Australia melancarkan tuduhan dumping terhadap dua komodoti ekspor Indonesia. Adakah ini semata-mata proteksi negara maju, atau produk Indonesia memang sangat kompetitif? Atau ada sebab lain? DUMPING. Kata yang ditakuti eksportir Indonesia ini tiba-tiba muncul kembali. Bukan karena Workshop on Anti-Dumping Issues di Hotel Sahid Jaya Jumat pekan lalu. Jauh sebelum itu, sekitar Mei-Juli silam, pemerintah Australia tiba-tiba menuduh Indonesia melakukan dumping. Tuduhan itu mengejutkan, apalagi kalau mengingat dalam perdagangannya dengan Indonesia, Australia mencatat neraca yang surplus. Tapi rupanya dengan itu bukan berarti dumping tidak akan digubris. Menurut sumber TEMPO, accu merk Yuasa dan buku tulis yang dibuat PT Lokomotif Eka Sakti telah dijual secara murah ke Australia. Tuduhan terhadap accu Yuasa, kabarnya, tinggal menunggu keputusan Menteri Perdagangan Australia. Jika diterima, akibatnya mengerikan. Ekspor accu ke negara kanguru itu mungkin bisa dikenakan tarif bea masuk yang tinggi atau kuotanya dicabut. Sedangkan untuk buku tulis, "ancamannya" agak ringan. PT Lokomotif hanya harus menjawab serangkaian pertanyaan yang mesti dikembalikan 19 Agustus lalu. Perang dagang ini -- kalau boleh disebut demikian -- disulut oleh Pacific Dunlop, perusahaan Australia yang memproduksi accu GNB. Pihak Dunlop, Mei 1990, telah mengadukan Yuasa kepada Bea Cukai Australia. Namun, dalam laporannya Oktober tahun lalu, Bea Cukai Asutralia menolak pengaduan itu. Tapi, berdasarkan data baru dari ADA (Anti-Dumping Authority), pihak Bea Cukai melakukan pemeriksaan ulang, dan kemudian membenarkan tuduhan Dunlop. ADA sendiri telah meminta agar Yuasa dikenai anti-dumping duty. "Tidak banyak yang bisa dilakukan, karena tinggal menunggu keputusan Menteri Perdagangan," ujar sumber tadi. Lain lagi kisah PT Lokomotif, yang baru masuk ke pasar Australia beberapa bulan lalu. Sebenarnya, belum sempat berbuat apa-apa, tapi sudah diadukan oleh Spicer Paper Ltd. yang bermarkas di Melbourne. Hanya, belum jelas apa alasannya. "Tiba-tiba saja petugas Bea Cukai di sana menyerahkan serangkaian pertanyaan," ujar managing director PT Lokomotif, Wiliam Sukarsa. Selain harga produk Indonesia lebih murah, tingkat pengangguran yang cukup tinggi (9,3%), serta nilai dolar Australia yang menurun bisa memudahkan siapa saja untuk menuduh dumping. Setidaknya, dijadikan perisai yang ampuh bagi Australia untuk melindungi produk-produknya. Tapi tuduhan Australia dibantah oleh Yuasa dan Lokomotif. Menurut sumber di Yuasa, tuduhan itu terlalu dibuat-buat. "Terang dong harganya lebih murah 15%. Sebab, kami menjual ke pembeli di sana dengan harga pabrik," ujarnya. Maksudnya, harga Yuasa di Australia bisa lebih murah daripada harga di sini karena tidak dibebani biaya pemasaran, seperti biaya distribusi dan iklan. Akibat tuduhan tersebut, kini Yuasa dikenai bea masuk tambahan 29% dari harga barang. Tapi, anehnya, Korea Selatan yang juga dituduh dumping hanya dikenai 15%. Sedangkan Malaysia sama sekali tidak dikenai bea tambahan. "Soalnya, Malaysia mengancam akan membalas," ujarnya. Hal serupa dikatakan Wiliam Sukarsa. Katanya, produk dari Indonesia bisa lebih murah karena ongkosnya juga murah. Untuk upah pabrik, buruh Indonesia masih bisa digaji Rp 2.500, sedangkan di Australia rata-rata Rp 15 ribu per jam. Karena harga yang sangat murah, tak mengherankan kalau dalam beberapa bulan saja Indonesia sudah menguasai 60% pasar alat-alat tulis -- sebagian besar dikuasai Indah Kiat, yang justru tidak terkena tuduhan dumping. Tapi, benarkah Indonesia melakukan dumping? Dua petugas Bea Cukai Australia yang sedang berada di Indonesia mengakui bahwa kedatangan mereka ke sini tidak sekadar menghadiri lokakarya, tapi juga berkaitan dengan dumping yang, katanya, dilakukan oleh eksportir Indonesia. Hanya saja, keduanya tidak bersedia berkomentar mengenai tuduhan yang menimpa Lokomotif dan Yuasa. "Saya tidak berwenang untuk memberi keterangan kepada pers," ujar Michael Henry, asisten dari Australia Custom Service. Namun, sebelum pergi, Henry sempat berbisik kepada TEMPO, "Produk kimia dan alat-alat tulis Indonesia, paling mengancam." Terlepas dari musibah yang menimpa Lokomotif dan Yuasa, memang ada dugaan bahwa tuduhan dumping sering hanya merupakan proteksi terselubung dari negara-negara maju untuk melindungi produk mereka yang kurang mampu bersaing. Dalam menentukan harga normal, misalnya, mereka sering memakai sistem yang kurang menguntungkan importir. Hal ini pernah dialami PT Tyfoutex Indonesia. Menurut Suwatna dari Tyfoutex, ketika dituduh dumping empat tahun lalu, ME (Masyarakat Eropa) telah menetapkan harga normal secara tidak fair. Katanya, ME menghitung biaya produksi berdasarkan harga yang berlaku tahun 1988. Sementara itu, dumping yang dituduhkan ME kepada Tyfoutex terjadi tahun 1987. Jelas, penetapan seperti ini sangat merugikan si importir. Misalnya soal kapas, selama jangka waktu setahun, harganya telah naik sampai 30%. Menteri Muda Perdagangan Soedradjad Djiwandono, dalam lokakarya di Hotel Sahid pekan lalu, membenarkan bahwa ada kecenderungan dari negara maju untuk menghambat kegiatan perdagangan negara berkembang. Proteksi yang dilakukan oleh mereka memang tidak hanya terbatas pada tudingan dumping saja. Mereka juga menggunakan cara lain, umpamanya "super 301" dari Amerika. Dikatakan pula oleh Soedradjad bahwa selama delapan tahun terakhir, tak kurang dari dua ribu tuduhan dumping dilontarkan terhadap negara berkembang. Sebagian besar tuduhan itu datangnya dari MEE, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Oleh karena itu, pengusaha kita perlu tanggap dengan praktek-praktek seperti itu. "Paling tidak, mengetahui aturan perdagangan internasional, termasuk aturan GATT yang memuat soal dumping," kata Soedradjad lagi. Soal kurang tanggap itu diakui oleh bekas Dirjen Perdagangan Luar Negeri Paian Nainggolan. Ia memberi contoh ketika denim kita dituduh melakukan dumping. Menurut Paian, banyak eksportir yang kurang menangkap bunyi pertanyaan yang diajukan kepada mereka. "Mengirimkan jawaban pun salah. Ya, Pemerintah juga yang turun. Padahal, soal dumping ini kan masalah pribadi dengan pribadi," ujar Paian. Lalu, bagaimana seharusnya "tanggapan" Indonesia atas tuduhan dumping Australia? "Mereka harus melakukan pendekatan pribadi terhadap tim penyidik dari Australia," ujar Dirjen Perdagangan Luar Negeri K. Algamar. Namun, cepat-cepat ditambahkannya, karena tuduhan dumping semakin gencar, saat ini, Pemerintah sedang mempersiapkan tim khusus yang disebut Tim Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional. Tim yang terdiri atas 11 orang ini akan diresmikan September depan. "Mereka dilatih selama enam bulan di GATT," katanya. Bambang Aji, Ivan Haris, dan Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini