Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebuah nama dari banyumas

Pemusik muda ebiet g. ade, lirik musiknya yang menghimbau dan bertutur membuat masyarakat banyak yang keranjingan, dibantu leo kristi, franky & jane.(ms)

8 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERCAYA atau tidak, kegemaran memang bisa berubah. Sutarno, sopir kolt Yogya-Solo itu, menyukai lagu-lagu Eddy Silitonga dan Diana Nasution. Tapi ia justru membeli kaset Ebiet G. Ade. "Pokoknya lagu Ebiet enak. Cocok untuk saya, dan penumpang tak pernah protes kalau lagu itu yang saya putar," katanya meyakinkan. Alasan yang sama diberikan juga oleh sopir kolt Depok-Jakarta, misalnya. Tak heran, bukan? Munculnya Camellia I dan kemudian Camellia II tahun lalu, dua album Ebiet, rupanya berhasil mempengaruhi pasaran lagu dangdut. Musik pop kembali sering berkumandang di kampung, di radio non-RRI, juga di bis. Beberapa penjual kaset di Jakarta menduga, itu karena iklan Ebiet di teve. Bah! -- di Jawa Timur dan Tengah, siaran TVRI Surabaya yang masih mengiklankan Raba-Raba (album dangdut mutakhir) toh tidak berhasil mengatrol pasaran dangdut. Sejumlah penjual kaset di Yogya dan Surabaya masih senyum-senyum akibat uang masuk dari kaset Ebiet. Dua bulan lalu penjual kaset terbesar di Yogya bahkan mencatat: rata-rata 30 kaset albumnya terjual seharinya. Dan meskipun sejak akhir Januari mulai menurun, tak kurang 5 kaset masih terjual setiap hari. Toko-toko lain mencatat sekitar 20 kaset, waktu masih hangat. Juga di toko-toko kaset Ujungpandang: Ebiet top. Toko kaset terbesar di Yogya, di Jalan Malioboro, sampai memesan kembali lebih dari lima kali. "Dan biasanya sekali pesan sekitar 400-an kaset," kata penjaga toko. Ini bisa dibanding dengan Benci Tapi Rindunya Diana Nasution -- saingan Ebiet terberat -- yang pada masa hangatnya hanya maksimal terjual 15 kaset per hari. Jumlah penjualan kaset Ebiet per hari di pusat perdagangan mewah di Jakarta, di Aldiron. Plaza, tak kalah dengan Yogya. Bahkan kini sebuah toko kaset di Aldiron masih mencatat rata-rata 10 kaset bisa habis sehari. Juga di pusat perdagangan Glodog dan Blok M. Dan meski kini Diana Nasution kelihatan sedang ngetop, kata beberapa penjual kaset kepada TEMPO. "Diana masih hampir menyamai Ebiet. Belum melebihi." Lagi pula omzetnya paling banter hanya separuh omzet kaset Ebiet. Sejumlah pemancar radio non-RRI, yang suka menyelenggarakan tangga lagu-lagu, bisa pula mengobrol. Radio Kejayaan di Kebayoran Baru, mencatat tiga bulan lebih lagu Ebiet bertahan. Biasanya musik pop yang ngetop hanya mampu bertahan dua bulan atau lebih sedikit. Memang hal seperti di Radio Kejayaan tak merata ke semua pemancar non-RRI. Sampai kini misalnya, menurut Edie Dipanegara dari Radio Sonora, meski Ebiet bertahan 9 minggu toh "belum bisa menumbangkan Sabda Alamnya Chrisye yang bertahan 10 minggu." Bahkan pengasuh acara 'Tujuh Populer' di Radio Sonora itu punya ukuran: yang top ialah yang telah diuji lewat 4 volume. "Artinya, dengan 4 volume itu dia sudah punya standar," katanya tanpa menjelaskan lebih lanjut. Sedang Ebiet baru punya dua, hanya itu soalnya. Di Yogya, 14 radio non-RRI tambah RRI-nya sendiri punya satu organisasi disebut 'Yogyakarta Top Hits'. Mereka bersepakat tiap Jumat selama sejam mengudarakan musik pop yang paling sering diputar pada minggu itu -- dengan tujuan, menurut Awi R. dari Radio Reco Buntung, Sekretaris YTH, "untuk menggalakkan lagi pop Indonesia agar menjadi tuan rumah di negeri sendiri," katanya kepada TEMPO. Tercatat selama Desember tahun lalu sampai Januari tahun ini, Kepada Kawannya Ebiet merajai acara Jumat siang itu. Memang, kini misalnya di Radio Arma 11, Yogya, kedudukan teratas direbut Emilia Contessa dengan albumnya Lebih Manis Ada Cinta, disusul Diana Nasution\dengan Tiada Kasih Sayang. Tapi baiklah -- untuk mengetahui seberapa tinggi Si Ebiet ngetop, kita temui produsernya, Bung Jackson. Di kantornya di kawasan Glodok, Jakarta Kota, produser kaset berusia 31 tahun ini bercerita. Mula-mula dia katakan, dia mempunyai ukuran minimal untuk kaset yang dipasarkannya: 55 ribu eks. Dan Ebiet, baik Camellia I maupun II, ternyata mencapai 4 kali minimal: coba dihitung. Seberapa tinggi itu? Dia lantas membuat perbandingan. Karmila Farid hanya mencapai titik minimal. Album keduanya, yang berjudul panjang: Ikan Laut pun Menari di Bawah Tanganmu, memang lebih laris -- mencapai tempat di atas minimal, tapi tak sampai dua kalinya. Baru pada Musim Bunga Franky & Jane, keluar tahun 1978, produser ini panen album pertama kakak-beradik itu mencapai sekitar 3 kali minimal. Cuma album kedua mereka merosot sampai tak ada dua kali minimal. Bahkan album ketiganya: Dan Ketuk Semua Pintu, ternyata tak benar-benar mengetuk semua penggemar: turun drastis sampai di bawah minimal. Perbandingan yang lain dengan para penyanyi kontrakan Musica Studio. Hetty Koes Endang dan Chrisye misalnya belakangan ini memiliki sukses yang lumayan. Berapa omzetnya? Produsernya tak mau menyebut jelas. Hanya Anton Issudibyo, manajer publisitas, memberi gambaran: "Biasanya di atas 100.000 kaset." Bagaimana pula dengan Leo Kristi, atau Guruh, dari produser lain? Kira-kira seukuran Farid. Memang, publisitas memegang peranan penting pula di samping kualifisisi penyanyi sendiri. Menurut pengakuan Jackson kepada TEMPO misalnya, ketika memasarkan Camellia I ia mencoba memancing ingin tahu orang siapa itu gadis Camellia. Caranya? Itu tak dikatakan. Agak susah mencek kebenaran tutur si Jackson. Beberapa penggemar Ebiet malahan jatuh hati kepada kasetnya bukan karena lagu itu, tapi yang lain: Lagu untuk Sebuah Nama atau Dia Lelaki Ilham dari Sorga. Memang ada seorang gadis siswa sebuah SMA Negeri di Surabaya yang menceritakan kisah jatuh cintanya kepada kaset Ebiet karena lagu Camellia. Kepada wartawan TEMPO Slamet Oerip Pribadi, gadis itu mengaku bahwa tahun lalu dia patah hati. Suatu malam, karena sulit tidur, ia mendengar itu Camellia. "Saya tersentak: lagu itu menggambarkan seorang pria yang begitu memuja seorang wanita," katanya dengan "penuh seriosa". Selanjutnya, hatinya tersambung kembali dengan harapan: tentu kelak dijumpainya juga seorang lelaki yang benar-benar cinta kepadanya, begitu. Upaya publisitas yang lain misalnya surat-menyurat dengan penggemar. Anda telitilah etiket pada kaset Ebiet. Biasanya di bawah daftar lagu ada tulisan ini Fans Adress Ebiet G. Ade. PO Box . . . dan seterusnya. Dan di kantor Jackson (bukan di rumah Ebiet) memang ada seorang sekretaris yang mengurusi surat-surat penggemar itu. Ada yang minta foto penyanyinya, ada yang minta tanda tangan. Ada pula yang kritik. Tak dikatakan berapa surat sehari diterimanya -- mungkin tak terlalu banyak. Yang jelas, sudah ribuan surat bila digabung penggemar Franky & Jane dan Ebiet. Agaknya memang nasib baik Ebiet. Atau memang selera Ebiet dan Jackson lagi klop. Tahun 1979, dari 200 contoh yang dikirimkan ke kantornya, hanya Ebiet G. Ade yang dipilihnya untuk diproduksi. Baru di akhir tahun itu, muncul Kiki Maria, putri bintang film Suzanna. "Patokan saya, yang saya produksi harus berbeda dari corak yang selama ini ada," tuturnya. Ini tentu akan hanya menjadi kecap nomr dua, bila ia tak bersusah-payah menunjukkan bukti. Ia memang beberapa kali mengorbitkan penyanyi baru: Farid, Franky & Jane, Ebiet, dan yang sekarang masih berjalan, Kiki Maria. Penyanyi yang kasetnya beromset 100 ribu lebih, disediakan hadiah: sebuah piringan emas. Baru Franky & Jane (satu) dan Bbiet (segera dua) yang memperolehnya. Tentang Si Ebiet sendiri, katanya: "Liriknya sangat jelas dan mudah diterima. Lagu untuk Sebuah Nama itu, bisa mewakili siapa saja. Berita Kepada Kawan, bercerita tentang orang-orang miskin yang ada di mana saja." Teraihnya Ebiet dan Franky & Jane agaknya juga karena mereka itu hanya mengandalkan instrumen akustik dan bukannya elektronik. Sebab, Jackson tak suka instrumen elektronik. Menurutnya instrumen elektronik "tidak mendorong musisi untuk kreatif. Tinggal pijit saja sudah jadi," katanya. Kreatif jika Si Jackson ini, ya? Untuk Ebiet G. Ade, ada yang sedang dipersiapkannya: album ketiganya yang diyakininya akan selaris dua album yang mendahului -- dan sebuah film. "Saya akan bikin film mengenai Ebiet," katanya tegas. Mengapa ia begitu optimistis pada langganan yang satu ini? Alasannya menarik: ia, yang beragama Budha, punya satu pedoman. Katanya: "Jatuhnya seseorang itu, saya amat-amati, selalu karena kelemahan imannya." Sedang Ebiet, yang beragama Islam, ia ketahui "taat beribadah dan tidak melakukan maksiat." Baiklah. Sekarang ini masih periode Ebiet, memang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus