Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga lukisan potret tokoh musisi dunia digambarkan berbeda dengan lukisan wajah musisi lainnya. Wajah Peter Gabriel yang terpampang dalam kanvas berukuran 200 x 200 sentimeter tersenyum dengan mata kiri yang kulitnya ditarik. Selanjutnya lukisan potret Miles Davis yang terpejam dengan mulut manyun dan dua tangan menutup sebagian wajah. Kemudian basis Jaco Pastorius memainkan instrumen bas, dihiasi nyala api.
Wajah tiga musisi ini tak sedatar deretan wajah musisi lainnya—sebut saja Madonna, Bob Dylan, Bob Marley, Tracy Chapman, Sinead O’Connor, atau Joni Mitchell. Agaknya, tiga musisi itu memiliki kekuatan sendiri hingga lukisannya menjadi beda. Ya, baik Peter, Miles, maupun Jaco memiliki kegilaan luar biasa dalam aransemen musiknya. Mereka membuat komposisi dengan segudang ide gila yang terus menguntit. Maka sang pelukis pun memberikan interpretasi lebih kepada mereka.
Lukisan-lukisan itu terpampang dalam pameran Agus Suwage bertajuk I/con, yang dibagi dalam dua tema: ”The Times They Are A-Changing” dan ”Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi”. Pameran ini digelar di Nadi Galeri, Jakarta, dari 3 sampai 17 April 2007. Satu pameran yang sama sekaligus berbeda dengan pameran Agus Suwage sebelumnya. Sama karena pada pameran yang pernah ia jalani, Agus Suwage juga memajang lukisan potret.
Bedanya, dulu ia masih memunculkan figur dirinya dalam obyek seni rupanya—sesuatu yang kali ini tak ada sama sekali. Penikmat karyanya diajak menelusuri sisi lain dari Agus Suwage. Menelusuri dunia musik dari sudut pandang pilihan obyek lukisan potretnya pada tema ”The Times They Are A-Changing”.
Karyanya menjadi sebuah gelagat lumrah dari seseorang yang menghabiskan waktu luang dengan musik. Agus Suwage sering kali mengisi waktu luangnya dengan sebuah gitar akustik. Saat menerima rekan sesama seniman di rumahnya, berbincang soal seni rupa, kemudian bosan, ia sering kali memetik gitarnya sambil ngobrol ngalor-ngidul. ”Sering juga, kalau lagi melukis, saya diiringi musik, seperti Jaco Pastorius,” ujar pelukis ini.
Dari semua obyek lukisan potret musisi yang terpajang, Agus paling akrab dengan The Beatles. Lagu dari grup ini paling banyak ia kuasai musiknya. Toh, Agus Suwage mengaku menyukai semua jenis musik, mulai klasik hingga dangdut. Tapi tokoh dari musik jenis itu tak terpampang sama sekali dalam obyek lukisannya. Sedangkan tiga musisi yang dilukiskan berbeda memang memiliki nilai lebih baginya. ”Saya melukiskan memang berdasarkan karakter musik mereka,” ujarnya.
Boleh jadi ini sebuah tribut untuk para musisi yang dikaguminya. Ia sendiri mengakui, sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak langsung, musik banyak memberikan motivasi untuk berkarya. Energi musisi jenius, karismatis, serta kegilaan berekspresi macam Peter Gabriel, Miles Davis, Jaco Pastorius, dan berbagai figur yang dilukisnya telah merasuk ke alam bawah sadar.
Pada tema kedua, ”Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi”, Agus mendasari sebuah cetak biru dari ikon potret Chairil Anwar. Potret klasik yang memiliki karakter kuat Chairil: dahi berkerut dan sebatang rokok di tangan. Jika dicermati, ada perbedaan dari foto Chairil Anwar dan lukisan Agus Suwage. Jika kita amati tangan yang memegang rokok, tampaklah bahwa pada lukisan Agus tangan kiri Chairil yang memegang sebatang rokok. Terbalik dengan aslinya. ”Ini tidak sengaja saja, karena saya melihat gambarnya terbalik,” ujar perupa kelahiran Purworejo ini.
Selanjutnya ia berselancar di dunia maya, berburu tokoh-tokoh dunia. Dengan nakalnya, semua tokoh yang didapatnya dibuat sama seperti lukisan Chairil Anwar. Semua memegang rokok dengan tangan kiri. Konfigurasi itu antara lain Saddam Hussein, Gandhi, Yasser Arafat, Jawaharlal Nehru, Ayatullah Khomeini, Karl Marx, Sitting Bull, Pramoedya Ananta Toer, dan Benyamin Sueb. Tokoh ini masih terlihat alami dengan sebatang rokok di tangannya, tapi coba lihat jika itu Bunda Theresa atau Kartini, akan lain rasanya. ”Saya memang sengaja membuat sebuah kontradiksi di dalamnya,” ujarnya.
Kontradiksi yang muncul tak sebatas dua tokoh perempuan yang merokok tadi. Lebih luas, sebuah kontradiksi kematian dan rokok. Semua tokoh yang digambarkan dengan rokok ini telah meninggal. Tak mungkin lagi mereka menikmati bakaran cengkeh dan tembakau. Sebuah sisi manusia yang sudah pasti, mati dan tidak abadi, lepas dari merokok yang oleh sebagian orang mendapat predikat kenikmatan.
Bukan kali ini saja Agus Suwage bermain dengan kematian. Pada 1996, ia menggarap Ars Longa yang mencitrakan wajah tokoh internasional yang mati karena terbunuh. Kematian mereka diakibatkan oleh peliknya dunia politik yang berkecamuk, maka muncullah figur Mahatma Gandhi atau John F. Kennedy. Secara personal ia ingin bercerita tentang kehidupan para tokoh pengukir sejarah dunia ini. Secara personal juga ia ingin bercerita tentang sisi lain dari kehidupannya pada pameran kali ini.
Andi Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo