Kemudahan untuk tampil dan promosi di Indonesia membuat lagu-lagu Malaysia laku dan membanjiri pasaran di sini. Sebaliknya, penyanyi Indonesia sulit tampil di TV Malaysia. MUSIK dan lagu-lagu Malaysia semakin menjadi anak emas di Indonesia. Di toko-toko kaset, di radio-radio, bahkan di TVRI, lagu dari negeri jiran ini terus berkumandang. Sukses itu dimulai ketika tiga tahun silam lagu Isabella dari Grup Search melejit. Kini, hampir setiap hari ada saja penyanyi atau grup musik Malaysia yang show di sini. Yang terakhir menggebrak pasar, lagu Suci dalam Debu dari kelompok Iklim. Dalam tempo sekitar tujuh bulan, menurut Hartono Hendra, bos Akurama Records -- pemegang hak cipta dan peredaran Suci di Indonesia -- kaset lagu ini terjual sekitar 300 ribu. Sebelumnya, Cinta Kita dari Amy Search (vokalis Isabella) bernasib baik pula, laris 360 ribu kopi. Di negeri asalnya, Cinta Kita diedarkan dengan judul Fantasia Bulan Madu empat tahun lalu dan laku 200 ribu kaset. Larisnya lagu-lagu ini jauh melampaui pasaran lagu pop standar yang dinyanyikan biduan dalam negeri macam Nia Daniati atau Betharia Sonata. Kunci sukses pemasaran itu adalah promosi yang dilakukan Akurama lewat TVRI, televisi swasta, dan radio. "Totalnya, kami sudah keluar Rp 80 juta untuk promosi," kata Hartono. Namun, inilah yang kemudian terjadi. Lagu Suci yang juga lagu terpopuler di Malaysia tahun lalu dibajak dan diedarkan oleh perusahaan rekaman lain. Awal Agustus lalu, Akurama, lewat Pengacara O.C. Kaligis, melemparkan somasi (peringatan) pada dua perusahaan, Blackboard dan Atlantic, yang mengedarkan Suci itu. Kaligis pun siap memperkarakan ke pengadilan bila peringatan untuk menarik kaset lagu bajakan itu tak diindahkan. Rupanya, untuk Indonesia, jiplak-menjiplak atau bajak-membajak masih menjadi tradisi kendati Undang-Undang Hak Cipta (1987) memberi ancaman hukuman tinggi bagi pembajak. Di Malaysia sendiri, menurut Salem (vokalis Suci), bajak-membajak itu tak pernah ada. Paling hanya peniruan kecil. "Pilu hati ini tak terkirakan," kata Salem, 28 tahun, tentang nasib lagunya itu di Indonesia. Namun, kenapa lagu Malaysia begitu digemari di sini? Menurut pimpinan Musica, Senjaya Wijaya, lagu Malaysia hadir pada waktu yang tepat. Yaitu pada saat lagu pop Indonesia ditendang karena cap cengeng. Ingat kan tragedi Hati yang Luka yang dilarang muncul di TVRI? Nah, celah kosong ini sempat diisi oleh lagu yang lebih bersemangat, musik cadas Nicky Astria, Harry Mukti, dan sejumlah rocker lainnya. Perubahan dari jenis ratapan ke musik keras itu agaknya terlalu drastis. Tiba-tiba Malaysia menawarkan alternatif yang lain. Senjaya menyebutnya sebagai rock balada. Meskipun pengamat musik Remy Sylado menyebut lagu-lagu itu jauh dari sebutan rock, lagu dari negeri serumpun itu disambut baik oleh publik di Tanah Air. Bagi produser dalam negeri, ternyata mengedarkan lagu dari negeri jiran itu menguntungkan. Lebih murah daripada memproduksi sendiri. "Kalau beli master, kan sudah jadi, terima bersih," kata Senjaya. Lagi pula, kebanyakan pengusaha lagu Malaysia oke dengan sistem pembayaran royalti dalam peredaran kaset-kasetnya. "Laku baru bayar," kata Senjaya lagi. Sebagai contoh, untuk lagu Suci yang harga per kaset Rp 3.500, Akurama menyisihkan royalti Rp 600. (Namun, menurut penjual master Suci, Prinserve Trading House Malaysia, mereka hanya dapat Rp 250). Keuntungan lain, pihak Malaysia bersedia menanggung biaya promosi. Selain master lagunya murah, lagu Malaysia mendapat kesempatan yang sama untuk berpromosi di TVRI. Padahal, konon penyanyi kita harus melewati berbagai instansi untuk tampil di televisi Malaysia. Soal mudahnya mereka tampil di TVRI, kata Direktur Televisi Ishadi, karena hubungan baik TVRI dengan Malaysia. "Jadi, kalau kita mau meluaskan pasaran ke Malaysia, boleh dong mereka meluaskan juga pasaran ke sini," kata Ishadi. Sebaliknya, menurut sumber di Kementerian Penerangan Malaysia penyanyi kita diharuskan melapor ke Imigrasi sebelum muncul di TV Malaysia semata-mata karena UU Keimigrasian. Isinya mengharuskan profesional mana pun melapor bila melakukan pekerjaan yang menghasilkan uang di negeri itu. Termasuk kalau mendapat honor menyanyi di TV. Di sini aturan itu tak ada. Apa komentar produser Malaysia? "Lakunya lagu-lagu rock Malaysia di Indonesia, suatu hal yang positif, dan bisa membangkitkan lagu rock Indonesia yang mulai lesu," kata Aziz Bakar, direktur promosi BMG Pacific. Ia menghitung ada 30 sampai 40 album yang telah diekspor ke Indonesia. Menurut Musica, mereka membuat perjanjian timbal balik dengan pihak produser Malaysia itu. Tiap lagu Malaysia beredar di sini ditukar dengan album penyanyi lokal untuk dipasarkan di Malaysia. Sayang, kalau kita kurang laku di sana. Musikus A. Riyanto melihat kecenderungan lagu Malaysia ini hanya salah satu contoh bagaimana berkuasanya produser rekaman musik di Indonesia yang bermarkas di Glodok. "Selera musik pasar kita diatur oleh mereka," kata Riyanto. Itu pula sebabnya, menurut Riyanto, lagu pop standar dalam negeri saat ini pingsan. Soalnya, "Tidak diberi kesempatan dan dilecehkan," katanya. Jadi, kalau lagu dangdut yang dianggap laris oleh produser, dangdutlah yang menguasai pasaran. Kalau lagu Malaysia yang laris, ya, diproduksilah lagu Malaysia sebanyak-banyaknya. Masyarakat bakal tak punya pilihan. "Besok kalau produser bilang lagu gambus yang ngetrend, gambuslah...," kata Riyanto lagi. Bunga Surawijaya, Bambang Sujatmoko (Jakarta), dan Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini