Dana Inpres kini dipercantik dengan dana ekstra yang ditentukan menurut luas daerah tingkat I. Bagaimana agar daerah bisa lebih berperan? KENDATI kecil, dana Inpres telah berjasa besar merintis jalan ke arah pemerataan ekonomi. Kalau hanya mengandalkan DIP, mungkin wajah pemerataan di negeri ini lebih tak keruan. Bukankah efektivitas DIP banyak terganggu oleh birokrasi dan urusan administrasi sehingga dalam pencairan dananya sering tidak sinkron dengan perencanaan proyek di daerah? Sebaliknya dengan Inpres. Bekas Menko Ekuin Ali Wardhana pernah mengatakan, semua bentuk Inpres mempunyai dampak yang besar terhadap aspek sosial dan politik. Sementara itu, Bappenas terus berusaha memantapkan program Inpres, agar tercipta pertumbuhan antardaerah yang serasi. Maka, lampiran Pidato Kenegaraan Pak Harto di DPR, 16 Agustus lalu, perlu kita tengok lagi, khususnya yang menyangkut pelaksanaan Inpres. Kalau berdasarkan jumlah rupiah yang dikucurkan ke daerah tampaknya memang ada kemajuan. Sejak tahun fiskal 1990/1991, dana itu ternyata sudah tidak lagi sama rata sama rasa, yakni Rp 12 milyar per provinsi. Memang, dana Inpres yang seragam itu sempat merisaukan para ekonom. Apalagi ketika membaca alasan yang dikemukakan untuk keseragaman itu, yang antara lain berbunyi, "Daerah tingkat I memperoleh kesempatan dan perlakuan yang sama untuk dapat melaksanakan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi masing-masing." Sepintas, kita segera bisa mempertanyakan, bagaimana mustahilnya menyeragamkan dana pembangunan untuk Irian Jaya dan DKI Jakarta, misalnya. Namun, kemustahilan itu toh terjadi juga. Barulah pada tahun kedua Repelita V, dan sesuai dengan APBN 1990/1991, dana bantuan pembangunan daerah tingkat I menunjukkan perubahan yang menggembirakan. Kendati jatahnya tetap sama -- Rp 14 milyar per provinsi (naik Rp 2 milyar) masih ditambab dana ekstra yang jumlahnya diperhitungkan berdasarkan luas daratan wilayah masing-masing. Hal itu tercantum dalam lampiran Pidato Kenegaraan Presiden, 16 Agustus silam. Dengan demikian, realisasi bantuan untuk DKI Jakarta, misalnya, menjadi Rp 14,03 milyar, sedangkan untuk Irian Jaya lebih besar, yakni Rp 37,2 milyar. Inpres untuk Ir- Ja ini memang yang terbesar dibandingkan daerah tingkat I lainnya. Kucuran dana yang lebih deras untuk Irian Jaya ini secara relatif mendekati cita-cita pemerataan. Sekwilda Irian Jaya Sarwoto Kertodipuro, dalam pembicaraan per telepon dengan wartawan TEMPO Indrawan, antara lain menuturkan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Irian Jaya relatif kecil. Kendati kaya dengan hasil tambang, kayu, dan ikan, semua itu tak mengucur ke kas daerah hingga tentu tak bisa dimanfaatkan untuk keperluan provinsi itu. Soalnya, dana dari sumber alam yang sudah dieksploitasi di sana terkategori sebagai pendapatan nasional. Itu berarti, dana harus lebih dahulu masuk ke kas pemerintah pusat. Baru dari sini, dana itu dikembalikan ke Irian Jaya melalui APBN. "Kalau bantuan Inpres buat kami kemudian menjadi lebih besar, tentunya wajar," kata Sarwoto. Apalagi karena kondisi masyarakatnya tertinggal dan keadaan wilayahnya (topografis dan geografis) masih memerlukan investasi besar. Kondisi jalan di provinsi paling timur itu, misalnya, konon masih seperti kondisi di Jawa pada tahun 1805, terutama yang di luar kotakota besar seperti Jayapura, Biak, Manokwari. Namun, realisasi pemakaian dana pembangunan di Irian Jaya masih sedikit di bawah 100%, yakni 98%. Sekalipun begitu, realisasi itu sudah sangat bagus. Tak heran bila jumlah kontraktor di sana, yang semula hanya 14 perusahaan tipe A, sekarang bertambah menjadi 31 perusahaan tipe A. Namun, kebijaksanaan untuk menentukan jumlah dana Inpres yang didasarkan pada luas daratan tersebut, dalam beberapa kasus, masih menunjukkan kelemahan. Misalnya Kabupaten Kepulauan Riau, yang luas daratannya tentu tidak akan lebih lebar dari Sumatera Selatan. Sejajar dengan itu, realisasi dana Inpres di sana pada 1990/1991 Rp 19,2 milyar. Itu berarti kurang Rp 800 juta dari dana Inpres untuk Sumatera Selatan, yang jumlahnya Rp 20 milyar. Padahal, potensi ekonomis Kepulauan Riau masih bisa dikembangkan dan belum tentu lebih rendah dari provinsi lain. Kelemahan seperti itu, menurut pakar ekonomi pembangunan Iwan Jaya Azis, sebenarnya bisa diatasi. "Luas daratan seharusnya bukan satu-satunya kriteria yang dipakai karena pertimbangan yang tepat seharusnya berdasarkan pada faktor kebutuhan dan kemampuan masing-masing," katanya. Gagasan Iwan ini tentulah sangat ideal, tetapi dalam pelaksanaannya akan tidak mudah dan memerlukan perhitungan yang teliti. "Namun, kalau hanya menggunakan kriteria luas daratan, alokasi antardaerah akan tetap tidak optimal," tutur Iwan, yang sebagai ekonom sering ditanya pendapatnya oleh pejabat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dari beberapa provinsi. Dalam hal ini, selain dana Inpres perlu ditambah, alokasinya juga perlu dirancang dengan cermat. Selain itu, tampaknya masih ada alternatif lain untuk meningkatkan efektivitas pembangunan, yakni dengan membuka ruang gerak untuk pemerintah daerah. Ada yang menafsirkan hal ini sebagai otonomi yang lebih luas bagi daerah, ada yang secara positif melihatnya sebagai kesediaan Pusat untuk membiarkan pemerintah daerah lebih berperan dalam membangun daerahnya. Caranya? Salah satu cara, misalnya, dengan memberi kepercayayan kepada aparat pemerintah daerah untuk bernegosiasi dengan investor swasta yang berminat menanamkan modal di daerah mereka. Menurut Iwan, belakangan ini investasi swasta ke luar Jawa (khususnya yang berskala besar) cenderung meningkat. Para investor itu terdorong untuk memanfaatkan keunggulan komparatif alamiah (sumber daya alam dan tenaga kerja murah), peluang oleh pelbagai deregulasi, dan intervensi positif berupa kemudahan yang dilimpahkan untuk daerah tertentu (seperti di Batam dan Bintan). Dalam situasi itu, para pejabat daerah diharapkan bisa bersikap konsisten, umpamanya untuk menentukan prasyarat agar investor memanfaatkan potensi daerah semaksimal mungkin, terutama di bidang tenaga kerja. Kalau tenaga kerja lokal itu keterampilannya kurang memadai, investor wajib melatihnya. Dengan demikian, pemda memiliki peran menyebarkan kemakmuran riil kepada warganya karena sebagian pendapatan dari kegiatan investasi itu dinikmati masyarakat setempat. "Jangan sampai pemda sudah puas hanya karena ada peningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di daerahnya, akibat kegiatan investasi swasta itu. Tapi masyarakatnya tidak ikut menikmati," kata Iwan. Dikatakannya juga, para pejabat Bappeda memang perlu dilatih untuk mampu mengaitkan investasi swasta di daerahnya dengan kepentingan peningkatan kemakmuran warganya. Gagasan Iwan Jaya itu barangkali hanya bisa dilaksanakan di daerah-daerah yang terbebas dari sistem otorita. Untuk Batam dan Pulau Bintan, misalnya, menurut sumber TEMPO di Riau, pemerintah setempat sama sekali tak bisa berperan karena segalanya diatur dari Jakarta. Bahkan, ketika warga Bintan tergusur dari lahannya, dengan ganti rugi hanya Rp 200 (dua ratus rupiah) per meter persegi dan tak ada kesempatan bekerja di lokasi kawasan industri yang dinyatakan bernilai tinggi itu, aparat setempat tak mampu menolong. Kalau tak salah, jumlah mereka yang tergusur meliputi lebih dari 2.000 keluarga. Jika ini benar, kelak akan sulit menampilkan wajah pembangunan yang ramah ke daerah-daerah. Juga, akan sia-sia untuk bicara tentang pemerataan. Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini