Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sutradara Riri Riza, 35 tahun, dan produser Mira Lesmana, 41 tahun, memang duo yang tak terpatahkan. Sejak menghasilkan Petualangan Sherina beberapa tahun silam, duet ini tidak cuma kompak, tetapi juga utuh. Di dunia sinema yang tidak hanya perlu visi kreatif dan kemampuan membaca pasar (dua hal yang "mengawinkan" kedua sineas ini), ada satu bumbu penting yang dibutuhkan agar sebuah perusahaan bisa utuh: menekan ego. Keduanya bersedia bersama-sama rembukan untuk film produksi Miles karena, bagi duet ini, ini karya bersama. Tampaknya, inilah resep keutuhan "perkawinan" mereka.
Berkumpul dengan gerombolan seniman film generasi ini akan membuat kita sadar bahwa mereka memiliki apa yang tidak sepenuhnya dimiliki oleh sebagian sineas senior pendahulunya: kemampuan sinematik keluaran "sekolahan". Sebagai alumni Fakultas Sinematografi Institut Kesenian Jakarta yang kemudian tumbuh dengan tradisi kontemporer MTV, iklan, dan televisi swasta, Riri dan Mira menjadi sebuah generasi peralihan yang kemudian tak asing dengan "bahasa" budaya kontemporer, seperti "garing" (maksudnya "membosankan") atau kata "curhat" (maksudnya "mencurahkan hati"), kosakata yang sudah pasti belum ada pada zaman Gie. Itulah sebabnya, meski Mira dan Riri dengan serius melakukan riset selama empat tahun untuk film ini, terbang ke Australia dan Eropa untuk berbagai sumber dan dokumentasi, mereka juga generasi yang memperlakukan hidup dengan "santai". "Kami membuat film ini dengan relaks," kata Mira ketika ditanya bagaimana membangun suasana tahun 1960-an itu. Mereka juga dengan relaks meletakkan wajah Nicholas Saputra, yang lebih kelihatan seperti penyanyi rock yang seksi, di sampul depan buku Catatan Harian Seorang Demonstran, karena inilah interpretasi mereka terhadap sebuah masa. Bagi Riri Riza, "Gie adalah sebuah inspirasi." Protes sebagian orang (bahwa "kok yang memerankan Gie ganteng banget" atau "kok yang memerankan bukan orang Cina") itu ditanggapi dengan santai dan cengar-cengir. Khas anak-anak masa kini.
Berikut adalah petikan wawancara Leila S. Chudori dan Evieta Fajar dari Tempo dengan Riri Riza dan Mira Lesmana.
Mengapa tertarik mengangkat sosok Gie ke layar lebar? Bukankah pemikir seperti dia sulit divisualkan?
Riri Riza (RR):
Sewaktu kami mewawancarai Goenawan Mohamad, yang mengenal Gie dengan baik, dia berpendapat bahwa Gie tidak memiliki cinematic quality. Tetapi, untuk saya dan Mira, setelah kami membaca catatan harian dia dan mendengar pengalaman pribadi dia, ternyata dia sangat fluid. Artinya, dia mengalir di berbagai lingkungan dan situasi. Catatan hariannya, pergolakan pemikirannya itu juga berhasil membawa kita ke pemikiran orang lain, misalnya Tagore atau Gandhi. Menurut kami, dia sangat dinamis.
Mira Lesmana (ML): Memang ada beberapa orang di masanya yang masih hidup dengan sinis mengatakan, kalau saya mati muda dan menulis catatan harian, pasti akan lebih bagus dari itu. Nyatanya, Gie mati muda dan dia menulis sebuah catatan harian yang menarik untuk kami.
Tapi dia dinamis dalam tataran pikiran saja. Sebagai pribadi, tentu dia berbeda dengan sosok-sosok yang berwarna yang lebih mudah divisualkan seperti Steven Biko dari Afrika Selatan.
RR:
Kalau kita bisa mendeskripsikan yang dialaminya itu dengan baik, akan menarik, misalnya pandangan dan pengalaman dia dengan Soekarno.
Kadang-kadang dia bahkan tidak ada dalam sebuah peristiwa, tetapi dia menggambarkannya dengan menarik. Saya akui ada beberapa tokoh di zamannya yang menarik juga untuk diangkat kepribadiannya dalam film. Cuma, mereka tidak menulis pengalaman hidupnya. Dan ada yang berakhir masuk ke jalur formal. Kalau saya ditanya, perasaan yang kuat ketika membaca buku harian Gie, rasanya hampir seperti membaca fiksi atau novel; ada romantika hidup, ada pertanyaan tentang hidup, dan ada deskripsi pengalaman di sekitar dia yang menarik. Modal (untuk mengangkat ke film) sudah jelas ada. Karena Soe Hok Gie juga seorang biasa, a very ordinary person, artinya dia awalnya bukan bagian dari pergerakan besar dan dia tidak datang dari keluarga intelektual, maka itu membuat dia sama seperti kita semua.
Dan yang tercatat di sini adalah peristiwa-peristiwa yang sangat bisa bersentuhan dengan persoalan kita sekarang, minimal beberapa tahun terakhir di Indonesia, di mana kita mengalami perubahan tapi mengecewakan. Gie mengalami itu. Di awal catatannya, ini sebuah masa menarik. Soekarno adalah pahlawan baginya, tapi kelanjutannya kemudian dia kecewa dan Soekarno jatuh. Lalu, memasuki Orde Baru, dia kecewa lagi dengan Soeharto. Ini materi film yang bagus, berhubungan secara pribadi dengan dia dan dengan hidup kita sekarang. Ada pemberontakan, ada heroisme, dan ada roman.
ML: Kalau saya, melihatnya sederhana, saya tidak bosan membaca catatan harian itu. Mungkin saja orang sesungguhnya tidak semenarik tulisannya. Tapi yang jelas buku ini menunjukkan ada sisi romantik dalam kepribadiannya karena ia pelawan dan pemberontak. Dari riset kami, di mana kami mewawancarai banyak orang yang mengenalnya, kami malah menemukan betapa dia ternyata pribadi menyenangkan dan dinamis. Dan ada pula yang bertanya, kenapa Gie, dia tak terlalu dikenal. Buat kami, itu malah lebih menantang. Kenapa kita harus mengangkat cerita yang semua orang sudah tahu jalan ceritanya?
Tokoh-tokoh di sekeliling Gie, seperti Ira dan Sinta serta Jaka, itu fiktif, sementara tokoh Aristides Katoppo dan Herman Lantang itu tokoh yang nyata yang muncul. Kenapa campur-campur antara tokoh fiktif dan nyata?
RR:
Selain meminta izin kepada keluarga Soe Hok Gie, kami juga mendatangi semua tokoh asli rekan-rekan Gie, termasuk cewek-cewek yang dekat dengan Gie. Bahkan sampai ke luar negeri segala, karena ada yang sudah pindah. Memang ada tokoh-tokoh nyata yang tidak ingin disebut namanya sebagai aslinya. Jadi harus disamarkan. Ada tokoh-tokoh yang susah ditemui, seperti Syahrir dan Kartini Syahrir. Waktu itu mereka sedang sibuk dengan kampanye. Karena sulit, kami mewawancarai dari pihak-pihak lain tentang hubungan Syahrir dan Gie. Di tengah proses, kami selalu mendengar cerita yang kontradiktif, sehingga ya kami menampilkan mereka sebagai sosok yang nyata.
Ada lagi tokoh lain yang bersedia disebut namanya, tapi ingin tahu bagaimana kami menggambarkannya dalam film. Pokoknya, kami jalani semua proses perizinan itu sebaik-baiknya.
Harus diingat, ini bukan film dokumentasi sejarah. Ini sangat penting, tidak ada kewajiban pembuat film untuk membuat sesuai dengan catatan harian per harian yang terjadi di hari itu. Itu bukan konsumsi film. Film itu ekspresi sutradara. Inspirasi bisa diambil dari situasi atau karakter. Saya mengembangkan konsep ini bersama Mira dan mencoba menuliskannya. Gagasan dasarnya, kami merasa terinspirasi oleh dia, tapi tentunya tidak semua detail tulisan bisa kita ambil.
ML: Ketika kami memberikan draf awal skenario kami kepada Arief Budiman (kakak Soe Hok Gie), dia mengatakan, "Chin Hok itu belakangan menghilang lho, dia teman masa kanak-kanak..." Kami mencoba menjelaskan bahwa tokoh Soe Hok Gie adalah inspirasi pembuatan film, namun ada beberapa tokoh yang terpaksa difiktifkan. Lalu Arief paham, "Oh, jadi kalian menggunakan Gie untuk medium menyampaikan sesuatu melalui film? Oke. Kalau begitu, saya serahkan sepenuhnya pada sutradara untuk menginterpretasikannya," kata Arief. Dia kemudian mengizinkan kami memakai kisah hidup Gie sebagai media, dan dia membebaskan Riri sebagai sutradara untuk menginterpretasikannya. Saya berharap orang tidak sibuk mencari siapa tokoh ini dan siapa tokoh itu.
Cewek-cewek di sekitar Gie itu sebetulnya menarik. Kenapa minim betul kisahnya?
ML:
Kami harus membatasi kisah romannya karena memang kisah Gie dengan cewek-cewek yang kami temukan ya begitu. Ada tiga perempuan yang paling dekat dengan dia, itu pun namanya ia samarkan di buku, Maria, Rina, dan Sunarti. Setelah kami mewawancarai kawan-kawan Gie, ternyata kawan perempuan Gie yang dekat dengan dia ada lima. Akhirnya kami memutuskan untuk mengangkat dua sosok saja. Dua sosok, Ira dan Sinta, ini pun adalah gabungan dari lima karakter nyata. Ira adalah gabungan dua sosok yang nyata. Sinta juga gabungan sosok-sosok perempuan lain.
RR: Sosok Ira adalah satu-satunya perempuan yang dicintai Gie. Memang benar Gie menulis surat itu kepada Ira dan memang benar surat itu diletakkan di makam Gie.
Ada rekan Gie yang mengkritik bahwa Gie hanya menulis nama samaran buat teman dekatnya, sementara musuh ditulis jelas?
RR:
Kalau buku, pasti ada perizinan dari penerbit mengenai siapa orang yang bisa ditulis namanya maupun tidak, karena sekali diterbitkan itu dianggap public knowledge. Di film pun demikian, kami harus melalui perizinan yang panjang dari keluarganya, meskipun pengetahuan kami berangkat awalnya dari public knowledge, yaitu sebuah buku.
Kenapa tokoh Arief Budiman digambarkan begitu dingin hubungannya dengan Soe Hok Gie?
Arief Budiman memang mengaku tidak dekat dengan Gie. Persoalan masa kecil, kata Arief, Gie pernah menyimpan sebuah rumah semut dan tidak sengaja dirusak Arief. Gie sangat marah, dan sejak itu jika berbicara dengan Arief selalu keras. Akhirnya Arief bilang, daripada berkelahi, Arief memutuskan tidak banyak bicara saja.
Kenapa kawan Gie, Rudi Badil, tidak ditampilkan?
Dia tampil belakangan dalam hidup Gie, tapi kami memasukkan sedikit gaya dia pada Deni, kawan Gie, yang dimainkan oleh Indra Birowo.
Tokoh Jaka ini fiktif. Dia juga representasi dari beberapa sosok nyata?
Ada beberapa mahasiswa yang bentrok pemikiran dengan Gie dan bentrok dalam soal organisasi. Tapi, kalau digambarkan semuanya, terlalu banyak. Kami menemukan solusinya, membuat lebih konkret. Jaka adalah sebenarnya perwakilan bahwa politik besar sudah masuk kampus atau mahasiswa sudah mulai dipolitisir. Dengan latar belakang UI yang besar, kami butuh satu figur yang kemudian dengan sederhana. Jaka menjadi perwujudan beberapa kepentingan itu.
Jaka sekaligus dimunculkan untuk memperlihatkan posisi politik Gie? Bahwa Gie tidak mau serba hitam-putih dan, meski dia Katolik, dia tak ingin diidentifikasi berdasarkan agama?
Persis. Kenapa ditonjolkan PMKRI, untuk memperjelas bahwa banyak yang tahu Gie beragama Katolik, tapi dia plural, dia tak mau berkelompok berdasarkan agama.
Adegan persahabatan dia dan Chin Han sebetulnya tragis karena di saat dewasa Chin Han ikut PKI dan Gie mencoba netral. Kenapa Anda menggambarkannya dingin betul?
Gie sebetulnya berada di titik kiri daripada kanan. Pertemuannya dengan Chin Han juga menyimpulkan posisi itu. Saya tak ingin dramatik melihat persoalan temannya ini. Kami tidak mau mendramatisir dalam level berlebihan. Saya hanya ingin memperlihatkan kegelisahan Gie terhadap nasib kawannya. Mereka sahabat sejak kecil, nama aslinya sebetulnya bukan Chin Han. Di buku, Gie juga menceritakan sahabatnya yang selalu dipukuli tantenya. Tetapi, masa dewasanya, kami bikin fiktif karena sebetulnya sahabatnya menghilang.
Karakter Chin Han justru inti dari semua ini. Tokoh ini datang lagi dalam bayangannya Gie. Itulah yang menunjukkan kemanusiaan Gie yang lebih penting. Inspirasinya adalah Gie sangat punya simpati besar terhadap individu seperti itu. Ia menulis perjalanan setelah mendaki Gunung Salak. Saat ia melihat ada perkampungan bekas orang PKI yang dijadikan budak di satu kampung, dia menuliskan simpatinya yang mendalam. Saya merasa, kami harus menampilkan itu dalam hal kemanusiaan, bukan dari sisi ideologi. Chin Han, representasi yang bisa dipakai untuk awal dan akhir, about who dreams for freedom. Ia bertanya laut di mana. Ia ingin melihat pantai dan Gie pernah berjanji mengajaknya, tapi malah diajak ke gunung. Aku mau lihat pantai, tapi Gie bilang suatu saat mereka akan melihat laut. Eksekusi Chin Han itu di laut oleh tentara.
Film ini memiliki setting tahun 1960-an. Mahasiswa zaman itu bicara politik terus. Pada tahun 2005, ketika hidup sudah berbeda, bagaimana menggambarkan itu tanpa kesan bombastis? Apakah segmen anak muda yang suka ke Citos itu mau menonton ini?
Jika generasi masa kini melihat bagaimana mahasiswa di zaman itu, mereka akan berpikir. Mungkin ada yang malu, mungkin juga ada yang terinspirasi. Saya tidak tahu apakah anak-anak yang suka ke Citos akan nonton atau tidak. Yang jelas, perasaan kami sama seperti membuat Petualangan Sherina atau Ada Apa dengan Cinta. Sama excited-nya. Dan itu indikasi yang penting, kami excited dan ada 1,5 juta orang lain yang excited.
ML: Kita nggak merasa garing kok atau merasa Gie berkotbah. It's beautiful.
Kenapa tidak membuat akhir cerita di Semeru, saat Gie benar meninggal di hadapan Herman Lantang?
Semua mempertanyakan itu (tertawa). Kami biarkan agar jadi misteri yang menarik.
ML: Boeli Londa itu melankolis kalau menceritakan Gie. Ia sering mengeluarkan air mata. Waktu itu ada acara di Mapala, pesta buku sastra UI, dia juga menangis.
Pada ribut nih soal casting Nicholas Saputra yang dianggap terlalu ganteng sebagai Gie.
RR
: Mau lihat pengumuman posternya? "Dicari! Aktor yang mirip Soe Hok Gie....". Artinya, kami setengah mati mencari pemain dari Glodok sampai ke Eksotika Karmawibangga. Ada beberapa didapat, tapi sulit mencari yang bisa akting. Banyak sekali film-film Barat maupun Indonesiaseperti Tjut Nyak Dhien yang diperankan Christine Hakim atau Kartini yang diperankan Yenny Rachmanyang menampilkan tokoh sejarah dan toh akhirnya menampilkan aktor/aktris yang berpengalaman dan terpaksa memberi make-up untuk penampilan yang mendekati tokoh itu. Pada akhirnya kita memilih yang mampu akting.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo