Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sutradara Alex García López dan Laura Mora membuat film berdasarkan novel 'One Hundred Years of Solitude'.
Sutradara memvisualkan realisme magis yang selama ini dilukiskan dengan kata-kata.
Miniseri ini salah satu adaptasi novel ke film yang terbaik.
“Many years later as he faced the firing squad, Colonel Aureliano Buendía was to remember that distant afternoon when his father took him to discover ice.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALIMAT pembuka novel Cien años de Soledad karya pemenang Hadiah Nobel Sastra, Gabriel García Márquez, itu tampil sebagai pembuka miniseri One Hundred Years of Solitude. Namanya persis sesuai dengan judul aslinya. Ditayangkan di saluran Netflix, serial arahan sutradara Alex García López dan Laura Mora ini memakan waktu penggarapan enam tahun. Selama hidupnya, karya Márquez yang pernah diadaptasi hanyalah novel Love in the Time of Cholera (Mike Newell, 2007) dalam bahasa Inggris dan pemainnya sebagian adalah aktor Hollywood. Márquez selalu menganggap novel One Hundred Years of Solitude sulit diadaptasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah sebabnya setelah Márquez wafat pun putranya memberikan izin adaptasi novel itu menjadi miniseri dengan persyaratan ketat sesuai dengan keinginan sang ayah: dialog harus dalam bahasa Spanyol, mengambil lokasi syuting di Kolombia, dan menggunakan pemain Kolombia.
Persyaratan ketat itu ternyata memang membuahkan satu miniseri—Netflix baru menayangkan delapan episode awal, delapan episode berikutnya akan menyusul—yang berhasil melahirkan warna-warni yang kaya dan dunia magis yang selama ini hanya hidup dalam benak pembacanya.
Episode perdana dibuka dengan setting sebuah desa di pojok Kolombia abad ke-19 yang tengah merayakan pesta perkawinan José Arcadio Buendía (Marco González) dengan Úrsula Iguarán (Susana Morales Cañas). Nun di kejauhan tampak orang tua Úrsula yang tak menyetujui pernikahan mereka karena sejoli itu masih saudara sepupu. Sang ibu khawatir keturunan mereka akan berbentuk iguana.
Peziarah memegang bunga dan buku "Cien Anos de Soledad" (One Hundred Years of Solitude) karya Gabriel Garcia Marquez dalam pemakaman umum simbolis untuk Marquez di Aracataca, 21 April 2014. REUTERS/John Vizcaino
Akibatnya, Úrsula “mengunci” tubuhnya agar malam-malam intim dengan suaminya tak melibatkan persanggamaan. Tampaknya kehidupan suami-istri “selibat” ini terdengar ke semua penjuru desa. Prudencio Aguilar, lawan José bertarung sabung ayam, mengejek “kelelakian” José. Terjadilah duel untuk menjaga harga diri yang menyebabkan Aguilar tewas. Sejak saat itulah pasangan José dan Úrsula senantiasa dibuntuti arwah Aguilar ke mana pun mereka pergi. Bahkan di tempat tidur pun arwah Aguilar muncul dengan leher bersimbah darah.
Merasa terteror, pasangan Buendía ini bersama serombongan kawan sekampung memutuskan berkelana untuk mencari domisili baru di tepi laut. Pengelanaan berlangsung selama berbulan-bulan siang-malam hingga Úrsula melahirkan di perjalanan. Rombongan ini mengarungi hutan, menantang hujan deras, dan diselimuti lumpur. Namun laut yang mereka rindukan tak kunjung terlihat. Akhirnya José memutuskan berhenti berkelana dan membangun Desa Macondo sebagai rumah mereka yang baru.
Novel Márquez bukanlah sebuah cerita yang mudah diwujudkan dalam bentuk sinema. Ini karena kedahsyatannya menjalin kata dan kalimat yang senantiasa berhasil membangun jagat berwarna di dalam benak pembacanya. Namun tim sutradara Alex García López dan Laura Mora berhasil mewujudkan serangkaian kisah tiga generasi yang diutarakan dengan nonlinier dalam novel menjadi serial yang kronologis, runtun, dan rapi.
Menggunakan narator yang berkisah di bagian-bagian yang tepat—saat terjadi keganjilan, keajaiban, dan kemustahilan—kita mengikuti bagaimana José dan Úrsula membentuk sebuah keluarga bersama anak kandung ataupun anak angkat sekaligus membangun Macondo. Seperti lazimnya keluarga, setiap anak menyandang problem masing-masing. Si sulung José Arcadio diam-diam berhubungan dengan si peramal Pilar Ternera, kawan ibunya. Si anak tengah Aureliano, yang bisa meramal, belakangan juga tidur dengan Pilar. Si bungsu Amaranta yang manja berkembang menjadi perempuan cantik yang mudah merasa dengki setelah kedatangan adik angkat baru, yang kelak menjadi pesaingnya.
Namun persoalan yang lebih besar dalam keluarga ini adalah José yang lebih tertarik pada ilmu pengetahuan daripada banting tulang mencari duit untuk keluarganya. Sedangkan sang istri, yang lebih realistis dan pragmatis, tak paham akan obsesi suaminya. José mempelajari astronomi, kimia, dan matematika dari Melquiades (Moreno Borja), tokoh gipsi yang mengunjungi Macondo secara berkala. José mungkin saja mewakili dunia modern—“Aku menyimpulkan bumi itu bulat,” katanya dengan sepasang mata bersinar—dan sang istri tentu saja terlalu lelah menyangga rumah tangga—dan desa—sebesar itu sendirian.
Duo sutradara Alex García López dan Laura Mora tak hanya berhasil bertutur tentang kisah domestik keluarga, tapi juga fasih menceritakan tema besar pertarungan sekularisme versus agama, konservatif versus liberal, ilmu pengetahuan versus takhayul, dan masuknya negara ke urusan pribadi.
Di antara tema-tema besar itu, kita melihat adegan mustahil bayi dan pendeta yang melayang melawan gravitasi bumi, sosok yang tewas menolak mati dan arwahnya masih wira-wiri, adegan semua warga Desa Macondo terkena penyakit insomnia dan masih menari-nari di tengah malam, atau adegan kelompok gipsi yang setiap kali berkunjung memperkenalkan pelbagai cairan ajaib yang bisa membuat seseorang menghilang.
Realisme magis, yang selama ini kita anggap lebih cocok dan cantik dilukiskan dengan kata-kata, kini terwujud dalam visual yang luar biasa. Harus diingat, setelah lahirnya novel One Hundred Years of Solitude, pengaruh realisme magis Márquez menyebar ke semua penjuru dunia hingga lahirlah berbagai novel dan film yang berusaha meniru, atau minimal mendekati, keajaiban dan kemustahilan karya Márquez. Tentu saja tak semuanya berhasil, karena Márquez, dalam wawancaranya, selalu mengatakan “magis” di dalam karyanya tidak asal “aneh” atau asal ajaib. Semua kemustahilan di dalam ceritanya memiliki konteks dan sejarah tokoh-tokohnya.
Serial ini mengikuti cerita novel dengan patuh tanpa mencoba kenes mengobrak-abrik adikarya Márquez itu. Tentu saja para penulis skenario harus membuang beberapa elemen. Misalnya, pada saat warga Desa Macondo terkena wabah insomnia, di dalam novel diceritakan bahwa mereka bisa melihat mimpi orang lain, sementara serial ini membuang elemen tersebut.
Di dalam serial ini mereka mempertahankan hal-hal yang akan membuat kita tak nyaman, seperti pernikahan tokohnya dengan seorang perempuan di bawah umur. Ini memang kisah di abad ke-19, tapi tetap sulit merasa nyaman menyaksikan ini. Atau bagian anak lelaki yang hampir saja memperkosa ibunya.
Tokoh-tokoh perempuan di sini, seperti Úrsula dan Pilar, atau bahkan adik-kakak Amaranta dan Rebecca, adalah tokoh-tokoh yang menarik dan kuat. Mereka semua menyandang masalah dan rahasia sendiri dan sulit tidak bersimpati kepada mereka yang terimpit dalam dunia patriarki di masanya.
Saya rasa serial ini bisa dikatakan salah satu dari sedikit adaptasi novel yang terbaik, selain adaptasi novel karya Michael Ondaatje, The English Patient, menjadi film (Anthony Minghella, 1996).
Leila S. Chudori
One Hundred Years of Solitude
Sutradara: Alex García López, Laura Mora
Skenario: José Rivera, Natalia Santa, Camila Brugés, Albatrós González, dan María Camila Arias berdasarkan novel karya Gabriel García Márquez
Pemain: Claudio Cataño, Diego Vásquez, Marleyda Soto, Loren Sofía, Viña Machado
Rumah produksi: Dynamo
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini muncul di bawah judul "Seratus Tahun dalam Warna dan Kata"
Artikel ini terbit di bawah judul Seratus Tahun dalam Warna dan Kata