Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari ketinggian Benteng Otanaha, warisan Portugis dari abad ke-15, di Kecamatan Gorontalo, permukaan Danau Limboto memamerkan rautnya. Kontur danau itu terlihat acak, berimpitan dengan rumah-rumah beratap seng dan gugusan eceng gondok (Eichhornia crassipes) yang menutupi kilau permukaan air. Di antara kepungan tumbuhan gulma, sayup-sayup tampak blabar tipis kehijauan yang bentuknya berbeda.
Itulah seni bumi, proyek Iwan Yusuf yang digagas sejak pertengahan Agustus lalu sampai pertengahan Oktober nanti. Proyek ini dilandasi keprihatinan Iwan akan krisis Danau Limboto yang kian parah. Dari Jakarta, Kementerian Pekerjaan Umum belum lama mengumumkan Danau Limboto berada di urutan paling atas di antara 15 danau besar yang kondisinya parah di Indonesia.
Proyek besar seni bumi Iwan dijuluki Menghadap Bumi, sedangkan karyanya sendiri diberi tanda sebagai Lahilote. Lahilote adalah legenda masyhur bagi masyarakat Gorontalo, kisah tentang pemuda perkasa yang berhasil menyunting seorang putri kahyangan sebelum akhirnya kembali ke pangkuan bumi. Salah satu tilasnya adalah sebuah batu besar (batudaa) yang diyakini sebagai telapak kaki Lahilote di pesisir, tak jauh dari pelabuhan Kota Gorontalo. Kisah itulah yang menginspirasi Iwan untuk mengingatkan lagi kecintaan manusia akan bumi, tentang muasal danau sebagai sumber mata air yang terkait dengan mitos sang Lahilote.
Pada pertengahan abad lalu, luas Danau Limboto diperkirakan mencapai 7.000 hektare, dengan kedalaman air sekitar 30 meter. Pemanfaatan lahan di sekeliling danau tanpa kendali, sedimentasi material ribuan ton per tahun, dan musnahnya berbagai biota air menyebabkan luas danau itu susut menjadi 2.500 hektare dan kedalamannya cuma 2,5 meter. Berbatasan dengan Laut Sulawesi dan Teluk Tomini, Danau Limboto merupakan daerah resapan yang menampung limpahan air dari 23 anak sungai.
Tahun lalu, Balai Wilayah Sungai Sulawesi II memulai upaya revitalisasi tahap pertama, menggunakan dana dari Kementerian Pekerjaan Umum sebesar Rp 81 miliar. Sebagian area dan permukaan danau di kejauhan tampak jernih dan bebas dari tetumbuhan parasit. "Sayang, dana sangat gede itu tampaknya sebagian besar terserap untuk biaya sosialisasi," kata Iwan.
Tantangan yang dihadapi proyek seni bumi Iwan di atas area danau tidak sederhana. Untuk mewujudkan proyek ini, ia memanfaatkan bahan eceng gondok yang melimpah di situ, menghelanya bolak-balik dengan perahu untuk memindahkannya ke lokasi karyanya. Yang menarik, ia cuma menggunakan tali dan potongan bambu sebagai jangka untuk menentukan titik koordinat blabar telapak kaki. Iwan—kelahiran Gorontalo pada 1982 dan kini bermukim di Malang, Jawa Timur—adalah pelukis realis otodidak yang biasa bekerja sangat cermat menggubah potret berukuran besar.
Dengan menancapkan pemancang tak kurang dari 600 bilah bambu, ia membuat bentuk presisi telapak kaki raksasa yang mengapung di atas danau. Lebar kontur bentuk telapak yang tertutup eceng gondok sekitar 5 meter. Potongan bambu itu menancap sedalam 2,5 meter untuk menahan gerakan eceng gondok karena empasan gelombang. Parade penyangga bambunya bersaing dengan ribuan tiang bambu yang mematok lahan keramba para nelayan.
Danau Limboto merupakan site project Iwan. Tapi dengan jeli ia justru memanfaatkan elemen non-site-nya berupa legenda yang dikenal oleh semua penduduk Gorontalo. Hanya dengan cara itu pula Iwan berhasil masuk ke arena danau yang sudah dikaveling oleh berbagai kepentingan pemilik tambak atau petani ikan yang menjaga ratusan keramba.
"Kami mengantongi izin dari Pemerintah Kabupaten Gorontalo di tengah kompleksnya persoalan danau dan masyarakat nelayan lokal yang saling klaim lahan. Bahkan eceng gondok pun sudah dibagi-bagi untuk keperluan menangkap ikan. Tapi legenda Lahilote menjadi penghubung dan menimbulkan semangat tersendiri bagi pekerja proyek ini," tutur Iwan.
Iwan dibantu teman-teman sekolahnya dulu yang membentuk KreaTiM dan sebelas nelayan setempat sebagai pekerja proyek, ditambah lima perahu motor yang masing-masing berdaya 5,5 PK dan 6,5 PK. Para artisan itulah yang tiap hari berjemur di danau untuk merangkai titik-titik koordinat sampai anatomi telapak kaki raksasa itu terwujud. Meski Iwan sendiri tidak bisa berenang, ia belajar mengemudikan perahu mesin untuk mengarungi danau selama berpekan-pekan buat merampungkan proyek berukuran 500 x 190 meter itu. Kulitnya gosong diterpa udara panas dari pantulan air danau.
Proyek Menghadap Bumi yang dikerjakan Iwan adalah gagasan yang lazim disebut sebagai seni bumi, yang di Barat mulai diperkenalkan menjelang akhir 1960-an dengan berbagai rujukan istilah (land art, earth art, atau ecological art). Kritikus Lawrence Alloway pernah menyebutnya sistem-sistem operasi "pascastudio". Bentang alam bukan lagi latar, melainkan bagian dari karya (seni). Seniman Robert Smithson, yang terkenal dengan proyeknya Spiral Jetty (1970) di Great Salt Lake, Utah, Amerika Serikat, memaparkannya sebagai "seni yang mempenetrasi dunia dan dipenetrasi oleh sistem-sistem tanda".
Sejak itu, masuk pula kata "entropi" dalam khazanah seni rupa, kondisi yang ditengarai akibat merosotnya pengelolaan (alam sekitar) dan lenyapnya sifat kekhususan. Umumnya seniman tertarik menggarap isu ini karena, misalnya, melihat hilangnya keseimbangan lingkungan, tegangan antara site dan non-site (alam dan bukan alam), menghadirkan realitas fisik yang menggugah ketimbang konsep-konsep abstrak.
Bagi Iwan Yusuf, jejak kaki raksasa proyek seni bumi itu akan mengingatkan kita pada jejak sejarah Danau Limboto itu sendiri, sebuah real site yang sedang berubah sangat cepat menjadi artificial non-site karena intervensi kepentingan manusia. Jika upaya revitalisasi danau ini gagal, diperkirakan Danau Limboto akan lenyap pada 2025.
Jika isu itu berhasil membangkitkan kepedulian banyak pihak, biaya yang dikeluarkannya jauh lebih kecil ketimbang gelontoran oleh Kementerian Pekerjaan Umum, yakni hanya sekitar Rp 80 juta. Yang jadi soal, mediasi kritis soal danau oleh tim Menghadap Bumi agaknya belum ditangani sungguh-sungguh.
Proyek besar seperti seni bumi tentu saja membutuhkan manajemen yang tidak sederhana dan eksekusi yang cermat sehubungan dengan kondisi bentang alam yang dihadapi, risiko pekerja, komunikasi publik, benturan kepentingan, politisasi proyek, dan reaksi masyarakat setempat, bahkan sejagat. Iwan dan KreaTiM-nya agaknya mesti memetik pelajaran dari proyek ini untuk mengatasi kecanggungan dan hambatan di lapangan, termasuk birokrasi.
Jika Anda pada hari-hari ini menumpang pesawat ke Gorontalo, menjelang mendarat di Bandar Udara Djalaluddin, akan terlihat samar-samar bentuk telapak kaki raksasa Lahilote dengan presisi yang cukup, mengambang di antara gugusan eceng gondok.
Hendro Wiyanto, Pengamat Seni Rupa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo