Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jagat kedirgantaraan Indonesia kehilangan salah satu tokohnya, Oetarjo Diran. Pendiri Jurusan Teknik Penerbangan Institut Teknologi Bandung dan Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) pertama ini, Selasa pekan lalu, tak mampu melawan penyakitnya, stroke, pada usia 79 tahun.
Otak yang terserang stroke itu, menurut mantan Kepala Staf Angkatan Udara, Marsekal Purnawirawan Chappy Hakim, sangatlah gemilang. "Seorang profesor di Jerman pernah punya anekdot. Dia bilang, kecerdasan Diran itu sebenarnya melebihi otak Habibie. Sayang, dia tidak punya kemampuan PR (public relations) sebaik Habibie," ujar murid Diran saat menjalani pendidikan Sekolah Komando TNI Angkatan Udara ini.
Sempat kuliah setahun di ITB pada 1952-1953, pria kelahiran Ciamis ini lalu menjadi salah satu mahasiswa yang dikirim Presiden Sukarno belajar ke luar negeri. Diran belajar di Vliegtuigbouwkundig ÂIngenieur Technische Hoogeschool Delft, ÂBelanda. "Bung Karno waktu itu punya visi meÂngembangkan bidang maritim dan dirgantara kita," kata Ketua Program Studi ÂAeronautika dan Astronautika Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB Taufiq Mulyanto.
Sepulang dari Belanda pada 1958, ia mengajar di Fakultas Teknik Mesin ITB, juga menjadi Kepala Seksi Laik Udara di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Pada 1961, ia dan Liem Keng Kie mendirikan Jurusan Teknik Penerbangan.
Di kampus, Diran dikenal sebagai dosen yang galak. "Orang yang baru kenal akan sering sakit hati, karena dia terkesan pemarah," ujar mantan murid yang kemudian menjadi kolega Diran, Hari Muhammad. "Tapi beliau bukan pendendam. Sehari juga sudah melupakan kemarahannya," kata pria yang kini Wakil Dekan Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB ini. Hari pernah dimarahi gara-gara telat datang kuliah.
Selain mengabdi di kampus, Diran terlibat dalam banyak hal di luar. Ia dengan senang sibuk menjadi anggota tim persiapan pendirian Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Hingga pada 1968, ia kembali ke luar negeri, menjadi Kepala Bagian Aerodinamika Teoritikal di Masserschmitt-Boelkow-Blohm GmbH, Hamburg, Jerman. Ia pun terlibat dalam penelitian program Messerchitt-Boelkow-Blohm yang merancang Airbus A-300. Dialah yang menemukan profil sayap transonik bebas kejut.
Ketika pulang ke Indonesia pada 1972, Diran kembali ke ITB dan menjadi Ketua Program Studi Teknologi Penerbangan. Ia juga menjadi dosen luar biasa di Sekolah Komando TNI Angkatan Udara dan Angkatan Darat.
Selain itu, pada 1976, ia menyerahkan waktu dan pikirannya di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN, kini PT Dirgantara Indonesia). Dua tahun kemudian Diran menduduki kursi Wakil Direktur Pengembangan Teknologi IPTN, juga ketua tim perancangan dan pengembangan pesawat CN-235.
Di IPTN, Diran tak berkurang ketegasannya. Hari, yang juga terlibat dalam proyek CN-235, kerap menyaksikan Diran beradu argumen dengan B.J. Habibie. Suatu ketika, Diran sampai menggebrak meja. Gara-garanya, Habibie ingin CN-235 segera diterbangkan, sementara Diran masih khawatir soal keselamatan penumpang. Untungnya, keduanya kemudian mencapai kesepakatan.
Selepas dari IPTN, Diran menjadi Wakil Ketua Komite Penyelidikan Pemeriksaan Kecelakaan Pesawat Udara dan selanjutnya, pada 1999-2005, ia menjadi ketua pertama Komite Nasional Keselamatan Transportasi.
Menurut Chappy, yang bertemu lagi dengan Diran saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk tim nasional Evaluasi Keselamatan dan Keamanan Transportasi pada 2007 akibat banyaknya kecelakaan transportasi, Diran juga tetap tegas di lembaga ini. Diranlah yang tegas menolak kesimpulan tim National Transportation Safety Board (badan Amerika yang bertugas menyelidiki kecelakaan pesawat komersial), yang menyatakan kecelakaan pesawat Silk Air di Sungai Musi pada 1997 akibat pilot ingin bunuh diri. Menurut Diran, kesimpulan itu bernada spekulasi dan masih harus dibuktikan lebih jauh. "Orang bule banyak yang segan dengan dia," ujarnya.
Purwani Diyah Prabandari, Riky Ferdianto, Anwar Siswadi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo