Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TOKYO SONATA
Sutradara: Kiyoshi Kurosawa
Skenario: Max Mannix, Kiyoshi Kurosawa, Sachiko Tanaka
Pemain: Teruyuki Kagawa, Kyoko Koizumi, Yu Koyanagi, Kai Inowaki
DENGAN nama Kurosawa yang disandangnya, tentu saja masyarakat internasional langsung menggandengkannya dengan kebesaran nama Akira Kurosawa, maestro dari Jepang itu. Tapi Kiyoshi Kurosawa membuat jejaknya sendiri sebagai salah satu perintis genre horor Jepang.
Meski telah berkecimpung dalam dunia sinema sejak 1980-an, nama Kurosawa baru melejit setelah film Cure (1997). Film tentang pembunuhan berantai itu disusul beberapa film sejenis, termasuk Pulse (2001), yang kemudian mengukuhkan sineas berusia 53 tahun ini sebagai ikon horor Jepang.
Kali ini secara mengejutkan Kurosawa menampilkan Tokyo Sonata, sebuah film drama. Keluarga Ryuhei Sasaki adalah sebuah keluarga normal Jepang. Sang ayah (Teruyuki Kagawa) bekerja sebagai direktur administrasi di perusahaan peralatan kesehatan. Istrinya, Megumi (Kyoko Koizumi), ibu rumah tangga biasa: rajin dan cekatan mengelola rumah. Mereka memiliki dua anak lelaki: Takashi (Yu Koyanagi), remaja yang selalu tampak gelisah, dan Kenji (Kai Inowaki), anak-baru-gede pendiam yang tampak menanggung banyak beban.
Kurosawa bukanlah sutradara yang suka basa-basi. Sejak awal, penonton diperkenalkan dengan hidup Sasaki yang pahit. Pekerjaannya di Tanaka Corp. kandas. Itu bukan karena ia tak becus bekerja, melainkan lantaran perusahaan memutuskan menggantinya dengan tiga orang asal Cina. Alasannya bisnis semata: gaji Sasaki setara dengan tiga orang outsource itu.
Setelah pemecatan, Sasaki tetap berangkat kerja dengan rapi demi gengsi. Tak satu pun anggota keluarganya mengetahui tragedi yang menimpa sang kepala keluarga. Sedangkan Megumi, yang selalu tampil ceria dan ibu teladan, diam-diam lelah akan hidupnya. Pengabdian demi pengabdian. Kurosawa menggambarkan kelelahan sekaligus gairah Megumi. Ia menyelinap ke sebuah showroom mobil untuk sekadar duduk di sebuah mobil sport terbaru yang mampu membuat parasnya, yang pucat, merona sementara waktu.
Kedua anak lelakinya pun memiliki masalah segudang. Takashi berkeras menjadi serdadu sukarela untuk Amerika Serikat. Kurosawa dengan cerdik menyindir sikap Jepang yang manut pada keinginan Amerika. Sedangkan Kenji seorang jenius dalam musik, meski ayahnya yang keras kepala melarang sang anak main musik. Alasannya: musik cuma buat banci. Ia pun mencopet uang makan siangnya demi kursus piano.
Saat ketegangan mulai meningkat, tibalah satu hari yang mengubah seluruh hidup mereka. Megumi disandera perampok, Sasaki ditabrak mobil setelah selesai bekerja sebagai office boy di mal, dan Kenji ditahan bersama orang dewasa karena tak bayar karcis bus. Tangan dingin Kurosawa serta skenario matang trio Max Mannix, Kiyoshi Kurosawa, dan Sachiko Tanaka berhasil mengaduk humor dan kepedihan. Film yang memperoleh penghargaan juri dalam Festival Film Cannes 2008 ini menunjukkan sebuah keluarga yang tampak normal dari permukaan tapi ternyata penuh gejolak yang tak tertahankan.
Kagawa dan Koizumi berperan luar biasa dalam film ini. Berkat arahan Kurosawa, Kagawa menancapkan auranya di sepanjang film. Sedangkan Koizumi berperan cerdik sebagai Megumi, yaitu perempuan yang tetap punya hasrat meski sering terpendam dalam kultur patriarki. Kisahnya memang biasa, tapi narasi yang dibangun Kurosawa membuat film ini luar biasa. Film ini juga membidik fenomena resesi di Jepang, kondisi yang sangat mudah menimpa Indonesia tahun depan
Sita Planasari Aquadini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo