Kongres kebudayaan di Hotel Novotel itu usai sudah. Sebuah perhelatan yang menelan biaya Rp 4,2 miliar (plus prakongres di Bali dan temu budaya di 25 kota) dan menuai tudingan bahwa ini hanya kegiatan seremonial pelat merah. Banyak seniman muda di daerah tak acuh dan lebih girang meramaikan kegiatan yang didonasi sendiri seperti Biennale di Yogyakarta atau Journal Moment of Arts di Makassar.
Toh, sekitar 50 makalah dibicarakan dengan gairah. Suasana dingin Bukit Tinggi yang selama lima hari (19-23 Oktober) dibasuh hujan renyai itu, yang membuat beberapa peserta terkantuk-kantuk setelah makan siang—bahkan ditambah diskusi di komisi-komisi yang hanya dihadiri segelintir peserta—tak mengurangi semangat para pembicara.
”Kita tidak punya alasan bergembira,” demikian kalimat penutup Toeti Heraty, yang memoderatori dua pembicara pleno awal, Goenawan Mohamad dan Ignas Kleden. Pandangan Goenawan dan Ignas Kleden yang ”suram” tentang Indonesia sedari awal memang membayangi diskusi-diskusi. Bila diringkaskan, pokok pikiran keduanya adalah ”imajinasi Indonesia yang terbuka kini terancam berada pada titik nadir.”
”Tak mudah membawa Indonesia ke arah yang dibayangkan Hatta,” kata esais Goenawan Mohamad. Selama ini, kita ibarat sapu lidi, dengan berbagai keragaman komunitas di Tanah Air dipersatukan secara totaliter. Dan kini akibatnya, setelah ikatan longgar, bilah-bilah itu ”melesak” ke sana-kemari. Perlu didefinisikan kembali apakah Indonesia. Sedangkan Ignas menilai bahaya terbesar adalah nasionalisme etnis. Sosiolog ini menengarai tanda-tanda bangsa ini jatuh ke provinsialisasi. Ada gejala politik dan birokrasi yang berdasarkan identitas kedaerahan. ”Ini mengurangi terciptanya integrasi luas,” katanya.
Kongres Kebudayaan V ini—terlepas dari tidak hadirnya banyak pembicara utama, seperti Frans Magnis-Suseno, Mochtar Pabottingi, Nirwan Arsuka, I Made Bandem, dan T. Mulya Lubis—memang lain. Itu karena diadakan pas otonomi daerah dan pemekaran administratif kini problematis. Meskipun tema yang disodorkan adalah ”Konsep, Kebijakan, dan Strategi Kebudayaan Indonesia”, tak mengherankan hampir semua pemakalah menyinggung perihal potensi konflik, sehingga benang merah muncul.
Untung, di kongres ini lumayan banyak hadir peneliti daerah—yang mungkin tak terkenal di koran-koran Jakarta, tapi paham benar persoalan di daerahnya. ”Saya khawatir akan terjadi konflik generasi ketiga, Balkanisasi Indonesia,” ungkap Usman Pelly. Doktor sosiologi dari Universitas Andalas, Padang, ini memprediksi, bila otonomi daerah masih diberikan setengah hati, setelah DI/TII, lalu konflik antar-etnis, di kemudian hari akan timbul konflik akibat otonomi daerah.
Maka penting untuk menyimak pengalaman-pengalaman konkret dari lapangan. Seorang peserta bercerita bagaimana saat otonomi di daerahnya ditetapkan, seorang kepala museum langsung dicopot lantaran ia bukan ”putra daerah” asli. Tatkala Banten menjadi provinsi pada Oktober 2000, seharusnya, kisah peserta lain, 1.500 pegawai negeri Jawa Barat diterima, tapi hanya 200 orang yang lolos lantaran kriteria asli Banten. ”Dua puluh tahun lalu saya meneliti di Gayo, Aceh. Orang sana menyapa orang luar dengan sebutan ’kita’, seperti ’orang kita Bugis’, ’orang kita Padang’. Sekarang kata ’kita’ itu tak ada,” kata Mukhlis Paeni, bekas Kepala Arsip Nasional Jakarta.
Sesi yang mengesankan adalah ketika wakil-wakil dari daerah konflik Aceh, Poso, Papua, Maluku, dan Kalimantan bertemu. Sampai orang dari dunia industri pop seperti Arswendo Atmowiloto merasa terharu. Mereka membeberkan segala hal—kesamaan dan perbedaan dan munculnya pertumpahan darah. Mungkin pertama kalinya ada forum semacam ini. Waktu dua jam untuk diskusi terasa tidak cukup. Seharusnya dipikirkan untuk ditindaklanjuti dengan forum yang lebih luas.
Semua wakil sepakat, pendekatan budaya paling ampuh untuk memulihkan pertikaian. ”Di Maluku ada masohi, adat untuk saling membantu. Misalnya, bila kita panen cengkeh, fam lain bahkan dari Buton membantu memetik,” tutur Dr. Piet Tanamal, pengajar Universitas Kristen Maluku. Tiap-tiap daerah memiliki tradisi penyelesaian konflik seperti pella gandong di Maluku atau sintuwumaroso di Poso. Tapi pendekatan budaya justru sering salah dimengerti oleh militer setempat. ”Sangat sempit, bayangkan, mereka kirim penyanyi dangdut untuk menghibur. Itu yang dianggap solusi budaya,” kata H. Sofyan, utusan dari Sulawesi Tengah. ”Di Papua malah masih terjadi operasi koteka. Yang memakai koteka ditangkapi,” ujar pembicara dari Papua.
Dalam hampir semua diskusi di komisi terjadi ”tarik tambang” antara mengangkat dan menolak ”nativisme”. Dari jalur sastra, penyair Zamawi Imron menekankan perlunya memopulerkan sastra kepulauan. Dari jalur antropologi, Dr. Hedy Sri Ahimsa, antropolog Universitas Gadjah Mada, mengusulkan etnoteknologi. Setiap masyarakat, menurut dia, memiliki perangkat pengetahuan sendiri-sendiri. ”Di Papua, misalnya, terdapat sistem klasifikasi tanah dan ketela yang rumit luar biasa. Mereka tahu mana tanah yang cocok ditanam ketela untuk manusia atau babi,” katanya.
Pengetahuan-pengetahuan ini penting dipahami agar tidak sembarangan pemerintah melakukan pembangunan. Pemerintah dengan bantuan ilmuwan sosial bisa memodernisasi pengetahuan itu dan menerapkannya di wilayah lain. ”Ini membutuhkan kerja keras karena sistem klasifikasi tersimpan dalam bahasa daerah,” kata Ahimsa. Dalam hal ini, Taufik Rahzen memberikan usul agar kementerian kebudayaan digabungkan dengan lingkungan, seperti yang terjadi di Denmark atau Swedia. ”Justru negara-negara Skandinavia bertolak dari penelitian antropolog Gregory Bateson yang berdasarkan konsep ekologi tradisional Bali dan Papua.”
Dari jalur hukum, Miranda Risang Ayu, mantan penari yang menjadi ahli hukum, dengan lantang berbicara tentang hak cipta komunal. Banyak motif atau elemen gerak tradisi kita yang diambil untuk kegiatan bisnis. ”Kita harus punya undang-undang sui generis untuk melindungi karya komunal,” katanya artikulatif. Pendapat ini didukung oleh koreografer I Wayan Dibia. ”Semua karya tradisi itu komunal. Barong itu, misalnya, kepala, tubuh, dan urusan penghiasannya dibuat oleh seniman yang berbeda-beda,” katanya. Dibia gerah melihat banyak peneliti asing mengkaji warisan lokal dan selanjutnya meninggalkannya begitu saja—tanpa kelangsungan pemeliharaan bagi masyarakat yang memiliki tradisi itu.
Sutradara Teater Koma, Riantiarno, menceritakan pengalamannya berkunjung ke Watublapi, 20 kilometer dari Maumere, Flores. ”Kami disambut pemuda lokal yang fasih bahasa Inggris dan Belanda, tarian dan tetabuhan, dan untaian daun kelapa muda yang disentuhkan ke pundak. Kami lalu dipersilakan mengisap rokok daun nipah tanda persahabatan.” Itu, menurut dia, menandakan industri dalam skala sederhana dapat dilaksanakan. Justru pemerintah tak terlihat serius. ”Di kantor pemerintahan daerah rata-rata peta setempat yang lengkap saja tidak ada,” kata dramawan yang baru pulang mengelilingi wilayah terpencil di seluruh Indonesia itu.
Hasil kongres ini boleh jadi tidak terlalu ”maju” dibandingkan dengan kongres-kongres sebelumnya (lihat Mengenang Perjalanan Kapal Op ten Noort). Kongres ini menghasilkan 18 rekomendasi. Beberapa poinnya bahkan meminta pemerintah menindak pelaku masalah narkoba, nikotin, dan pornografi hingga membuat beberapa wartawan terkekeh: ”Busyet, rekomendasi kongres kok kayak wejangan MUI (Majelis Ulama Indonesia).” Namun banyak percikan pikiran yang penting.
Syukur-syukur yang penting itu dapat berujung konkret. Misalnya akan makin banyak kelak timbul yayasan filantropi kebudayaan yang tak mengandalkan anggaran negara, seperti diusulkan Nyoman Nuarta dan Eka Budianta. Jangan jauh-jauh membayangkan seperti di Singapura, yang teaternya disubsidi oleh pemerintah setahun S$ 5 juta, hingga sebuah grup mampu mendirikan sekolah performing art yang dosen dan mahasiswanya direkrut dari seluruh dunia, atau bahkan membiayai seniman dari negara ASEAN, termasuk Indonesia, untuk berkeliling Asia. Dibandingkan dengan mereka, istilah Putu Wijaya, ”Seniman kita seperti PRT (pembantu rumah tangga), harus berpeluh keringat.”
Juga masih jauh dari harapan Garin Nugroho, orang film yang membayangkan pemerintah berani memiliki strategi kebudayaan seperti di Prancis: 85 persen dana untuk keberlangsungan museum, film, acara televisi alternatif, bahkan komunitas budaya diambil dari pajak film-film Hollywood yang masuk ke Prancis. Ini membuat seorang ibu peserta asal Papua, dengan suara bergetar, membayangkan bahwa bila itu terjadi di Indonesia, ia akan dapat melihat banyak aktor asal Papua di televisi—seperti telah dimulai Garin dalam film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja. Semua itu—termasuk ide Pusat Kebudayaan (digulirkan Taufik Rahzen) yang tak dimasukkan ke dalam rekomendasi, layak direnungkan.
Di Bukit Tinggi, di sela-sela jadwal kongres yang padat dan debat-debat kecil (plus gerundelan) di luar sidang, para peserta menyempatkan waktu ke Jam Gadang—yang terus berdentang lirih setiap satu jam—ke Ngarai Sianok, yang pada 1950-an sering dilukis perupa Wakidi, atau hujan-hujan naik andong ke rumah kelahiran Bung Hatta, dan pada malam penutupan berkumpul sembari kedinginan di Benteng Fort de Kock, ”menyikat” sate Mak Syukur, sate terkenal dari Padang Panjang, yang kuahnya gurih minta ampun. Semua itu seolah janji kepada sang Proklamator untuk tidak—istilah seorang peserta kongres—turut memerosokkan bangsa ini menjadi kerakap yang tumbuh di atas batu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini