Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Satu film Indonesia diputar di IDFA.
Film dokumenter tentang pesantren waria di Yogyakarta.
TATKALA pada November lalu belahan bumi utara memasuki musim rontok, banyak kegiatan berlangsung di dalam gedung. Maklum, menghindari udara yang makin dingin, orang lebih suka meriung di dalam rumah atau gedung. Salah satu perhelatan di dalamnya adalah International Documentary Film Amsterdam atau IDFA, yang pada tahun ini berlangsung selama 11 hari, 8-19 November lalu. Dalam IDFA edisi ke-35 ini diputar 300 lebih film dokumenter di hampir 30 lokasi pemutaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemutaran film tidak melulu gedung bioskop, juga di gedung pentas tonil Carré, misalnya. Tidak mungkin 300 film ditonton dalam sebelas hari. Peminat film dokumenter jelas harus memilih film-film mana yang akan ditonton. Tidaklah mengherankan jika IDFA dikenal sebagai festival film dokumenter terbesar dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk ini, banyak pedoman yang bisa diikuti. IDFA, seperti terlihat dalam situs web mereka, menyajikan 20 klasifikasi dokumenter yang dapat ditonton. Penonton dapat memilih klasifikasi sendiri, termasuk menyaksikan sepuluh film retrospeksi karya Wan Bing, sineas Tiongkok yang tahun ini tampil sebagai tamu kehormatan. Patut dicatat, IDFA bukan hanya ditujukan bagi penonton dewasa. Penonton anak-anak dari yang berumur sembilan tahun hingga remaja juga memperoleh perhatian. Bagi mereka, tersedia klasifikasi tersendiri, termasuk empat film untuk kalangan remaja.
Koran-koran besar Belanda, seperti NRC Handelsblad dan de Volkskrant, punya daftar sendiri film dokumenter yang direkomendasikan kepada pembaca. Bahkan harian de Volkskrant dan mingguan De Groene Amsterdammer menyelenggarakan hari-hari khusus pemutaran film-film pilihan kedua media ini. Pemutaran film dokumenter pilihan mingguan De Groene Amsterdammer berlangsung pada Sabtu, 18 November lalu. Seleksi ini mempertontonkan lima film sehari suntuk dari pagi sampai malam. Tak ketinggalan lima dokumenter itu diresensi di De Groene Amsterdammer edisi pekan lalu, ditambah beberapa dokumenter lain yang, walau tak dipilih, tetap layak ditonton.
Yang tidak boleh dilupakan adalah beberapa lembaga penyiaran Belanda juga punya klasifikasi film dokumenter sendiri. Dua dari sepuluh lembaga penyiaran publik Belanda, NTR dan VPRO, menyelenggarakan hari penayangan sendiri. Lembaga penyiaran tertua VPRO, misalnya, menyelenggarakan sampai tiga kali pertunjukan khusus. Kemudian secara bersama-sama lembaga penyiaran publik Belanda juga menyelenggarakan hari pertunjukan khusus kepada para anggota mereka. Ciri khas lembaga penyiaran publik Belanda adalah anggota setiap lembaga menentukan lamanya jam tayang mereka, baik di stasiun televisi maupun radio publik.
Publik Belanda memang dikenal sebagai penggemar film dokumenter, bahkan film dokumenter sudah menjadi sajian tetap di banyak gedung bioskop. Pada setiap daftar tayang film yang keluar saban Kamis di bioskop-bioskop (kota besar) Belanda selalu disajikan paling sedikit satu film dokumenter. Inilah salah satu alasan IDFA menjadi festival film dokumenter terbesar dunia. Sebuah penelitian pada September lalu menegaskan bahwa Belanda memiliki potensi besar di bidang film dokumenter dibanding dalam film cerita, baik dari segi pembuat film maupun penontonnya.
Dimulai pada 1988, IDFA merupakan kelanjutan festival film dokumenter Festikon yang selama seperempat abad lebih diselenggarakan di Kota Utrecht (Belanda tengah) oleh Institut Film Belanda atau NFI. Dengan bantuan beberapa sutradara terkenal film dokumenter Belanda, antara lain Joris Ivens dan Bert Haanstra, IDFA berlangsung di Amsterdam pada setiap November.
Edisi pertama berlangsung hanya selama tiga hari di beberapa gedung bioskop yang berada di sekitar Leidseplein, salah satu pusat keramaian Amsterdam. Sesuai dengan zamannya, dari 73 film dokumenter yang diputar pada edisi pertama itu, sekitar 3.000 penonton membanjiri beberapa penayangan dokumenter tentang Uni Soviet. Maklum, di Moskow tampil Mikhail Gorbachev yang menjalankan politik Glasnost dan Perestroika. Banyak penonton ingin tahu lebih jauh lagi tentang sang sekretaris jenderal partai komunis ini. Ally Derks, direktur pertama IDFA, memahami ini sebagai dorongan penonton Belanda untuk selalu ingin tahu lebih dalam daripada sekadar mencari tahu melalui warta.
Dari titik awal sebagai acara penayangan film dokumenter bermutu, dalam 35 tahun usianya, IDFA kini berkembang menjadi festival film dokumenter terbesar sedunia. Pusat pemutaran film juga sudah pindah ke sekitar Rembrandtplein, di sekitar Tuschinski yang dianggap gedung bioskop terbaik se-Eropa.
Jan Pieter Ekker, redaktur seni harian Amsterdam, Het Parool, yang aktif sejak IDFA edisi kedua, melihat kotanya sebagai faktor yang mempermudah IDFA menjadi festival terbesar. Menurut dia, awalnya di Eropa hanya ada dua festival film dokumenter: satu di Sheffield, Inggris, dan satu lagi di Leipzig, Jerman Timur. Ekker yakin Amsterdam lebih menarik dikunjungi ketimbang Sheffield dan Leipzig. Sebab, Amsterdam mudah dicapai dari pelbagai penjuru dunia. Ekker mungkin benar. Dengan sekitar 300 ribu pengunjung untuk edisi tahun ini, selama tiga dekade IDFA berhasil melampaui kebesaran dua festival film dokumenter lain di Sheffield dan Leipzig, walau keduanya lebih dulu diselenggarakan.
Sebuah festival film tidak hanya disesaki oleh penonton. Sineas film pasti juga hadir. Begitu pula pegiat film lain, seperti produser atau pembuat program televisi. Ally Derks menyebutkan, selain penonton, paling sedikit ada tiga kelompok yang hadir setiap kali festival itu digelar: perancang, penyandang dana, dan pembuat film dokumenter. Perancang bukan hanya berperan pada saat pembuatan, tapi juga tatkala dokumenter itu sudah selesai dan siap dipertontonkan. Mereka akan mencari saluran mana yang pantas ditempuh oleh satu dokumenter: dapat langsung dipertontonkan di televisi, bisa pula dipertontonkan dulu di gedung bioskop.
Dari segi banyak dan beragamnya film dokumenter yang menarik, hampir dapat dipastikan akan selalu ada yang berkaitan dengan Indonesia, entah itu tentang Indonesia entah yang dibuat oleh sineas Indonesia. Di masa lampau, dua dokumenter arahan sutradara Joshua Oppenheimer, yaitu The Act of Killing (Jagal) dan The Look of Silence (Senyap), diputar untuk pertama kalinya di IDFA. Selain itu, paling sedikit dua sineas Indonesia, yaitu Ucu Agustin dan Tonny Trimarsanto, berhasil meloloskan film mereka untuk tayang perdana di IDFA. Ucu Agustin tampil dengan film pendek Selamat Tinggal Sekolahku (13 menit) pada 2013 dan Tonny Trimarsanto dengan film Mangga Golek Matang di Pohon (98 menit) pada 2012.
Tahun ini, tak hanya ada film dokumenter yang berkaitan dengan Indonesia, tapi juga terdapat film buatan sineas Indonesia. In-Soo Radstake, sineas Belanda keturunan Korea, menampilkan Selling a Colonial War (Menjual Perang Kolonial), sementara Tonny Trimarsanto berhasil masuk dengan Under the Moonlight (Di Bawah Sinar Purnama), film dokumenter keduanya untuk IDFA.
Under the Moonlight karya Tonny Trimarsanto.
Selling a Colonial War arahan In-Soo Radstake mengungkap latar belakang permintaan maaf kepada Indonesia yang diajukan oleh Raja Belanda Willem-Alexander dalam kunjungan kenegaraan pada awal 2020 dan Perdana Menteri Mark Rutte pada 2022. Permintaan maaf itu berkaitan dengan apa yang menurut mereka “kekerasan ekstrem” yang dilakukan pasukan Belanda selama perang kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Walaupun berkaitan dengan Indonesia, film dokumenter ini jelas berangkat dari sudut pandang Belanda. Indonesia hanya disinggung-singgung. Sudut pandang Indonesia tidak begitu jelas. In-Soo Radstake, misalnya, tidak menjelaskan mengapa pada masa perang kemerdekaan itu Indonesia sampai perlu memindahkan ibu kota ke Yogyakarta.
Walau begitu, bagi penonton Negeri Kincir Angin, In-Soo Radstake berhasil mengungkap alasan Belanda menyebut perang kemerdekaan Indonesia itu sebagai “politionele acties” (aksi-aksi polisionil), bukan “agresi militer” yang digunakan Indonesia, dan siapa tokoh yang pertama kali menggunakannya. Dokumenter ini menampilkan sosok Eelco van Kleffens, Menteri Luar Negeri Belanda sejak negara itu diduduki Partai Nazi dari Jerman pada Mei 1940. Pada masa ini, Ratu Wilhelmina dan kabinet Belanda terpaksa mengungsi ke Inggris. Mingguan De Groene Amsterdammer dalam resensinya mengatakan istilah “aksi-aksi polisionil” tidak bernuansa internasional, hanya satu masalah dalam negeri, internal, dan relatif tanpa kekerasan karena dilakukan oleh polisi, bukan tentara.
Inilah akal bulus Eelco van Kleffens yang menurut mingguan De Groene Amsterdammer lebih cocok sebagai politikus abad ke-19 ketimbang abad ke-20 yang lebih modern dan demokratis. Sejarawan Paul Doolan dalam dokumenter itu langsung menunjuk bahwa dengan istilah “aksi-aksi polisionil” Van Kleffens telah mendominasi ingatan umum Belanda selama 50 tahun. Sekarang istilah “aksi-aksi polisionil” praktis sudah tidak digunakan lagi di Belanda. Kini orang lebih terus terang menyebutnya sebagai perang kolonial.
Dalam dokumenter juga terlihat Van Kleffens berhadap-hadapan dengan delegasi Indonesia di bawah pimpinan Sutan Sjahrir dalam sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, 14 Agustus 1947, di Lake Success, New York, Amerika Serikat. Menjawab uraian singkat Sjahrir tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia, Van Kleffens menantang: akankah Dewan Keamanan mendukung orang-orang ini atau warga terhormat yang dibela Belanda? Ucapan yang jelas menghina Indonesia ini segera saja memancing gelak tawa sinis penonton. Minat publik Belanda terhadap film dokumenter ini tampaknya besar. Beberapa rekomendasi mencantumkan film ini. Pada situs dokumenter ini tertera bahwa mulai 11 Januari tahun depan film ini akan dapat ditonton di gedung bioskop biasa seantero Belanda.
Film dokumenter Indonesia, Under the Moonlight, masuk kategori “Luminous”, seperti tertera pada situs web IDFA. Ini berarti, bersama 23 film lain, dokumenter arahan sutradara Tonny Trimarsanto itu tergolong menyoroti “keindahan, ekspresi, dan empati hubungan antarmanusia dari pelbagai sudut pandang”. Berasal dari segenap penjuru dunia, bahkan dari lima benua, sebagian besar film dokumenter kategori ini dipertunjukkan untuk pertama kali di Amsterdam. Film dari Eropa cukup banyak, sedangkan dokumenter Tonny ini merupakan satu-satunya wakil Asia Tenggara.
Inilah film kedua Tonny yang masuk IDFA. Film pertamanya, Mangga Golek Matang di Pohon, berhasil menembus IDFA 11 tahun silam, pada 2012. Walau demikian, kedua filmnya bertema sama: tentang kehidupan kalangan waria yang di Barat sekarang dikenal sebagai kalangan transgender. Bahkan Tonny mengaku Under the Moonlight adalah film kelimanya tentang kaum waria. Kali ini dia khusus menampilkan aktivitas pondok pesantren waria Al-Fatah di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Ketika membuat empat film sebelumnya, saya mendengarkan kisah hidup waria yang sangat memilukan. Menurut saya, mereka sudah biasa dengan diskriminasi dan kekerasan,” ujarnya dengan serius tatkala ditemui Tempo. Salah satu adegan cukup panjang dalam film keduanya ini adalah ketika Tonny mengikuti para waria yang diburu aparat. Mereka tak hanya berupaya cepat-cepat menghindari aparat, tapi juga lekas berganti pakaian dan menghapus riasan tebal pada wajah. Akibat ulah aparat, bisa dibayangkan hari itu mereka sulit memperoleh penghasilan. Peristiwa seperti inilah yang menggugah Tonny untuk membuat film dokumenter.
Perhelatan IDFA di Amsterdam, Belanda, 22 November 2023. IDFA/Jakob van Vliet
Berniat menampilkan kalangan waria di media massa untuk film keduanya ini, Tonny menempuh cara yang berbeda. Kalau dalam Mangga Golek Matang di Pohon Tonny masih mewawancarai tokoh-tokohnya, pada film kedua ini dia mengambil posisi lain. “Saya menerapkan pendekatan observasi, jadi saya biarkan mereka beraktivitas,” tuturnya. Karena itu, dalam Under the Moonlight sama sekali tidak terlihat orang yang menjawab pertanyaan. Metode observasi ini tampaknya memang cocok untuk meliput pesantren waria Al-Fatah. Tonny merekam pelbagai kegiatan warga pesantren, dari memasak, berlatih paduan suara, sampai memeriksakan kesehatan. Tidak ketinggalan pelbagai kegiatan rohaniah, seperti mengambil wudu, menunaikan salat, dan belajar membaca Al-Quran.
Tonny percaya penonton filmnya adalah orang-orang yang pintar dan cerdas. Mereka bisa memahami keadaan tanpa perlu harus ada orang yang berbicara karena diwawancarai. “Penonton akan dapat menyimpulkan sendiri setelah melihat filmnya,” ucap Tonny penuh keyakinan. Pendekatan observasi, menurut dia, penting karena dia juga membiarkan karakter-karakternya bermain.
Sebagai sutradara, Tonny mengaku juga telah melakukan semacam permainan. “Ada tokoh yang saya mainkan,” tuturnya. “Itulah Benny, pacarnya Nur. Dia tidak berbicara, tapi sering sekali muncul,” ujar Tonny sambil menegaskan bahwa Nur adalah tokoh utama dokumenter Under the Moonlight. Setelah begitu lama mengamati para waria, Tonny sampai pada kesimpulan bahwa kalangan waria punya kebanggaan tersendiri kalau dapat memperoleh pacar. “Entah dia benar entah tidak, yang penting seorang waria harus punya pacar,” Tonny menegaskan. Kesimpulan inilah yang diterapkannya dalam mempraktikkan pendekatan pengamatan: Benny tampil sebagai tokoh yang tidak pernah berbicara. Sejak Tonny datang, Benny tidak pernah berbicara. Dia cuma bermain telepon seluler, menonton televisi, dan makan. “Sepanjang film memang begitulah yang saya tampilkan,” ucap Tonny.
Walau demikian, tampaknya tidak semua penonton benar-benar memahami pendekatan observasi yang diterapkan dalam film ini. Setelah pertunjukan kedua, ada penonton bertanya apa yang sebenarnya terjadi pada pesantren waria Al-Fatah. Terlihat seorang anggota organisasi masyarakat berpendirian tegas bahwa ajaran Islam mengharamkan kalangan waria. Tidak jelas bagaimana para santri Al-Fatah menyikapi pendirian ini. Tidak jelas pula mengapa aparat keamanan sampai harus turun tangan. Tonny kemudian menjelaskan, para santri Al-Fatah sudah pasrah terhadap kalangan ormas yang bertekad menutup pesantren mereka. Mungkin di sinilah titik lemah metode observasi: tidak ada penegasan dari tokoh utama, karena memang pembuat dokumenter tidak mewawancarai tokoh filmnya.
Pemenang dalam setiap kategori IDFA di Amsterdam, Belanda, 17 November 2023. Dok. IDFA/Coen Dijkstra
Di balik ketidakjelasan ini, beberapa penonton Belanda merasa memperoleh informasi tambahan yang berharga setelah menonton Under the Moonlight. Martin Jansen yang selama ini merasa cemas terhadap kalangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) Indonesia merasa film dokumenter ini menggambarkan semangat kalangan minoritas Indonesia bahwa mereka tetap gigih menghadapi tantangan apa pun. Bagi Jansen, inilah kekuatan film dokumenter yang memberi penjelasan lebih rinci dan dalam dibanding siaran berita, misalnya tentang penggerebekan kalangan LGBT Indonesia.
Menurut Tonny, tampil dalam IDFA selalu menjadi impian setiap sineas pembuat film dokumenter. “IDFA cukup berpengaruh dan menjadi satu parameter untuk Eropa,” dia menambahkan. Segera diakuinya bahwa dibutuhkan energi besar untuk dapat tampil di IDFA. Menurut dia, film yang didaftarkan ke IDFA belum pernah diputar di mana pun di seluruh dunia. Sepanjang yang dia tahu, IDFA akan menolak kalau, misalnya, Under the Moonlight sudah lebih dulu diputar di Indonesia. Dengan pendirian ini, menurut dia, IDFA adalah salah satu festival yang cukup bergengsi dan disegani.
Dalam festival ini, Tonny sempat berbicara dengan beberapa produser. Mereka menyebutkan ada sejumlah festival di Eropa yang melirik filmnya. Walau belum ada kepastian, inilah makna penting IDFA. Ketika di Amsterdam berlangsung pemutaran perdana, pasti banyak kurator dan pembuat program acara dokumenter yang menyaksikannya. “Itu nanti akan menjadi jalan lanjutan film saya,” begitu harapan Tonny.
Dia punya contoh, yaitu film pertamanya, Mangga Golek Matang di Pohon, yang tampil dalam IDFA 2012. Setelah pemutaran di IDFA, butuh waktu lama sebelum video VHS yang berisi rekaman filmnya kembali. Menyusul IDFA, film pertamanya diputar di Turin, Italia, kemudian diputar di Korea Selatan dan pelbagai festival lain. “Tentu saya izinkan film itu berputar terus. Baru dua tahun kemudian rekamannya saya terima kembali,” ucap Tonny penuh kebanggaan. Tidaklah mengherankan jika IDFA selalu menjadi target utama para pembuat film.
Sekarang dia tinggal berharap film keduanya paling sedikit akan senasib, kalau tidak bernasib lebih baik dibanding film pertamanya dulu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "IDFA: Waria Yogya di Antara Sekitar 300 Film Dokumenter"