Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Novel 'Seratus Tahun Kesunyian' karya Gabriel García Márquez diminati pembaca dan pengarang Indonesia.
Realisme magis Marquez telaah mempengaruhi sastra Indonesia kiwari.
Sastrawan Eka Kurniawan, penulis 'Cantik Itu Luka' mengakui terpengaruh cara Márqueze memetakan Amerika Latin.
MESKIPUN baru selesai menonton lima dari delapan episode film miniseri One Hundred Years of Solitude, Anton Kurnia sudah merasa puas. Menurut Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta itu, film yang diangkat dari novel fenomenal Gabriel García Márquez tersebut sejalan dengan cerita di buku. Di Indonesia, novel ini diterjemahkan menjadi Seratus Tahun Kesunyian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Netflix menayangkan bagian pertama film itu, yang berisi delapan episode, sejak 11 Desember 2024 dan akan menayangkan bagian kedua, juga delapan episode, kemudian. Film pertama yang mengalihwahanakan novel Márquez ini disutradarai Alex García López dan Laura Mora dengan aktor-aktor dari Kolombia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anton mengungkapkan, film ini berhasil menafsirkan kisah di dalam novel lewat bahasa sinematografi dan seni visual yang baik. Anton sebenarnya sempat pesimistis salah satu novel favoritnya itu bisa dialihwahanakan dengan baik. Sebab, ia kecewa ketika karya Gabo—sapaan Márquez—yang lain, Love in the Time of Cholera, difilmkan pada 2007. Ia menganggap film berdurasi 139 menit itu gagal mencerminkan novel indah yang dicetak pada 1985 tersebut. “Film itu terlalu menyederhanakan novelnya,” kata Anton pada Senin, 16 Desember 2024.
Anton menyayangkan jika novel-novel Márquez difilmkan secara asal-asalan. Márquez adalah salah satu penulis terpopuler di dunia. Dia lahir di Aracataca, Kolombia, pada 6 Maret 1927 dan meninggal di Kota Meksiko, Meksiko, pada 17 April 2014 saat berusia 87 tahun. Márquez pernah diganjar penghargaan mentereng, termasuk Hadiah Nobel Sastra pada 1982.
Tulisan-tulisan Márquez menginspirasi penulis lain, termasuk penulis di Indonesia. Soalnya, kata Anton, realisme magis Márquez cukup mudah diterima di sini. Dalam The Encyclopedia of Twentieth-Century Fiction (2010), Neil ten Kortenaar mendefinisikan realisme magis sebagai gabungan fantasi dan realisme. Keduanya tidak diperlakukan sebagai dunia yang terpisah, tapi mengaburkan garis batas di antara keduanya. Dalam film Seratus Tahun Kesunyian ada adegan tokoh utamanya dihantui oleh orang yang telah ia bunuh dengan menghadirkan orang yang sudah mati itu dalam kehidupan nyata.
Sampul buku "Seratus Tahun Kesunyian" terbitan Bentang Pustaka pada 2007.
Anton mencontohkan sastrawan Danarto (1940-2018) dan Kuntowijoyo (1943-2005) yang karyanya mengandung realisme magis. Realisme magis Danarto, misalnya, terlihat jelas pada kumpulan cerita pendek Godlob (1975). “Namun dalam karya mereka elemen realisme magis itu dikaitkan dengan terminologi sufisme atau mistisisme Islam,” ucapnya.
Eka Kurniawan mengakui pengaruh besar Márquez terhadap gaya penulisannya. Hal paling menonjol yang ia pelajari dari karya-karya Márquez adalah caranya memetakan masyarakat Amerika Latin. Cara itu pula yang dipakai Eka untuk memetakan lingkungan dan masyarakat Indonesia yang kemudian digambarkan ulang di dalam novel-novelnya.
Eka mengenang masa-masa awal ia lebih tertarik pada politik dan sejarah Amerika Latin. Saat itu Eka belum mengenal Márquez, tapi ia membaca hampir apa pun tentang Amerika Selatan. “Dari naik dan tumbangnya para diktator, rezim-rezim militer, perjuangan pembebasan Simón Bolívar, hingga gerakan Zapatista,” tutur Eka secara tertulis pada Senin, 16 Desember 2024.
Ketertarikan tersebut rupanya disebabkan oleh banyaknya kesamaan kehidupan masyarakat Indonesia dengan negara-negara di Amerika Selatan dari segi sosial, politik, dan lainnya. Eka makin kaget terhadap cara penulis-penulis dari Amerika Selatan menceritakan seluk-beluk kehidupan mereka lewat karya sastra, seperti Jorge Luis Borges, Julio Cortázar, Mario Vargas Llosa, dan tentu saja Gabriel García Márquez.
Eka mengingat novel pertama Márquez yang masuk ke Indonesia adalah Tumbangnya Seorang Diktator terbitan 1992. Beberapa tahun kemudian, Seratus Tahun Kesunyian muncul di Indonesia.
Menurut Eka, bukan perkara mudah mengakses buku-buku Márquez. Waktu itu belum banyak penerbit yang menerjemahkan dan mencetak buku-buku tersebut. Jawa Pos kemudian menerbitkan Seratus Tahun Kesunyian sebagai cerita bersambung. Seketika cerita itu menjadi buruan anak-anak kampus, seperti di kampus Eka, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. “Sejak saat itu, mulai bermunculan karya Márquez, dari fiksi dan nonfiksi hingga novel dan kumpulan cerpen,” kata Eka.
Minat orang membaca karya-karya Márquez seperti tak pernah mati. Sebuah penerbit besar di Indonesia mencetak lagi sebagian besar karya fiksi Márquez. Eka menerjemahkan novel Márquez, Of Love and Other Demons, menjadi Tentang Cinta dan Demit-Demit Lainnya, yang diterbitkan ulang pada 2023.
Banyaknya novel Márquez yang saat ini beredar di Indonesia, menurut Eka, menunjukkan pengaruh besar sastrawan Kolombia itu terhadap penulis dan dunia sastra Indonesia. Ia pun tak keberatan jika orang menganggap karya-karyanya sebagai realisme magis.
Pemimpin Redaksi Marjin Kiri Ronny Agustinus menilai kedekatan budaya menjadi musabab mudahnya realisme magis tumbuh di Indonesia. Sebab, di Indonesia, beragam cerita seram atau unsur-unsur gaib sudah ada sejak masa nenek moyang. Datangnya realisme magis memperkuat unsur mistis di dalam sastra Indonesia.
Realisme magis sejatinya bukan satu-satunya pengaruh yang ditularkan Márquez kepada sastrawan Indonesia. Secara tidak langsung, ucap Ronny, dalam karya-karyanya, Márquez mengajarkan cara menggambarkan sesuatu secara detail kepada penulis lokal.
Sebagai contoh, Márquez mengajarkan cara mengilustrasikan cerita dengan politis dan kadang erotis. Salah satunya lewat karya jurnalistiknya, Noticia de un secuestro (1996), yang dikenal juga sebagai News of a Kidnapping. Buku tersebut berupa reportase yang membahas Pablo Escobar sebagai raja narkotik sekaligus penggerak kartel Medellin. “Dia memang lebih bangga pada karya jurnalistiknya,” tutur Ronny, yang sering menerjemahkan karya pengarang Amerika Latin.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo