasa berbeda di tengah-tengah mayoritas paviliun yang merayakan karya multi-channel video.
Paviliun Indonesia memilih tema Sakti. Sakti sesungguhnya adalah konsep Hindu yang sangat tua. Sakti adalah perwujudan dari aspek feminin Tuhan. Dalam prakteknya bisa pemujaan terhadap Parwati, istri Syiwa, atau Laksmi, istri Wisnu. "Konsep sakti berkembang sesuai dengan perubahan zaman. Seniman bebas menafsirkannya," ujar Soedarmadji Damais, Komisaris Paviliun Indonesia.
"Wayang bedhaya saya titik tolaknya dari wayang klithik. Badan terbuat dari kayu, tangan dari kulit," kata Astari. Keputusan Astari untuk meninggikan sosok menjadi 1,5 meter memang mampu membuat boneka itu misterius. Jangkung, lencir, lancip mukanya, dengan tubuh kuning keperakan. Kebaya abu-abu menjuntai. Semakin dipandang, sembilan sosok perempuan kayu itu semakin mistis, meski tetap karya Astari tak sampai menelan karya-karya lain. Ruang Indonesia cukup luas. Karya Albert Jonathan, Titarubi, Entang Wiharso, dan Eko Nugroho terekspresikan. "Lima perupa ini kami seleksi dari 25 nama lebih," ujar kurator Paviliun Indonesia, Carla Bianpoen.
Albert Jonathan menyajikan serangkaian stupa kecil terakota berjumlah 1.600 buah yang diletakkan di lantai. Desain stupa digabung-gabung dari berbagai macam model stupa.
"Ini stupa personal saya," kata Albert mengomentari karya yang dibuatnya di tungku studionya di Cigadung, Bandung. Albert dikenal gemar menata karyanya dengan pola mandala. Kini lebih dari seribu stupa karyanya ditata repetitif membentuk labirin.
"Jalan masuk dan keluar hanya satu," ujar Albert, yang tengah menempuh pendidikan keramik di Kyoto, Jepang. "Keramikus Jepang mampu mencurahkan konsentrasi ke satu obyek." Itulah yang diinginkannya. Stupa-stupa itu diletakkan di hamparan lantai pendapa Astari, terasa hening beradaptasi satu sama lain.
Bukan pertama kali ini seniman Indonesia berlaga di Biennale Venesia. Pada 1954, Affandi berpartisipasi sendirian di Biennale. Pada Biennale Venesia 2003, bertempat di Palazzo Malipiero, kurator Amir Sidharta menampilkan karya Dadang Christanto, Arahmaiani, Tisna Sanjaya, dan Made Wianta. Pada Biennale Venesia 2005 di Telecom Italia Future Centre, sejumlah perupa Indonesia berkiprah dengan kurator Dwi Marianto, antara lain Entang Wiharso, Noor Ibrahim, Yani Mariani Sastranegara, dan Krisna Murti. Tapi, sebelumnya, Indonesia tak pernah berpameran dengan paviliun di Arsenale.
Perupa Heri Dono pernah berpameran di Arsenale. Saat itu ia diundang kurator Hou Hanru sebagai pribadi, bergabung dengan banyak seniman lain, dengan tema Zone Urgency.
Terwujudnya Paviliun Indonesia berawal dari usaha Restu Imansari Kusumaningrum. Restu dikenal sebagai Direktur Bumi Purnati, yang sebelumnya menjadi produser pentas La Galigo karya dramawan Amerika, Robert Wilson. Saat itu ia bermitra dengan Change Performing Arts Italia. Melalui Franco Laera, Direktur Change Performing Arts, ia menemui Paolo Baratta, Direktur Biennale Venesia. "Kami melakukan lobi," ujarnya.
Saat Baratta memberikan sinyal, Restu giat mencari dana. "Pemerintah membantu Rp 2,5 miliar," kata Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwandar. "Dana itu untuk menyewa ruang paviliun selama enam bulan." Namun uang sebesar itu tidak cukup. "Dana secara keseluruhan mencapai Rp 8 miliar," ujar Adila Suwarmo, pencari dana. Ternyata mencari sponsor begitu susah. "Banyak bank menolak membantu dengan alasan tidak memiliki cabang di Eropa," kata Restu.
Untung, beberapa pihak berbaik hati. Untuk biaya pengiriman karya, tim perupa disumbang Budi Tek, kolektor seni rupa dan pengusaha Indonesia yang menetap di Cina. "Kami disumbang Pak Budi Tek sebesar Rp 700 juta," ujar Restu. "YSRI (Yayasan Seni Rupa Indonesia) juga melakukan fund raising." Namun itu semua tetap belum mencukupi. Sumber Tempo mengatakan, dari kocek perusahaan suami Restu, seorang warga Amerika yang bergerak dalam bidang finansial, keluar dana Rp 2 miliar. Itu artinya Restu secara pribadi masih nombok.
Sejak Paviliun Indonesia dibuka, perwakilan Tate Gallery London serta beberapa pemilik galeri Jerman dan Italia sudah berkunjung secara khusus. Mereka mencermati setiap karya secara sungguh-sungguh. Karya Titarubi, misalnya, berupa sembilan bangku-meja dengan buku kosong terbuka. Bahan kayu dari bekas bantalan rel kereta api dicari Titarubi di Yogya sampai Jawa Timur. "Saya menafsirkan sakti sebagai power-knowledge. Buku-buku kosong ini akan diisi oleh pengetahuan," kata Titarubi. Di sekeliling meja-meja itu, ia memasang gambar-gambar hutan terbakar seukuran 2 x 4 meter menggunakan arang.
"Saya tidak melihat karya-karya seperti ini di paviliun lain," ujar Julia Scott, guru dari London. Mathias Arndt, pemilik Galeri di Jerman, dengan jujur mengatakan, "Mula-mula saya khawatir bagaimana lima perupa ini bisa bersenyawa. Ternyata bisa. Pameran ini akan memiliki efek besar." Ia memprediksi perhatian kolektor Eropa terhadap seni kontemporer Indonesia akan naik. "Karya Entang Wiharso, Feast Table, misalnya, baru-baru ini dibeli kolektor besar Thomas Olbricht dari Berlin. Ini tidak main-main," kata Mathias Arndt bersemangat.
Beberapa pengunjung dengan saksama memperhatikan simbol-simbol pada karya Entang. Entang menampilkan sebuah meja dengan lima laki-laki berpeci. Ada seseorang yang kepalanya terkulai. Seolah-olah ada pengkhianatan di situ. Pertemuan tersebut seakan-akan berakhir dengan darah, lantaran para lelaki itu menggenggam pisau. Entang juga menyajikan lemari-lemari berisi patung kepala Presiden Sukarno, Soeharto, Habibie, dan Yudhoyono.
"Mengapa ada yang menggenggam pisau?" tanya seorang pengunjung.
"Pisau itu untuk mempertahankan diri," jawab Entang.
Banyak pengunjung mengernyitkan dahi melihat simbol sadistis dalam penyekat ruangan yang diciptakan Entang: gambar kepala-kepala terpotong bermata mendelik, terinjak-injak, dengan lidah menjulur, dan sulur-sulur keluar dari kuping. Entang sekali-sekali menyelipkan wajahnya di antara prosesi kekerasan itu. Wajahnya muncul dalam gambar seperti perjamuan terakhir 12 rasul.
"Mengapa perjamuan ini menyuguhkan ikan besar?"
"Ikan lambang kemakmuran." Entang lalu menceritakan, ia lahir di Prambanan, desa dekat candi, dan menikah dengan seorang Amerika beragama Katolik.
Problem jati diri memang menghantui dan bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Selama ini, identitas menjadi beban kultural karena terus-menerus ditekankan. Bukan rahasia, pada banyak misi kebudayaan, kita selalu dituntut menonjolkan unsur kekhasan. Padahal faktor itu sudah ditinggalkan paviliun lain. Paviliun Jerman, misalnya, tak lagi menampilkan seniman Jerman, melainkan Ai Weiwei dari Cina, Santu Mofokeng dari Afrika Selatan, dan Dayanita Singh dari India. Yang mewakili Paviliun Jerman bukan identitas Jerman, melainkan pemikiran seniman siapa saja yang dirasakan cocok.
Restu Imansari berkukuh bahwa identitas masih perlu. Itulah sebabnya dia setuju menambahkan rekaman komposisi gamelan Rahayu Supanggah yang berbunyi lamat-lamat pada setiap karya. Restu, yang berlatar belakang dunia tari, agaknya menyadari, dalam dunia tari kontemporer pun, Indonesia bisa menerobos festival-festival dunia lantaran mengolah akar-akar kultural. "Identitas kita tidak tunggal," kata Rifky Effendy, kurator Paviliun Indonesia. Ia melihat karya-karya yang ditampilkan justru kritis terhadap identitas. Termasuk karya Sri Astari.
Perdebatan tentang identitas ini bisa panjang. Toh, pada hari-hari pertama, tampak pengunjung antusias terhadap Paviliun Indonesia. Memang belum bisa dibilang sukses besar, tapi harus diakui bahwa Paviliun Indonesia mendapat perhatian yang cukup besar. "Saya harap pemerintah tetap bisa membantu di tahun-tahun depan," ujar Sapta Nirwandar.
Menurut Restu Imansari, "Begitu enam bulan selesai, perebutan ruang akan berlangsung. Harus down payment lebih dahulu. Siapa cepat dia dapat."
Beberapa gagasan pun muncul agar Paviliun Indonesia tetap bisa berlangsung terus. Titarubi, misalnya, memiliki ide agar segera dibentuk Yayasan Biennale Venesia yang sejak dini bisa mencari sponsor. Bagaimanapun, Paviliun Indonesia telah bergulir. "Saya telah meletakkan fondasi. Semoga perhatian terhadap Paviliun Indonesia di Venice Biennale berikutnya meningkat," kata Restu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo