Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Ensiklopedia di Atas Air

Dalam Biennale Venesia ke-55, yang dibuka pada awal Juni 2013, Paviliun Indonesia berdiri untuk pertama kalinya di Arsenale: jantung perayaan pesta seni rupa dua tahunan tersebut. Tema Biennale Venesia kali ini adalah Il Palazzo Enciclopedico atau "Istana Ensiklopedia". Karya perupa dunia mana saja yang menarik? Dan bagaimana Paviliun Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain? Wartawan Tempo Seno Joko Suyono melaporkan dari Venesia, Italia.

23 Juni 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pukul sembilan malam.

Biasanya pada pukul enam petang Museum Peggy Guggenheim, Venesia, Italia, sudah tutup. Para pengunjung tak bisa menikmati koleksi Peggy (almarhum) yang luar biasa. Peggy anak miliarder Benjamin Guggenheim, yang tewas tenggelam bersama kapal Titanic. Paman Peggy adalah Solomon R. Guggenheim, pengusaha, filantropis, dan kolektor lukisan ternama pendiri Museum Solomon R. Guggenheim di New York, Amerika Serikat.

Publik seni rupa dunia mengenal Peggy seperti mengenal pamannya sebagai perintis kolektor seni rupa modern. Sejak muda, ketika dia di Inggris pada 1930-an, Peggy membeli lukisan-lukisan surealis, kubis, dan abstrak. Mentor untuk pembelian ini adalah kritikus seni Herbert Read dan perupa Marcel Duchamp. Pada Juli 1941, saat Prancis diduduki Nazi, Peggy pindah ke New York bersama suami keduanya, perupa Max Ernst. Di New York, Peggy bergaul dengan kalangan pelukis abstrak. Ia membiayai hidup bulanan Jackson Pollock. Peggy-lah yang pada November 1943 menyelenggarakan pameran tunggal karya Pollock—pameran yang menarik kritikus Clement Greenberg, yang kemudian mengulas dan melambungkan nama Pollock.

Karena itu, Peggy dikenal sebagai kolektor yang memiliki banyak karya awal Jackson Pollock. Pada 1948, ia membawa lukisan Pollock, Arshile Gorky, dan Mark Rothko koleksinya ke Paviliun Amerika Biennale Venesia. Saat itulah untuk pertama kalinya masyarakat Eropa menikmati karya Pollock.

Langkah selanjutnya, Peggy menautkan gerakan abstrak di Amerika dan surealisme di Eropa. Peggy mencari rumah di Venesia dan membeli Palazzo Venier dei Leoni—puri di tepi Grand Canal—dengan patung singa di fasadnya. Ia kemudian memboyong koleksinya. Sisa hidupnya dihabiskan di Venesia. Ia meninggal pada usia 81 tahun.

Malam 29 Mei lalu, sebuah resepsi di Paviliun Indonesia diadakan di Palazzo Venier­ dei Leoni. Tamu-tamu datang dengan speedboat. Resepsi itu menjadi istimewa karena karya-karya awal Pollock yang langka terbuka untuk kurator, kolektor, pemilik galeri Eropa, dan juga sosialita Indonesia. Mereka tidak hanya dapat menikmati karya Pollock, tapi juga karya Marcel Duchamp, Pablo Picasso, Joan Miro, Giorgio de Chirico, dan banyak pelopor modernisme lainnya. Untuk pertama kalinya karya Man Ray, Picabia, dan Marc Chagall berbaur dengan alunan kecapi Sunda yang dimainkan di kebun Guggenheim.

Komisaris Paviliun Indonesia Soedarmadji Jean Henry Damais memperkenalkan para seniman Indonesia, yaitu Albert Jonathan, Entang Wiharso, Sri Astari, Eko Nugroho, dan Titarubi. Selain seniman, tentu ada pejabat, seperti Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwandar. Yang maju hanyalah Entang Wiharso dan Albert Jonathan. Sedangkan Titarubi dan Astari entah menyelip di mana, mungkin sibuk menggoyang anggur di gelasnya. Adapun Eko Nugroho tak datang ke Venesia. Toh, tamu-tamu tetap bersulang untuk mereka berlima. Biennale Venesia ke-55 buka sejak 1 Juni sampai 24 November. Sejak awal Juni itu, di setiap sudut Venesia, kafe-kafe mengadakan pesta kecil menyambut pembukaan paviliun setiap negara. Tapi mengadakan jamuan sembari bisa menyimak karya-karya Pollock, Yves Tanguy, Rene Magritte, Jean Dubuffet, dan sebagainya memang sesuatu yang lain.

***

DI atas gondola, sesekali penyanyi tenor itu berdiri menyanyikan tembang opera. Lalu sang pendayung gondola membawa turis-turis lenyap masuk ke lorong-lorong. Laguna Venesia menyerupai sirip ikan. Kanal utama yang menjelujur 3,5 kilometer sampai laut lepas adalah batang yang membelah Venesia. Sedangkan cabang-cabang kecil menyeruak ke kiri-kanan menjadi jalan bagi perahu-perahu atau speedboat pribadi menuju labirin hotel-hotel, taverna, kapel, galeri, museum, restoran, dan gedung gotik tua tanpa penghuni. Kota kecil ini terapung di atas air. Tidak ada sepeda, sepeda motor, apalagi mobil. Dari satu tempat ke tempat lain, kita harus melalui air atau berjalan kaki dari jembatan ke jembatan.

Bahwa kota laguna ini pernah diprediksi tenggelam, itu membuat imajinasi tersendiri. Baik pagi, senja, maupun malam, kota ini tetap menebar romantisisme. Pada akhir Mei lalu, energi pesta seni rupa dua tahunan di kota itu, yang berlangsung sejak 1895, mulai berdenyar. Di lambung beberapa vaporetti—bus air—kendaraan utama bagi warga yang melintasi kanal utama, sudah terdapat serangkaian iklan paviliun. Di sebuah lambung vaporetti yang melintas, tampak tulisan besar: "Ornamentation: Azerbaijan Pavilion".

Jantung Venesia adalah kawasan San Marco. Di sinilah Basilika San Marco berdiri dengan kokoh. Basilika San Marco adalah bangunan yang dianggap paling sakral. Di depannya terbentang piazza, alun-alun besar pusat turis, yang penuh dengan merpati jinak beterbangan. Lonceng berdentang tiap jam. Dinamai San Marco karena pelindung kota ini adalah penginjil Markus. Memasuki Basilika, kita akan menyaksikan altar utama yang penuh dengan fresko riwayat Markus. Markus meninggal di Alexandria, Mesir. Warga Venesia percaya, pada 828, pedagang-pedagang Venesia menyelundupkan jenazah Markus dari Mesir ke Venesia. Mereka memasukkan mayat Markus ke sebuah tong yang penuh tumpukan daging babi agar bisa lolos dari inspeksi pasukan muslim. Konon, hingga kini, relik-relik suci Markus masih tersimpan di Basilika San Marco.

Pusat Biennale adalah Arsenale dan Giardini Pubblici, yang cukup dijangkau dengan berjalan kaki dari San Marco. Arsenale adalah kawasan seluas 45 hektare bekas pusat pembuatan dan reparasi kapal yang didirikan pada 1104. Di sinilah kejayaan maritim Venesia mendominasi kawasan Mediterania dimulai. Akan halnya Giardini adalah taman luas yang dibuat Napoleon pada 1807. Ada 88 paviliun negara yang ikut serta. Sebanyak 24 paviliun ditempatkan di Arsenale dan 28 di Giardini, sedangkan 36 paviliun lain tersebar di seluruh Venesia.

Negara kecil seperti Tuvalu serta negara-negara yang berbayang-bayang konflik, seperti Angola, Kosovo, Armenia, Irak, dan Zimbabwe, bahkan turut berpartisipasi dalam biennale ini. Tiap paviliun memiliki kurator dan proyek masing-masing. Perebutan ruang di Arsenale sangat ketat karena paviliun di tempat itu sangat prestisius. "Untuk mendapat ruang di Arsenale, harus melakukan negosiasi yang lama dengan Paolo Baratta, Direktur Biennale Venesia," kata Direktur Bumi Purnati, Restu Imansari Kusumaningrum, yang menjadi produser Paviliun Indonesia.

Sejak 1993, panitia Biennale mengadakan ajang khusus, sebuah pameran internasional, dengan kurator tersendiri yang dipilih panitia. Kurator ini secara pribadi memilih seniman-seniman. Tema kurasi pameran tersebut menjadi tema umum Biennale. Dua tahun lalu, panitia menunjuk Bice Curiger, 55 tahun, kurator perempuan asal Zurich. Kurasi Curiger saat itu bertema Illuminations. Kini panitia Biennale memilih seorang kurator muda bernama Massimiliano Gioni, 40 tahun, yang sehari-hari menjabat Direktur Pameran New Museum of Contemporary Art, New York. Gioni merumuskan tema Il Palazzo Enciclopedico (The Encyclopedic Palace).

Perspektif kurasi Gioni terlihat jauh ke depan. Gioni mengambil gagasan ensiklopedia dari fantasi seorang seniman otodidak keturunan Italia bernama Marino Auriti. Pada November 1955, menurut Gioni, di garasinya di perdesaan Pennsylvania, Auriti merancang maket sebuah museum imajiner yang dia namai Il Palazzo Enciclopedico. Ia mendesain sebuah bangunan setinggi 700 meter, yang memiliki 136 ruang, seluas 16 blok di Washington, DC. Dia membayangkan bangunan itu akan diisi dengan karya kontemporer dan artefak sepanjang sejarah kemanusiaan. Bangunan ini tak terwujud, tapi membayang-bayangi benak Gioni.

Tampaknya, Gioni ingin merealisasi impian Auriti di Venesia. Karena itu, penyeleksian seniman yang berpameran agak "aneh". Ia berani memilih karya dari ilmuwan sampai aktivis yang statusnya bukan barang seni. Ia berani memamerkan karya yang dipandang kuno, seperti drawing, corat-coret abstrak, dan stupika tanah yang secara visual bentuknya tak gigantik atau canggih. Ia lebih menampilkan karya yang gagasan dasarnya bisa memicu imajinasi kita memahami realitas secara lain.

"Seni harus mendekat ke pengalaman eksistensial lain," ujarnya. Bila tidak, kata dia, seni selalu menyerah kepada pasar. Dalam kata pengantar, ia menyitir Walter Benjamin: "The history of art is a history of prophecies." Ia yakin sikapnya adalah jalan keluar bagi seni rupa kontemporer yang kini berada di titik impasse. Salah satu yang kontroversial adalah ia memamerkan gambar-gambar psikoanalis Carl Gustav Jung.

Namun, baik karya di paviliun maupun yang dikuratori langsung Gioni, semuanya memiliki ketidakterdugaan. Di Arsenale, imajinasi paviliun tampak mengatasi keinginan menonjolkan kekhasan negaranya. Paviliun Kuwait tak beraroma Kuwait. Paviliun Bosnia tak bernuansa Bosnia. Mereka tak terjebak konsep stand expo. Paviliun Vatikan, yang terletak di Sale d'Armi, bisa menjadi sebuah kasus. Untuk pertama kalinya Vatikan terlibat di Biennale, dengan judul pameran Il Principio (In the Beginning). Nama ini diberikan Kardinal Gianfranco Ravasi. Sedangkan kuratornya adalah Antonio Paolucci, yang sehari-hari Direktur Museum Vatikan. Di Roma, Vatikan memiliki Museum Vatikan, yang koleksinya begitu banyak, sehingga sebuah buku menyatakan, bila kita berhenti satu menit saja untuk mencermati tiap koleksi, kita butuh waktu sekitar 12 tahun untuk mencermati seluruh koleksi.

Di antara kekayaan koleksi itu, ada dua yang menjadi permatanya, yaitu Raphael Room dan Sistine Chapel. Dinding ruang Raphael dipenuhi mural Raphael, sementara langit-langit kubah Sistine Chapel diselimuti lukisan Michelangelo.

Saat mengunjungi Vatikan, Tempo harus bersusah payah tiba di Sistine Chapel melalui Basilika Saint Peter setelah antre lebih dari dua jam. Memasuki ruangan ini, ­pengunjung disambut suara kor yang khidmat. Jika kita mendongak ke atas, di ketinggian terlihat fresko Creation of World dan Last Judgment, yang dilukis oleh Michelangelo pada 1508-1512 dan 1536- 1541 tanpa bantuan staf.

Pada Maret lalu, di sinilah 115 kardinal dari seluruh dunia melakukan konklaf rahasia untuk memilih pengganti Paus Benediktus XVI. Di sinilah asap putih keluar dari cerobong, yang merupakan pertanda terpilihnya paus baru. Jika kita bayangkan bagaimana Michelangelo setiap hari seorang diri naik di atas scaffolding selama delapan tahun, memang luar biasa. Pada masanya, fresko Michelangelo dianggap merombak ikonografi tradisional. Kisah penciptaan Adam dilukis Michelangelo dengan menampilkan Tuhan mengarahkan telunjuknya—dan dari jari itu muncul manusia pertama. Sedangkan pengadilan akhir manusia digambarkan sarat dengan orang telanjang. "Saat itu Kardinal mengkritik karena menganggapnya tabu, tapi Paus membela Michelangelo," kata Paola, sang pemandu.

Tema lukisan Michelangelo, Book of Genesis, menjadi tema Paviliun Vatikan. Tapi bayangan bahwa paviliun ini akan menampilkan karya klasik berbau salib atau identitas liturgi ternyata buyar. Paviliun Vatikan sangat kontemporer, menyajikan karya digital Studio Azzuro berupa layar-layar sensoris yang mengelilingi dinding ruang seluas 120 meter persegi. Layar menggambarkan unsur-unsur dasar semesta bumi, langit, tanah, dan api. Setiap pengunjung yang mendekat dan menyentuhnya menyebabkan perubahan imaji dalam layar. Instalasi ini ingin membuat metafora betapa sentuhan manusia mengubah alam.

Di Arsenale, secara sepintas mayoritas paviliun menyajikan karya video. Medium video agaknya tak terelakkan menjadi pilihan seniman kontemporer karena kemampuannya mengartikulasikan pemikiran. Cindy Sherman, fotografer Amerika, misalnya, menyeleksi beberapa seniman video dan menempatkan karya mereka dalam ruang yang ditata seperti kamar-kamar, sel penjara, atau arena judi. Di situ ada serangkaian manekin, boneka-boneka, dan foto-foto diri. Isi video itu sangat personal. Kita seperti mengintip kecamuk pikiran yang terlarang tapi intim.

Fantasi post-video juga terdapat di Paviliun Arab, yang menampilkan karya Mohammed Kazem, Walking on Water. Saat memasuki paviliun itu, kita bagaikan berada di sebuah pojok dermaga. Sekeliling kita adalah laut. Ada pegangan besi agar kita tak jatuh. Air virtual ini sangat halusinatif. Adapun paviliun Turki menyajikan karya multi-channel video Ali Kazma berjudul Resistance yang cerdas. Lima layar video itu dalam ukuran besar-besar secara serentak menyajikan bagaimana upaya manusia masa kini berusaha melakukan perlawanan terhadap kematian.

Ia menyajikan adegan-adegan suatu proyek perpanjangan hidup di Alcor Life Extension Foundation, Arizona. Di sini seseorang bisa minta dimatikan secara klinis dan dimumikan dalam suatu tabung nanoteknologi yang tak akan membuat "mayat"-nya busuk. Pada masa depan, entah seratus tahun lagi entah kapan, orang ini—sesuai dengan perjanjian—akan dihidupkan lagi. Kamera Kazma merekam suasana "sarkofagus-sarkofagus" kontemporer di Arizona yang ternyata ada peminatnya, disertai video lain yang menampilkan adegan bedah otak, otot-otot binaragawan, operasi anti-penuaan di Istanbul, dan adegan pembuatan tato seorang pria di London. Kita dibawa berkelana ke dunia anatomi.

Tapi tidak semua paviliun mengusung multimedia. Paviliun Latvia—salah satu yang terbaik—menampilkan sebuah pohon besar. Benar-benar sebuah pohon asli dengan bonggol di langit dan cabang-cabang yang menghunjam ke bawah. Pohon terbalik itu bergerak pelan seperti pendulum, ayunan, yang membuat pengunjung minggir merapat ke tembok karena ruang sempit. Terasa liris. Sederhana.

Memasuki Giardini, terlihat dua antrean panjang menuju Paviliun Jerman dan Prancis. Butuh satu jam antre untuk memasuki Paviliun Prancis. Jerman dan Prancis memiliki paviliun tetap. Untuk memperingati 50 tahun Perjanjian Elysee, mereka bertukar tempat. Paviliun Jerman menggunakan Paviliun Prancis dan sebaliknya. Jerman menampilkan karya perupa Cina, Ai Weiwei, berupa instalasi kursi-kursi melayang. Sedangkan Prancis menyajikan karya Anri Sala berjudul Ravel Ravel Unravel.

Ide dasar Anri menarik. Ia bertolak dari komposisi komponis Prancis, Maurice Ravel, pada 1930: Concerto in D for the Left Hand. Anri mempelajari dari mana Ravel memiliki ide ini. Saat Perang Dunia, ternyata banyak pianis yang buntung dan mencoba memainkan piano dengan tangan kiri. Salah satunya yang terkenal adalah pianis dari Wina, Paul Wittgenstein—kakak filsuf Ludwig Wittgenstein. Dalam Paviliun Prancis, Anri Sala menyajikan tiga film mengenai hubungan tangan kiri dan tuts piano.

Paviliun Rusia menampilkan seniman konseptualis Moskow, Vadim Zakharov. Zakharov bersama teman-temannya naik ke wuwungan, lalu menjatuhkan koin. Mereka menjebol lantai sehingga guyuran koin jatuh ke lantai dasar. Penonton diminta memakai payung untuk menahan "hujan emas" itu. Pertunjukan ini merefleksikan Danae, putri dalam mitologi Yunani yang memiliki pancuran emas, yang ditafsirkan Zakharov sebagai simbol keserakahan

Paviliun Israel menyajikan karya Gilad Ratman, The Workshop, berupa instalasi video lima saluran. Video itu menggambarkan sekelompok orang yang membuat patung kepala tanah liat. Cara membuatnya liar. Brutal. Mereka menancap-nancapkan mike ke hidung, membenamkan kabel ke ubun-ubun. Para pematung itu bekerja sambil berteriak-teriak kesakitan dan meraupkan lempung ke wajah sendiri. "Para pematung itu pasti orang-orang sakit mental," kata seorang pengunjung menerka. Kepala-kepala hasil karya "pasien sakit jiwa" itu juga dipamerkan di ruangan.

Karya Zsolt Asztalos, Fired but Unex­ploded, di Paviliun Hungaria mencekam. Ia menghadirkan 20 televisi dengan tayangan gambar bermacam-macam jenis ranjau. Di tiap televisi ada earphone. Pasanglah di kuping Anda: dari satu televisi ke televisi lain. Anda akan mendengar suara sorak-sorai penonton sepak bola, tepuk tangan riuh aplaus penonton orkes, gemuruh orang tergelak menyaksikan komedi, gumam suara ibadah di gereja, serta denting piring-sendok di sebuah restoran. Kita tiba-tiba membayangkan ranjau-ranjau itu bisa meledak sewaktu-waktu di tempat keramaian yang biasa kita datangi.

Karya Akram Zaatari di Paviliun Libanon, Letter to a Refusing Pilot, mengharukan. Saat kecil, ia mendengar ada seorang pilot Israel menolak menjatuhkan bom di sebuah sekolah di Libanon Selatan. Setelah dewasa, ia mencari sang pilot. Judul karya itu terinspirasi esai Albert Camus, Letter to a German Friend. Saya juga menikmati karya Lara Almacergui di Paviliun Spanyol. Dengan materi kerikil atau serpihan serat gergaji kayu, ia membentuk timbunan-timbunan miring yang secara geometris terasa puitis.

***

HAL yang paling menarik dari penyelenggaraan di Giardini adalah pameran perupa-perupa yang diseleksi kurator Massimiliano Gioni. Ia memberi tempat pada seniman-seniman yang berlatar dunia occultism. Di sini kuratorial dipertaruhkan. Gioni, misalnya, berani memamerkan lukisan-lukisan anonim Tantrik Rajasthan berupa simbol-simbol lingga Syiwa. Ia juga menyajikan gambar (drawing) karya Pirinisau, dukun dari kepulauan Solomon. Ia tak segan menampilkan arsip-arsip dan gambar delusi.

Salah satunya seperti disebut di atas adalah karya Carl Gustav Jung (1875-1961). Kita tahu Jung adalah seorang psikoterapis penentang Freud. Freud terlalu bertolak dari libido, sementara Jung menghargai unsur-unsur arkeo-spiritualitas dalam diri manusia. Ia banyak menelaah halusinasi, mimpi pasiennya, dan mencari hal-hal transenden. Tapi tak banyak yang tahu bahwa dia sendiri pada umur 12 tahun mengalami "penglihatan". Ia merasa menyaksikan malaikat bergelantungan di atap Katedral Basel. Ia merasa itu suatu pengalaman ketuhanannya yang bebas dari agama formal. Pada 1914-1930, ia banyak menggambar coretan visi-visi apokaliptik. Gambar-gambar ini bisa disebut suatu private magnum opus. Ia memberi judul kumpulan gambarnya Red Book atau Liber Novus. Dan itu yang dipamerkan Gioni.

Gioni juga memamerkan drawing "tak sadar" karya Rudolf Steiner (1861-1925). Steiner adalah tokoh dunia kebatinan Eropa. Lelaki Austria ini dianggap sebagai clairvoyant (peramal). Ia ditunjuk oleh Annie Besant, Ketua Theosophical Society, untuk membentuk Esoteric Society. Tapi kemudian ia memisahkan diri membuat anthroposophy karena ia menolak keputusan Annie Besant yang menahbiskan J. Krishnamurti sebagai maitreya, nabi masa depan. Steiner kemudian mendirikan School of Spiritual Science, yang memiliki visi-visi kosmologi tersendiri. Salah satu kegiatan spiritualitasnya adalah melukis di papan tulis hitam. Corat-coret spiritual di papan tulis hitam itulah yang disajikan Gioni pada biennale ini.

Beberapa karya juga seolah-olah datang dari dunia arkeologi, misalnya karya Peter Fischli dan David Weiss. Memasuki ruang pameran mereka, kita seolah-olah terjebak dalam sebuah museum purbakala yang menyajikan aneka rupa serpihan artefak tanah liat. Artefak-artefak itu dipamerkan di kotak kaca dengan sebuah tatakan setinggi badan. Gioni juga memperkenalkan karya-karya abstrak di luar kanon-kanon Eropa dan Amerika. Yang disajikan bukan karya-karya semacam karya Pollock dan Piet Mondrian, seperti yang terdapat di Museum Guggenheim, melainkan karya Hilma Klint, Augustin Lesage, dan Aleister Crowley, yaitu mereka yang mengembangkan automatic drawing bertolak dari spiritualitas. Hilma Klint, yang wafat pada 1944, lulusan Royal Swedish Academy of Fine Arts, misalnya, dikenal sebagai perupa yang membentuk lingkaran kebatinan The Five dan percaya bahwa goresan-goresannya dituntun dari alam yang lebih tinggi.

Yang juga menarik adalah karya Artur Zmijewski, yang menampilkan video orang buta menggambar. Diperlihatkan orang buta dengan sebuah kanvas lebar di lantai. Ia tak bisa melihat, tapi ia tertegun menimang-nimang saat memilih dan mencampur warna. Karya unggulan lain adalah karya yang bertolak dari catatan harian para sastrawan. Christiana Soulou membuat ilustrasi-ilustrasi dari karya Jorge Luis Borges, sedangkan Jose Antonio Suarez membuatnya dari buku harian Franz Kafka.

Baik di Arsenale maupun di Giardini, pada jam-jam tertentu ada pertunjukan. Di Paviliun Polandia, dua genta besi raksasa karya Konrad Smolenski, yang mungkin lebih besar daripada lonceng yang ada di menara San Marco, secara kinetik bergerak sendiri menimbulkan bunyi bising dan gaung luar biasa. Di Paviliun Italia, seorang model melepas pakaian seperti yang dia lakukan dalam video karya Fabio Mauri.

Meski pusat Biennale di Arsenale dan Giardini, bukan berarti karya-karya pendamping—Collateral Event—yang tersebar di seluruh kota merupakan karya kelas dua. Justru beberapa karya di Collateral Event menjadi bintang. Karya Ai Weiwei di sebuah gereja kecil, misalnya, sangat kuat (lihat "Sang Pemberontak di Gereja Santo Antonius"). Menikmati Collateral Event membuat kita menapak tilas sudut Venesia karena lokasinya terentang dari Pasar Rialto—kawasan pasar semenjak abad pertengahan—sampai pulau-pulau lain, Lido, Giudecca, Murano, dan Burano.

Kafe-kafe spageti pun turut menjadi sasaran. Susurilah Jalan Garibaldi, seleret jalan dekat Giardini. Sebuah komunitas perupa yang menamai diri Visual Public Service melancarkan aksi seni konseptual. Mereka merekatkan berbagai pernyataan di etalase-etalase toko. Di etalase sebuah toko permen dan limun, mereka melekatkan kalimat "This is concept". Di kaca toko pakaian dalam perempuan yang penuh manekin, mereka menempelkan kalimat "No criticism just Celebration". Di etalase sebuah toko jins, mereka menempelkan kalimat "What we talk about art we are not talking about art". Di sebuah kantor agen penyewaan rumah dan travel, mereka merekatkan kalimat "This museum does not have an exit". Di kaca sebuah toko tas, karpet, dan bantal sulaman: "There are artist that don't realize they are artist". Sungguh gerilya seni konseptual berupa kata itu terasa berhasil.

Beberapa majalah seni rupa sebelum perhelatan mempertanyakan apakah Biennale Venesia pada usianya yang ke-55 ini telah sedemikian mapan hingga bisa melahirkan karya-karya menohok. Namun agaknya Gioni yakin dengan konsep ensiklopedia itu. Hasrat manusia terhadap ensiklopedia tak usang. Di zaman Yunani, Plato sudah berobsesi membuat ensiklopedia. Di zaman pencerahan, Diderot menghimpun sebuah ensiklopedia besar.

Di Venesia, sebuah ensiklopedia yang lain ditawarkan Gioni. Di sinilah, pada 1269, Marco Polo berangkat ke Cina bertemu dengan Kubilai Khan. Menurut novelis Italo Calvino, Marco Polo menceritakan "keajaiban" Venesia kepada sang Khan hingga Khan Agung masygul. Di sini pula pelukis besar Titian pada abad ke-16 mendirikan studio di tepi Grand Canal. Dari Venesia pula Shakespeare mendapat ilham menciptakan drama komedi saudagar Yahudi yang kikir. Secara keseluruhan, Kota dan Biennale memang sebuah ensiklopedia. Sebuah ensiklopedia yang mengambang di atas air.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus