Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sejarah Sehari-hari

2 Juni 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menanam Padi di Langit Oleh Puthut E.A. Cetakan pertama, 2008, Jakarta, 313 halaman

Kisah tiga perupa (Bob, Teddy, dan Toni) disusun bak novel. Mereka tokoh utamanya, dan di luar mereka ada sejumlah figuran—sesama mahasiswa ISI Yogya, keluarga, dan beberapa kawan dengan profesi berbeda. Secara keseluruhan buku ini tak bercerita secara kronologis, dan karena itu tak membosankan. Puthut, 31 tahun, lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogya, memang penulis serba bisa—cerita pendek, novel, naskah film.

Ya, buku ini tak membosankan karena penulisnya menekankan pada hal-hal yang nyleneh, tak lazim, kelakuan-kelakuan model seniman bohemian. Misalnya, bagaimana mereka pada suatu malam, bermobil, di Blora hendak mencari makan. Ternyata mobil mereka cuma berputar-putar di alun-alun sampai bensin habis, lalu mereka semua tertidur.

Puthut tak secara langsung membahas ihwal kesenian ketiganya. Tapi bila penciptaan tak berangkat dari kekosongan, kita bisa berspekulasi ”sejarah” harian itulah yang menjadi dasar lahirnya karya-karya mereka.

Memang, mereka bertiga belum menjadi tokoh—tapi masih pentingkah tokoh di masa kini, ketika setiap hari ada tokoh yang hilang dan muncul tokoh baru? Tapi justru karena itu, peristiwa, anekdot, kisah hidup, sejarah keluarga tak lalu terpatri pada nama, dan karena itu mengasyikkan diikuti. Saya membaca dan terbayang ketiga tokoh utama itu bisa siapa saja.

Inilah model biografi yang lebih ”subyektif”. Puthut tak mencoba menerangkan nama-nama yang terlibat dalam berbagai kisah ketiga tokoh utama siapa mereka secara mendetail, secara umum seperti dalam artikel yang baik di media massa. Mereka yang tak mengenal dunia ketiga tokoh utama—dunia seniman, terutama di Yogya—mungkin juga tertarik lantaran cara bercerita Puthut yang ”hidup”: bahasanya tangkas dan tahu mana yang perlu ditonjolkan mana yang tidak. Bagaimana, misalnya, ketika ibu Teddy menjenguk anaknya di tahanan polisi dan kaget karena kondisi anaknya berantakan (Teddy tak mau makan) dan spontan berseru kepada ”Yesus Kristus”, dan dampaknya sungguh di luar dugaan. Polisi langsung membebaskannya, perkara dianggap selesai.

Puthut sebenarnya tak membiarkan kisah berjalan tanpa konteks. Maka ada pula ”reportase” demonstrasi yang membuat Soeharto mundur, tentang ISI Yogya, dan lain-lain, sehingga meyakinkan bahwa ini bukan cerita fiksi. Tapi tokoh-tokoh tak semuanya jelas. Memang ada Darmanto Jt., yang jelas ada; ia penyair dan dosen di Universitas Diponegoro. Tapi siapa Bonyong?

Kalau ini disebut biografi, inilah biografi sehari-hari, masuk ke kamar tidur dan dapur serta kamar mandi, mengungkapkan hal-hal yang bukan menjadi urusan sejarah formal. Buku ini sangat bermanfaat untuk mengetahui latar belakang, terutama, perupa generasi Bob, Teddy, dan Toni di Yogya.

BB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus