Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Janji Sejoli di Toko Abadi

Buruh migran perempuan Indonesia di Hong Kong banyak yang melakukan pernikahan sejenis. Ada yang serius, banyak pula sekadar gaya.

9 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pagi sudah lama pergi dan suhu udara di Hong Kong pada awal Maret tak beranjak dari 17 derajat Celsi-us. Tapi, suasana di Toko Abadi di kawasan Tai Po, sekitar 30 menit ke utara dari pusat kota, sungguh hangat. Di lantai dua toko penjual makanan khas Indonesia itu, dentuman musik hip-hop mengentak-entak. Ada yang asyik berjoget, dan yang lain duduk-duduk menikmati makanan di toko yang pada hari biasa dipakai sebagai tempat karaoke itu.

Dandanan mereka beraneka model. Ada yang berpakaian ala penyanyi rap—celana jins longgar, aksesori seperti rantai dan cincin, kaus berlapis kemeja flanel dan jaket—ada juga yang bergaya seksi dengan rok mini dipadu tank top. Rabu dua pekan lalu itu memang istimewa. Mereka se-dang merayakan pernikahan Randika dan Anis. Keduanya tampak sumringah berbaur di antara 20-an perempuan yang memenuhi ruangan berukuran 75 meter persegi itu.

Tak satu pun pria di ruangan itu. Randika juga bukan laki-laki. Mengenakan setelan jas hitam, berdasi kupu-kupu biru, serta berkemeja putih, Randi terlihat begitu gagah. Sang mempelai wanita, Anis, mengenakan gaun pengantin putih. Leher perempuan asal Indramayu, Jawa Barat, itu dihiasi kalung berlian dan bibirnya disaput lipstik merah meriah. Dengan rambut dicat cokelat, ujung-ujungnya berombak, membuat Anis tampak ayu.

Prosesi pernikahan dimu-lai ketika ”penghulu” mendiktekan janji. Mempelai mengulanginya dengan khidmat. Pernikahan pun sah, meskipun keduanya tak menandatangani selembar surat pun sebagaimana lazimnya pengantin. ”Ini kan acara pengumuman bahwa mereka sudah bersama,” kata Veronica yang berperan sebagai penghulu. Para hadirin yang semuanya adalah tenaga kerja wanita asal Indonesia pun bertepuk tangan.

Pesta itu menghabiskan uang yang tidak sedikit. Untuk acara itu, pasangan tersebut, paling tidak, harus mengeluarkan duit HK$ 7.000 atau sekitar Rp 8 juta—ini setara dengan dua setengah bulan gaji seorang pembantu rumah tangga di sana. Selepas acara, Randika dan Anis pun segera kembali bekerja di rumah majikan masing-masing. Tak ada bulan madu.

Pernikahan pasangan lesbian di kalangan buruh migran Indonesia di Hong Kong bukan kabar baru. Dalam tiga tahun terakhir, ”penghulu” Veronica atau Vero sudah menikahkan 13 pasangan. Menurut Vero, pembantu rumah tangga yang juga lesbian sudah ada sepasang yang siap menikah April ini. Menurut dia, calon pengantinnya sedang pusing karena perbedaan agama. ”Kok mereka mikirnya ruwet sih? ini kan cuma kawin-kawinan,” ujarnya sambil tersenyum.

Vero menikahkan pasangan pertama kali dua tahun lalu di Toko Kurnia, yang juga terletak di kawasan Tai Po—tapi sekarang tutup. Sedangkan 12 pasangan lainnya mengikat janji di Toko Abadi. Dari semua pasangan itu, seingat Vero, hanya tinggal enam pasangan yang masih bersama. Pasangan pertama yang dinikahkan sudah ”bercerai” dan ”si pria” menikah lagi dengan perempuan lain.

Di Hong Kong, pernikahan sejenis sebenarnya sudah mu-lai marak di kalangan buruh migran sejak 1995. Namun, dalam lima tahun terakhir jumlahnya mulai meningkat seiring dengan menguatnya tren lesbianisme di sana.

Menurut Amy Sim, profesor di bidang sosiologi dari Universitas Hong Kong, perilaku homoseksual di antara para buruh migran tidak terlepas dari kebutuhan akan keintiman. Hal itu juga dipengaruhi referensi dari para pekerja migran lain di Hong Kong. Mereka sering mengalami kekerasan seksual ketika berkencan (dating rape) dengan lelaki dari India, Nepal, dan Pakistan yang juga banyak bekerja di Hong Kong.

Tidak jarang, kekerasan itu berakibat para perempuan itu hamil atau mengidap penyakit kelamin. Tak mengagetkan jika homoseksual pun menjadi opsi. Sim pernah membuat penelitian tentang perilaku seksual pekerja dari Indonesia di Hong Kong dan dipresentasikan dalam se-minar ”Migrant Workers and Sexuality” di Universitas Nasional, Singapura, April 2006.

Masih menurut Sim, para buruh migran perempuan itu kemudian mengidentifikasi diri sebagai ”laki-laki”—Sim menyebutnya tomboy—atau perempuan. Yang menjadi tomboy atau disingkat TB gampang ditengarai. Mereka suka berdandan ala penyanyi hip-hop. Aneka aksesori bling bling dari logam menjuntai memenuhi tangan, leher, baju dan saku celana. Biasanya mereka berambut pendek, dan tampil tanpa bedak atau lipstik. Sedangkan yang perempuan tampil dengan rok mini, baju tank top, dan rada menor.

Pertemuan antara si TB dan si rok mini biasanya terjadi setiap akhir pekan di Ta-man Victoria, taman umum yang menghadap Teluk Causeway di daratan Cina. Pertemuan juga biasa terjadi di Toko Abadi. Biasanya mereka sambil belajar tarian tradisional Indonesia di sanggar Kreasi Seni Nusantara, yang didirikan TKI di Hong Kong.

Wahyu Susilo, analis kebijakan di Migrant Care, lembaga swadaya masyarakat yang membantu buruh migran Indonesia, sependapat bahwa faktor lingkungan berpengaruh besar terhadap perilaku mereka. Apalagi, tenaga kerja Indonesia di Hong Kong semuanya, sekitar 100 ribu orang, perempuan; tidak ada kuota untuk laki-laki.

Nah, Wahyu menambahkan hal menarik tentang faktor ”lingkungan” itu. Menurut dia, kecenderungan lesbian bisa terjadi sejak mereka masih berada di penampungan perusahaan tenaga kerja di Indonesia. ”Berbulan-bulan mereka di penampungan, tidak mendapat hak berhubungan seksual dengan suami mereka,” kata Wahyu.

Sayangnya, kata Wahyu, fenomena ini tidak terlalu dihiraukan para pekerja yang membantu buruh migran. ”Bahkan ada yang menganggap kecenderungan lesbian sebagai kesalahan sehingga mereka (buruh migran perempuan itu) perlu disadarkan,” katanya.

Psikolog Universitas Indonesia, Profesor Sarlito Wirawan Sarwono, juga menggolongkan mereka sebagai homoseksual situasional, yang dipengaruhi lingkungan. Perilaku seperti itu, juga banyak ditemukan di pesantren atau markas tentara yang semua isinya laki-laki. Akibat tersendatnya hasrat heteroseksual pada pasangan berbeda jenis, hubungan sejenis pun dijalani. ”Pasangan homoseksual situasional dapat kembali normal. Namun, bila homoseksualitas itu merupakan bakat yang diduga diturunkan gen, akan sulit dikembalikan,” kata Sarlito.

Lalu, bagaimana Vero, Randika dan Anis menjadi lesbian? Vero adalah perempuan asal Magelang yang sudah berada di Hong Kong sejak 1998. Dia belum resmi bercerai dari suaminya di kampung dan memiliki dua anak gadis, tapi ia tak berniat kembali kepada suaminya. ”Saya tak pernah bisa mencintai lelaki,” katanya. Karena mengaku memahami perasaan pasangan sejenis, Vero bersedia menjadi penghulu. ”Saya cuma ingin mereka bahagia,” katanya.

Randika, pramuwisma asal Bandung, mengaku lesbian sejak masih duduk di sekolah menengah atas. Perempuan bernama asli Fahrandini ini juga sudah beranak satu, tapi tak mencintai suaminya. ”Saya bahkan sempat pacaran dengan adik ipar perempuan saya,” katanya. Sedangkan Anis menyata-kan sudah tidak cocok lagi dengan laki-laki. ”Saya sudah mencoba berbagai laki-laki di Hong Kong, tapi tidak bisa sreg,” katanya.

Randika dan Anis sudah di Hong Kong sejak tiga tahun silam, tapi baru empat bulan lalu mereka saling kepincut. ”Saya merasa terlindungi bersamanya,” kata Anis. Keduanya bertekad akan pulang ke Indonesia sebagai ”suami-istri”, ”Biar mereka tahu kami (pasangan sejenis) ada,” katanya. Sebuah rumah sudah dipersiapkan di Bandung. Randika dan Anis berharap hubungan mereka abadi, seperti nama tempat mereka mengucap janji, Toko Abadi.

IGG Maha Adi, M. Fanani (Hong Kong)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus