Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebuah galeri di angan-angan

Sebelas seniman mengundurkan diri dari kepenguru- san yasri, pengelola galeri "jakarta institute of arts". ada kesenjangan persepsi antara para seni- man dan para pendiri.masih dicari jalan keluarnya.

31 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yayasan Seni Rupa Indonesia, yang bercita-cita membangun galeri nasional sebagai pusat seni rupa Indonesia, mengalami keretakan. Sebelas seniman pengelola mengundurkan diri. MIMPI indah itu mendadak jadi mimpi buruk. Begitulah nasib angan-angan membangun sebuah galeri nasional yang dirancang sejak Oktober tahun lalu -- dan kini lumer. Sebelas seniman mengundurkan diri dari kepengurusan Yayasan Seni Rupa Indonesia (Yasri), yang akan mengelola galeri nasional yang kelak disebut Jakarta Institute of Arts itu, pertengahan Agustus lalu. Mereka, antara lain, pematung G. Sidharta, Jim Supangkat, kritikus Sanento Yuliman, pelukis Mochtar Apin. Sarana seni rupa ideal itu rencananya dibangun di lahan 1,4 ha di Cipete, Jakarta Selatan, dengan arsitektur taman. Dengan biaya yang dianggarkan Rp 7 milyar, pusat seni rupa ini terdiri dari dua bangunan utama: museum dua tingkat seluas 7.000 meter persegi, dan sarana penunjang seluas 5.000 meter persegi. Maket bangunan itu sendiri sudah ada. Alasan para seniman yang mundur seperti tercantum dalam surat pernyataan mereka -- adalah ada kesenjangan persepsi antara para seniman dan para pendiri Yasri. Selain itu, tidak ada keserasian dalam membentuk kerja sama yang memungkinkan terjadinya keseimbangan antara kepentingan seni rupa dan kepentingan pengelolaan dana. Para seniman rupanya terhenyak mendapati dirinya bukan sebagai pendiri Yasri. Yang duduk sebagai pendiri -- sebagaimana tercantum dalam akta notaris -- ialah Gilbert Wiryadinata, istri, dan dua anaknya. Sedang para seniman sebagai pengelola atau pengurus, yang dalam ketentuan bisa diangkat dan diberhentikan oleh pendiri. Rupanya, para seniman -- biasanya tidak peduli masalah organisasi dan administrasi -- sejak semula tidak mempelajari naskah akta Yasri. Di depan notaris, mereka membubuhkan tanda tangan dengan hati bersih tanpa prasangka buruk. Dengan polos mereka beranggapan bahwa yayasan adalah milik masyarakat, bukan milik perorangan. Inilah rupanya awal salah-kaprah. Siapakah Gilbert? Ia adalah salah seorang kolektor lukisan, memiliki 800 lukisan, di antaranya 60 buah dipajang di kantornya, PT Insal Utama. Ada karya Hendra, Affandi, Le Mayeur. Ia mengaku sejak masih SMA sudah punya galeri. Bahkan ketika itu ia juga sudah "belajar" mengadu untung dengan mengekspor lukisan-lukisan murahan, misamya ke Hong Kong. Lukisan seharga Rp 10.000, misalnya, ia ekspor dengan harga Rp 17.500. Dengan latar belakang kolektor dan pedagang seperti itu, Gil- bert bertemu dengan para seniman. Dan lahirlah gagasan mendirikan Jakarta Institute of Arts. Gilbert sebagai penyandang dana, sementara kelompok seniman tadi sebagai pelaksana dan pengelola. Sebagai pemilik barang, Gilbert tentu saja berusaha mengamankan harta bendanya. "Biar bagaimanapun, terus-terang, ini barang saya," ujar Gilbert, yang untuk keperluan galeri nasional ini membeli tanah di Cipete itu. Menurut Gilbert, bila kelak sarana budaya ideal itu terwujud, haruslah ditunjang dan disubsidi oleh sebuah usaha bisnis. Untuk maksud itu, didirikanlah PT Pramana, dengan direktur utama G. Sidharta, sedang Jim Supangkat sebagai direktur sementara Gilbert sebagai komisaris utama. Ketika membentuk PT itu, Gilbert memang mengajak mereka jangan melupakan sisi komersial. Misalnya dengan menyewakan lukisan-lukisan kepada para konglomerat dan bankir. Sementara itu, Sidharta menyatakan ada perbedaan yang mendasar antara Gilbert yang terkesan menginginkan keuntungan komersial dan para seniman yang berharap agar sarana itu, maksudnya Yasri, jangan semata-mata sebagai ajang bisnis. "Gagasan mendirikan galeri nasional membutuhkan kesabaran dan waktu panjang, 5 sampai 10 tahun, baru bisa dinikmati hasilnya," kata Sidharta. Menurut pematung yang tadinya ditunjuk sebagai ketua Yasri itu, tuntutan untuk lebih cepat memperoleh untung secara eksplisit memang tak ada, tapi ada tuntutan agar setiap program menghasilkan uang. "Padahal, program saya lebih banyak bersifat apresiasi, bukan berorientasi pada laku tidaknya lukisan," ujar Sidharta kepada Dwiyanto Rudi dari TEMPO. Tapi, kata Gilbert, sebenarnya Yasri itu sendiri belum jalan. Yang sudah berjalan adalah PT Pramana, yang menjalankan bisnis untuk menyubsidi Yasri. Usahanya antara lain membiayai penerbitan sejarah seni rupa Indonesia. Adapun galeri yang selama ini berjalan juga merupakan galeri PT Pramana, bukan Yasri. Dan sebagai usaha dari sebuah PT, kata Gilbert, "seharusnya, ya, komersial, dong." Artinya, beda dengan kegiatan Yasri kelak yang nonkomersial. Jim Supangkat, bekas koordinator Yasri, bukannya tak tahu peranan PT Pramana. Cuma yang ia kehendaki ialah agar perusahaan itu tidak hanya semata-mata berdagang komoditi. "Social commitment-nya harus besar. Nggak bisa segalanya dikerjakan harus demi uang. Kita tidak bisa membeli lukisan semurah-murahnya lantas dijual semahal-mahalnya," kata Jim. Kedua belah pihak tetap bertahan. Gilbert akan jalan terus meski kesebelas seniman sudah mundur. Sebaliknya, para seniman yang mundur pun masih berupaya mencari jalan keluar untuk mewujudkan gagasan membangun pusat seni rupa Indonesia. "Kami ingin bekerja sama dengan seseorang dengan kedudukan yang sama sebagai partner. Jadi, kedudukan seniman bukanlah sebagai pekerja untuk orang yang punya dana," kata Jim. Walhasil, kasus ini agaknya memerlukan mediator yang sabar, arif, dan penuh pengertian. Sebab, semua orang tahu, baik penyandang dana maupun seniman sama-sama diperlukan. Ataukah angan-angan itu terlalu muluk? Budiman S. Hartoyo, Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus