Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di atas genteng sebuah rumah di kawasan itu, dua anak keturunan Tionghoa asyik bercanda. Satu anak tampak memegang buku. Di bawahnya, rombongan grup marawis rancak melintas. Suaranya memecah langit sore itu. Kedua anak itu kontan menghentikan candanya, perlahan-lahan mereka melongok grup kesenian bernuansa Arab itu.
Di bagian lain di lorong jalan itu, seorang anak lainnya tampak asyik membantu mengecat tembok. Tanpa sengaja, anak bertubuh tambun itu menyenggol ember cat. Tumpah. Takut dimarahi pemiliknya, anak itu pun lari. Sang pemilik cat mengejarnya. Kedua anak yang berada di atas bubungan menyaksikan adegan itu. Mereka sontak turun dan berusaha membantu temannya yang tambun itu agar lolos dari kejaran. Ketiganya lari sekencang-kencangnya sehingga nyaris menabrak grup marawis. Sampai-sampai, buku yang dipegang salah seorang anak itu terjatuh.
Adegan itu menjadi pembuka film Gie arahan sutradara Riri Riza. Dan anak yang bukunya terjatuh saat berniat membantu temannya itu adalah Soe Hok Gie, tokoh utama dalam film itu. Ya, peristiwa itu memang terjadi di Jalan Kebon Jeruk IX, Jakarta Barat, tahun 1950-an. Tapi, dalam Gie, pengambilan gambar adegan itu berlangsung pertengahan 2004, lokasinya bergeser sekitar 400 km dari Jakarta: Jalan Layur, Semarang, Jawa Tengah.
Menurut produser Mira Lesmana, pemindahan lokasi ke Jalan Layur, Semarang, itu karena di Jakarta sangat sulit menemukan tempat bersuasana 1950-an dan 1960-an. "Atmosfernya sudah tidak ada lagi di Jakarta," katanya. Setelah riset foto dan survei ke sejumlah tempat, "Atmosfernya kami temukan di Semarang."
Jakarta yang begitu cepat berubah memang telah memaksa kru film Gie berjalan jauh, menelusuri kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hasilnya, sekitar 80 persen pengambilan gambar dilakukan di Semarang dan sekitarnya. Yang benar-benar di Jakarta hanya kampus Universitas Indonesia, fakultas sastra di Rawamangun (kini Universitas Negeri Jakarta), dan fakultas kedokteran di Salemba. "Plus, Lapangan Banteng di Jakarta Pusat," Mira menjelaskan.
Di Semarang, kru film Gie menemukan sebujur Jalan Layur yang mirip suasana Jalan Kebon Jeruk IX, Jakarta Barat, di era 1950-an. Jalannya dipenuhi becak, pedagang jalanan, dan sebuah masjid besar berdiri. Masalahnya, Jalan Layur di Semarang lebih lebar. "Nah, kami kemudian menyempitkannya dengan memblok pakai papan tripleks," kata Iri Supit, penata artistik film Gie.
Kawasan Kebon Jeruk merupakan bagian wilayah Jakarta modern yang terbentuk pada abad ke-18. Kala itu, kota kolonial Batavia perlahan-lahan berkembang ke selatan dari lokasi awalnya di bandar perdagangan Sunda Kelapa. Kawasan itu memiliki batas-batas jelas di setiap sisinya. Di sisi barat terbentang Jalan Hayam Wuruk dengan deretan pertokoan dan perkantoran; di timur terbujur Jalan Taman Sari Raya yang diapit rel kereta menuju stasiun pusat Kota; di utara merupakan Jalan Mangga Besar Raya (dulu Prinsenlaan) dengan perdagangan yang ramai; di selatan adalah Jalan Sukarjo Wiryopranotoasalnya bernama Jalan Sawah Besar.
Meski sejak awal abad ke-19 daerah itu dihuni berbagai etnis, Kebon Jeruk tetap merupakan kawasan komunitas Cina. Sebuah masjid besar dan cukup terkenal yang dibangun peranakan Cina muslim pada 1786 berdiri di situ. Keluarga Soe Hok Gie menyewa rumah di Jalan Kebon Jeruk IX. Ini sebuah jalan kecil sejajar dengan Jalan Hayam Wuruk. Rumah ini, disewa dari tuan tanah Arab peranakan yang terkenal di daerah itu, Tuan Abdullah Bey, merupakan rumah sederhana.
Hampir seluruhnya terbuat dari kayu. Halamannya sempit, ditumbuhi beberapa pohon berdaun lebat. Pagar besi rendah menjadi pembatas rumah dan jalan. Rumah itu dapat dicapai melalui tangga yang rendah. Seluruh bangunannya lebih tinggi sekitar satu meter, berjaga-jaga jika banjir yang pernah merendam datang lagi. Di ujung tangga rumah terdapat beranda luar yang terbuka, lantainya ditutup ubin keramik mengkilat. Beranda itu berfungsi sebagai tempat menerima tamu.
Iri Supit, 63 tahun, beserta krunya menemukan model dan suasana rumah seperti itu di bilangan Jalan Jangli, Semarang. Agar bisa semirip rumah keluarga Hok Gie yang asli di Kebon Jeruk, Supit membuat sketsanya. Pembuatan sketsa itu dikonsultasikan dengan Arief Budiman dan kakak Hok Gie yang lain. Juga dengan para tetangganya yang hingga kini masih ada. Menurut Supit, ia juga mempelajari dokumentasi foto rumah Hok Gie yang masih dimiliki keluarganya.
Sedangkan buku-buku dan perpustakaan ayah Hok Gie, Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, dalam film itu tak semuanya asli. Menurut Supit, sebagian besar buku itu merupakan buku bikinan. Hanya buku-buku yang dibaca Hok Gie dalam film itu yang benar-benar buku asli. Di antaranya buku The Rebel karya Albert Camus, Collected Short Story-nya Leo Tolstoy, dan Panggil Aku Kartini Saja 2 karangan Pramoedya Ananta Toer. "Buku-buku yang asli itu pun adalah buku baru yang diberi efek usang," ujarnya.
Selain suasana lingkungan rumah Hok Gie di Kebon Jeruk, film itu juga hadir dengan keramaian Kota Jakarta era 1950-an sampai 1960-an. Jakarta yang jalan-jalannya dilalui sedan Chevrolet Bell Air (1957), Fiat 1000 (1951), Morris (1961), Austin (1951), Opel Olympia (1966). Lalu mobil Volkswagen Dakota, Jip Willys, GAZ, dan Dodge Light Truck keluaran 1967. Ada juga aneka sepeda motor, antara lain BSA, AJS, Norton, BMW R27, Piagio Vespa, dan Harley Davidson WLA tahun 1945-1952.
Dalam Gie, mobil bukan berlalu-lalang di jalan-jalan di Jakarta, melainkan hanya di Jalan Gajah Mada, Semarang. Semua kendaraan itu diperolehnya dengan meminjam atau menyewa ke sejumlah klub penggemar kendaraan kuno. Persoalan muncul ketika para pemilik kendaraan antik itu telah mengubah warna catnya. Alhasil, "Kami bernegosiasi cukup alot untuk mengubah catnya," katanya. "Kalau mereka tidak mau juga, ya, dengan sangat terpaksa kendaraan itu tak jadi dimunculkan di adegan." Dan demi mendukung adegan cukup kolosal, Gie diperkuat sekitar 4.000 hingga 5.000 figuran.
Begitulah. Ingar-bingar Jakarta era 1950-an dan 1960-an juga diwarnai aneka atribut politik. Dan ini tak luput dihadirkan dalam film Gie. Atribut sejumlah partai, terutama bendera dan logo partai, menghiasi sudut-sudut Jakarta. Atribut Partai Komunis Indonesia (PKI), satu di antara partai yang waktu itu besar dan kuat, cukup dominan. Gedung kantor PKI juga dihadirkan dalam film itu, termasuk detail interiornya. Yang dipakai adalah gedung kantor Unit Sarana Karya di Branjangan, kawasan kota lama Semarang.
Sejumput cerita unik dan lucu ditemui saat membuat bendera PKI dengan lambang palu-aritnya. Iri Supit dan krunya memesan sekitar 400 bendera PKI ke sebuah tempat sablon di Jakarta. Kebetulan yang menerimanya adalah seorang anak muda 21 tahun. Penyablonan bendera PKI digelar. Tiba-tiba bos mereka, seorang pria berusia sekitar 51 tahun, datang. "Lho, apa-apaan kamu bikin lambang palu arit?" kata si bos. "Emang ini lambang apa sih, Pak?" anak muda itu balik bertanya. "Itu lambang PKI, tahu!"
Cerita lucu lainnya muncul ketika mengecat tembok sejumlah toko di kawasan Pasar Bulu, Semarang. Tembok itu dicat merah. Para pemilik toko yang rata-rata berusia di atas 60 menyambut dengan antusias. "Mereka senang dengan warnanya," kata Supit. Tapi, begitu kru membuat gambar palu arit (lambang PKI) di atas tembok yang dicat merah itu, mereka buru-buru menutup tokonya. "Sepertinya mereka masih trauma dengan lambang itu," tutur penata artistik senior itu.
Nurdin Kalim, Evieta Fadjar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo