Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pertunjukan Kalanari Theatre Movement.
Memperingati seabad penulis Franz Kafka.
MEJA besar di tengah Pendapa Ajiyasa Kompleks Jogja National Museum, Yogyakarta, Sabtu malam, 2 Desember lalu, berbalut taplak merah. Kursi-kursi disusun mengelilingi meja. Sebuah perjamuan besar tengah dipersiapkan. Di ujung meja di dekat dinding bertengger patung lambang negara berukuran jumbo, Garuda Pancasila. Di ujung satunya, Andika Ananda, aktor Kalanari Theatre Movement, duduk menikmati mesin cukur manual yang menghaluskan jambangnya, menghabisi kumisnya, dan merapikan rambutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tukang cukurnya pun bak seorang priayi tingkat tinggi yang mengenakan kain jarit serta berbaju surjan hitam dan memakai blangkon. Pelayanan itu spesial meski Andika datang hanya mengenakan kaus kutang putih, bercelana boxer bermotif polkadot warna-warni, dan bertopeng kera. Topeng keranya dicopot dan diletakkan di atas baki sebelum bercukur. Lalu baki itu dibawa mengelilingi meja besar oleh seorang perempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah berganti kostum dengan celana panjang kain, kemeja batik, serta bersepatu dan berpeci, Andika memperkenalkan diri. Ia menceritakan lahir dari ibu asal Kupang dan ayah asal Rote di Nusa Tenggara Timur, lalu diasuh oleh pasangan dari Malang, Jawa Timur. Ia pernah beberapa kali berkelahi karena dia berkulit hitam dan dirundung dengan disebut negro. Tatkala tinggal di Bali, ada hal yang diingatnya terus. Seorang gadis cantik mempertanyakan wajahnya yang seperti manusia purba. “Saya terdiam. Saya tersadar, seolah-olah dia mau bilang wajah saya seperti monyet,” tutur Andika.
Dari topeng kera dan sebutan manusia purba itu, Kalanari Theatre Movement membangun dramaturgi. Secara monolog, Andika membawakan pertunjukan teater berjudul Laporan kepada Akademik. Kisah ini diambil dari cerita pendek Franz Kafka, penulis cerpen kesohor asal Austria, terbitan 1917 yang berjudul “Ein Bericht für eine Akademie”. Pertunjukan ini bertujuan memperingati 100 tahun meninggalnya penulis Austria tersebut. Pertunjukan hasil kerja sama Kalanari dengan Goethe-Institut Indonesien itu mengisahkan seekor kera yang dididik agar berperilaku beradab layaknya manusia.
“Ini kisah Kafka mengenai eksperimen ‘pemberadaban’ kera agar bisa seperti manusia,” kata sutradara Ibed S. Yuga. Kera itu bernama Red Peter. Kisah masa kecil Andika turut menguatkan lakon yang diperankan tersebut. Red Peter, dalam kisah Kafka, kepada para anggota akademik, melaporkan transformasinya dari kera menjadi manusia setelah dididik selama lima tahun. Penonton pun diundang menjadi bagian dari para anggota akademik yang mengelilingi meja perjamuan.
Aksi panggung monolog aktor Kalanari Theatre Movement bertajuk Laporan kepada Akademik di Pendapa Abiyasa JNM Yogyakarta, 2 Desember 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana
“Anda kami anggap layak, mumpuni, adiluhung, pantas, dan beradab untuk mengikuti perjamuan makan malam,” tutur Andika, yang memerankan Red Peter, sang kera yang telah menjadi manusia itu. Penonton yang dipilih kemudian dipakaikan kalung wisuda. Di meja tersedia piring berisi nasi kuning tumpeng dengan lauk suwiran telur, perkedel, serta potongan mentimun dan tomat. Disertakan pula gelas bertangkai berisi air putih dan segelas lagi dibiarkan tengkurap di atas meja. Hingga di pertengahan pertunjukan, tak ada satu pun anggota akademik yang menyentuh piringnya, meski mereka telah dipersilakan untuk bersantap. Mereka memilih membaca laporan mengenai Red Peter yang hilir-mudik berjalan bak kera di atas meja.
Red Peter dalam kisah Kafka itu adalah kera asal Afrika yang menjadi korban perburuan. Ia satu-satunya kera yang bisa ditembak di hutan. Satu tembakan di pipi membuat kulitnya terluka memerah dan bulunya tak lagi bisa tumbuh. Itulah awal mula ia diberi nama Red Peter. Tembakan kedua mengenai bawah pinggulnya. Luka itu membuatnya berjalan agak pincang.
Ia pun tinggal di balik kerangkeng. Di situ ia diajari menjadi manusia. Sifat keranya belum benar-benar tumpas. “Buktinya, kepada penghuni baru, saya selalu membuka celana dan memamerkan bekas luka,” ucap Andika, yang memainkan Peter sembari memelorotkan celana panjangnya sebatas lutut. Ia memamerkan celana boxer polkadotnya yang lucu.
Red Peter melaporkan pelajaran pertama yang diterima, yaitu berjabat tangan. Pelajaran terberat adalah mengalahkan sifat keras kepalanya sebagai seekor kera. Sebab, Red Peter ingin selekas mungkin keluar dari kurungan. “Yang saya inginkan adalah jalan keluar, bukan kemerdekaan, karena kemerdekaan diperoleh dengan tipu daya,” ujar Red Peter. Saat tak lagi keras kepala, Red Peter mulai nyaman tinggal di lingkungan manusia. Perlahan ia mulai mempelajari perilaku manusia. Tujuannya satu: mencari jalan keluar. Kalau tidak menemukannya, ia terpaksa tinggal di kebun binatang atau menjadi seniman.
Dari sekian perilaku manusia, hanya satu yang belum bisa ditirukan, yaitu menenggak minuman beralkohol. Beberapa kali mencoba, Red Peter malah mengencingi botol-botol minuman kerasnya. Berbarengan dengan itu, para pramusaji datang membawa sebotol wine. Satu per satu anggota akademik ditawari. Ada yang menolak, ada yang mengangguk. Pramusaji pun membalik gelas bertangkai yang tengkurap dan mengisinya dengan wine, hingga suatu saat Red Peter bisa mengangkat pantat botol wine. Lalu bibirnya dan bibir botol beradu. Ditenggaknya minuman itu dengan kesadaran, bukan seperti orang putus asa. “Saya lempar botol itu. Dengan dorongan gemuruh luar biasa dari dalam diri, saya berseru singkat. ‘Haaloooooo…!’ Sontak orang-orang riuh. ‘Dengar, kera itu berbicara, berbicara, berbicara!’”
Meski terkesan bermonolog, sebenarnya Andika tak sendiri. Di ujung meja, di depan Sang Garuda Pancasila, Kurnelia Sukmawati Ramadhani mengikuti setiap kalimat Andika dengan gerakan kedua tangan, gerak tubuh, dan mimik mukanya. Dia menerjemahkan monolog Andika dengan bahasa isyarat. Sepanjang Andika bermonolog, dua penutur riwayat, Arief Wicaksono dan Falentina Bengan Ola, tampil berkisah di waktu sela. Monolog itu mengisahkan perjuangan mereka mencari jalan keluar agar bisa hidup setara dengan manusia lain sembari berjalan berkeliling ruangan.
Kurang-lebih selama satu setengah jam banyak penonton dibuat tak beranjak dari kursi duduknya. Terutama para anggota akademik yang mau tak mau mendengarkan secara serius laporan Red Peter, sembari menghabiskan jamuan makan malam mereka. Hasil dari perjamuan, di ujung meja, Kurnelia, Arief, dan Ola membentangkan tiga poster. Poster-poster tersebut bertulisan: “Aku Bukan Monyet”, “Kera Tidak Sama dengan Monyet”, dan “Manusia Adalah Primata”. Ibed S. Yuga cukup berani mementaskan kisah Kafka yang absurd ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "100 Tahun Franz Kafka, Perjuangan Mencari Jalan Keluar"