Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Sejarawan Pers Patriotik

23 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK banyak kita memiliki wartawan yang merangkap sebagai sejarawan yang dengan cermat mengamati dan mencatat perkembangan sejarah pers di negeri ini. Seorang di antaranya, yang selama beberapa dasawarsa terakhir tak henti-hentinya mempublikasikan kontribusi dunia pers dalam perjuangan kemerdekaan negeri ini, telah pula meninggalkan kita. Soebagijo Ilham Notodidjojo meninggal selepas subuh Selasa pekan lalu, dua bulan setelah ulang tahun ke-89. Ia lahir pada 5 Juli 1924 dalam keluarga guru di Blitar, Jawa Timur.

Sebagai wartawan peninggalan masa perjuangan kemerdekaan, yang kini sudah langka, Soebagijo I.N. memiliki ideologi pers sebagaimana yang dianut pada zaman itu. Dan ia mengagumi sikap politik para wartawan masa itu, yang pada umumnya merangkap sebagai aktivis politik.

"Menurut hemat saya, pertama-tama mereka itu pada umumnya adalah kaum idealis; kaum pengabdi cita-cita luhur, yang bersedia mengorbankan segala sesuatunya—materi, pangkat, jabatan, ya bahkan kekasih atau keluarga—untuk kepentingan perjuangan bangsanya." Demikian gambaran Soebagijo tentang wartawan kita—yang mengutamakan patriotisme pada masa perjuangan sebelum dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan—dalam bukunya Jagat Wartawan Indonesia (Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 1981).

Ia tampaknya percaya pada pendapat Sukarno, yang ditulis tangan pada 12 April 1933, dan dimuat di halaman terakhir buku itu bahwa "Tiada perjuangan kemerdekaan secara modern yang tidak perlu memakai penyuluhan, propaganda, dan agitasi dengan pers." Dalam kata pengantar buku itu, Soebagijo mengutip pujian presiden pertama Republik Indonesia tersebut bagi para wartawan kita pada masa penjajahan Belanda, yang dikatakannya "benar-benar gilang-gemilang, oleh karena mereka itu bersemboyan: 'Lebih dahulu nasionalis, baru kemudian wartawan'."

Buku setebal 650 halaman itu mencerminkan karya seorang penulis ulet, yang menghimpun perjalanan kehidupan 111 pengelola media pers yang disebutnya "para 'leluhur' kaum wartawan Indonesia". Soebagijo merupakan penulis buku yang produktif. Ia menulis, menyunting, serta menyadur dan menerjemahkan ke bahasa Indonesia dan bahasa Jawa lebih dari 40 buku.

Sebagian bukunya ditulis dalam bahasa Jawa, bahasa yang menurut istrinya, Siti Soepilah, memberi kenyamanan kepada almarhum. Pada hari-hari terakhirnya, ia masih menulis artikel untuk Panjebar Semangat, majalah mingguan berbahasa Jawa dengan huruf Latin di Surabaya. Soebagijo lebih dikenal sebagai wartawan kantor berita Antara, tapi ia juga pernah memimpin Panjebar Semangat.

Soebagijo tak hanya merasa lebih nyaman menggunakan bahasa Jawa dalam tulisannya, tapi agaknya juga karena ia ingin berbagi pengetahuan dengan masyarakat luas yang bukan kaum elite. Para pembaca Panjebar Semangat terutama hidup di pedesaan di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Para pelanggannya juga termasuk keturunan transmigran Jawa di Lampung serta masyarakat Jawa di Suriname dan Kaledonia Baru. Majalah ini, yang didirikan oleh dokter Soetomo, adalah media pers satu-satunya di Indonesia yang mulai terbit sebelum Perang Dunia II, yaitu pada 2 September 1933, dan masih bertahan sampai sekarang.

Sebagai kelanjutan dari kegemarannya membaca sebagai anak guru pada masa kecil, ia sudah menulis sejak sebelum Perang Dunia II untuk majalah kanak-kanak dan remaja, seperti Taman Bocah di Jakarta dan Taman Poetra di Yogyakarta.

Soebagijo mulai menjadi wartawan Antara di Yogyakarta pada 1946-1949, ketika kantor berita itu mengungsi bersama para pemimpin pemerintahan dari Jakarta atas undangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Pada waktu yang bersamaan, ia menjadi Pemimpin Redaksi Api Merdeka, majalah Ikatan Pelajar Indonesia, dan Jiwa Islam, majalah Gerakan Pemuda Islam Indonesia, di Yogyakarta. Pada 1949, ia pindah ke Surabaya dan menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Panjebar Semangat sampai 1958. Ia sempat pula menjabat redaktur pelaksana harian Surabaya Post pada 1954-1959. Tapi, pada 1958, ia pindah ke Jakarta dan bergabung kembali dengan Antara.

Beberapa waktu lalu, ia menjadi salah satu wartawan senior yang memperoleh penghargaan berupa Kartu Wartawan Utama dari Dewan Pers. Pemilik kartu ini dipandang sebagai wartawan profesional yang berpengalaman lama.

Atmakusumah (Pengamat Pers dan Pengajar Jurnalisme Lembaga Pers Dr Soetomo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus