Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Galeri Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, serangkaian kostum dengan berbagai model berderet menggantung memenuhi ruang pameran. Aneka kostum itu merupakan bagian dari karya seni yang ditampilkan dalam pameran bertajuk Circus, yang berlangsung pada 15-30 September ini.
Circus menampilkan 32 karya seni yang pernah digunakan koreografer-sutradara masyhur Jepang, Hiroshi Koike, dalam pementasan kelompok tari-teater kontemporer asuhannya, Pappa Tarahumara, sepanjang 1982-2012. Selain kostum, dalam pameran dengan kurator Hiroshi sendiri itu ditampilkan topeng, patung, serta properti pentas berukuran besar dan kecil.
Silakan lihat sebuah gaun wanita berwarna putih tulang dengan kutang merah menyala. Tapi kepalanya berupa topeng keledai seram berkerudung merah. Lalu sebuah patung bocah berkepala plontos, bermata besar, dan telanjang. Ada pula sebuah koper terbuka berwarna cokelat kusam dengan dua boneka tergolek di sampingnya. Di dalam koper itu tampak enam topeng, yang tiga di antaranya topeng wajah kucing menyeramkan. Tak kalah seram, kostum putih dengan kepala tengkorak mengenakan topi hitam.
Karya-karya yang dipamerkan dalam Circus adalah hasil kreasi para seniman yang pernah berkolaborasi dengan Hiroshi dan Pappa Tarahumara, baik sebagai penata panggung, penata artistik, perancang kostum, maupun pembuat properti panggung lainnya. Mereka antara lain Yanobe Kenji, Koji Hamai, Outsect (Kazushi Kobayashi dan Sayaka Kai), Hiroyuki Moriwaki, serta Aya Miyaki.
Boleh dibilang pameran Circus ini merupakan kenangan jejak langkah Hiroshi dan Pappa Tarahumara selama 30 tahun. Hiroshi, kini 57 tahun, lahir dan besar di Hitachi, Prefektur Ibaraki. Dia salah satu seniman kontemporer papan atas Jepang. Alumnus Hitotsubashi University, Tokyo, ini melahirkan karya-karya yang oleh para kritikus seni dinilai luar biasa dan spektakuler secara visual.
Pada 1982, setelah bekerja di sebuah stasiun televisi, Hiroshi membentuk kelompok seni Pappa Tarahumara. Dia menjadi direktur artistik dan sutradara di kelompok seni tersebut. Nama Pappa Tarahumara terinspirasi oleh terjemahan tulisan Antonin Artaud, penyair dan dramawan Prancis, berjudul Le Rite du Peyotl chez les Tarahumaras, yang berkisah tentang cara hidup suku Indian Meksiko.
Sejak kelompok itu didirikan, Hiroshi telah mementaskan 55 lakon pertunjukan—antara lain Birds on Board, Ship in View, WD, dan Gulliver and Swift—di 30 negara di dunia, termasuk Indonesia. Dan dalam setiap pementasannya, kelompok seni ini menggabungkan unsur tari, teater, seni rupa, dan musik. Hiroshi memasukkan elemen seni lain dalam pementasannya.
Menurut Hiroshi, dalam pertunjukan teater terdapat tiga elemen penting, yakni ruang, waktu, dan tubuh. "Manusia tak bisa terpisahkan dari pertunjukan teater. Tak ada panggung tanpa sosok seorang aktor," kata Hiroshi, yang juga Presiden Performing Art Institute, Jepang, seperti dikutip dalam katalog pameran.
Di dunia seni negara-negara Barat, pameran yang khusus menampilkan kostum dan segala properti pertunjukan terbilang biasa. Kostum bisa berdiri sendiri menjadi sebuah pameran—terlepas dari pementasannya. Tapi, di Indonesia, pameran seperti ini jarang diadakan. Maka Circus mengingatkan bahwa kostum, skenografi, dan lain-lain bukan hanya unsur sekunder dalam pentas teater. Semua itu bisa menjadi karya yang otonom. Seniman Danarto, misalnya, pernah membuat topeng-topeng untuk pertunjukan Rendra. Sekiranya topeng-topeng itu dipamerkan—dengan set tersendiri—tentu tetap "berbunyi".
Begitulah. Setelah 30 tahun berkarya bersama Pappa Tarahumara, Hiroshi membubarkan kelompok itu pada 31 Mei 2012, kemudian membentuk Hiroshi Koike Bridge Project, dengan cakupan kerja yang lebih luas—tak hanya memproduksi seni pertunjukan, tapi juga film, fotografi, dan instalasi. Selain menggelar pameran seni rupa Circus, Hiroshi Koike Bridge Project akan menampilkan pentas teater-tari bertajuk The Restaurant of Many Orders di Teater Salihara pada 19-20 Oktober mendatang.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo