Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Modul: Mahal, Tidak

PPSP di delapan IKIP negeri telah lama menggunakan sistem modul. Karena biaya menyusun dan merevisi modul mahal, maka sebagian ppsp memungut iuran dari orang tua murid. (pdk)

11 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA pekan lalu ada sedikit kericuhan di Sekolah Laboratorium Ilmu Kependidikan Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Rawamangun, Jakarta. Beberapa orangtua murid mengeluh adanya 'pungutan' di sana Rp 500 untuk SD dan Rp 750 untuk Sekolah Menengahnya. Tapi menurut Sulchan Hasyim, Direktur sekolah tersebut, hal itu "bukan sebagai pengganti pungutan SPP." Biaya itu, kata Sulchan, untuk mempercepat proses keberhasilan sistim belajar lewat modul. Untuk itu perlu memperbanyak lembaran-lembaran kerja. Seperti diketahui modul terdiri dari lembaran kegiatan, lembaran kerja, lembaran tes dan lembaran jawaban. Nah biaya yang dipungut itu dimaksud sebagai ongkos memperbanyak lembaran kerja tersebut. "Untuk memperbanyaknya, kalau ada biaya, itu memang tugas sekolah," lanjut Sulchan kepada Bambang Bujono dari TEMPO. Karena sekolah tak punya uang, maka para orang tua murid -- lewat persatuan wali murid yang disebut Badan Pembantu Pengembangan Pendidikan (BP3) -- mengumpulkan biaya, sedang sekolah yang menyelenggarakan stensilnya. Inisiatip orangtua murid itu diakui oleh Amir Daud, ketua BP3. Seorang ibu yang pekan lalu ditemui sedang menjemput anaknya, juga sama pendapatnya. "Dulu anak-anak minta difotokopikan. Selain repot juga mahal. Saya tidak keberatan dengan dana stensil itu. Apalagi sifatnya sukarela. Yang tak mampu, tidak dipungut," katanya. Seorang ibu lain yang kelima anaknya sekolah di PPSP Rawamangun itu berkata: "Selama ini saya belum pernah membayar apa-apa. Saya pernah dengar tentang dana stensil itu tapi belum ada pengumuman harus bayar. Katanya sukarela." Dalam buku Program Pembiayaan PPSP terbitan Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) menyebut: "pengelolaan pembiayaan sepenuhnya dilakukan oleh masing-masing PPSP." Tidak ada pemecahan lain? Soedijarto, Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan dan Kebudayaan BP3K berpendapat, "lembaran kerja sebenarnya bisa dikerjakan di buku catatan murid sendiri." Tapi menurut Sulchan Hasyim, mencatat seperti itu menghabiskan waktu. "Lagi pula biaya yang dikeluarkan orangtua murid sama saja dengan sekolah-sekolah biasa. Di sekolah biasa membeli sekrip, di sini membayar dana stensil," tambah Sulchan. PPSP di delapan IKIP Negeri, sejak 1975 menggunakan sistim modul. Sistim itu menurut Soedijarto banyak keuntungannya: siswa suka belajar sendiri, suka mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang belum diketahui jawabannya. " Lembaran-lembaran modul yang sebetulnya tak boleh dibawa pulang itu memang direncanakan "untuk merubah kebudayaan orangtua yang kalau anaknya tak belajar di rumah dikejar-kejar supaya belajar, supaya mengerjakan PR. Di rumah kan bisa belajar yang lain, yang tidak diberikan di sekolah," kata Soedijarto lagi. Harus Memilih Kecuali itu modul juga cocok untuk "sekolah terbuka" yang tidak memerlukan gedung sekolah. Di Balai Desa, misalnya, jadilah. Ini sesuai dengan program pemerataan pendidikan. Tapi pemerataan pendidikan, bagaimana pun akan menimbulkan masalah: apakah pemerataan juga berarti peningkatan mutu. "Dengan biaya terbatas kadang-kadan kita dipaksa harus memilih: kwantita atau kwalita," kata Moegiadi, Sekretaris BP3K. "Tapi dibanding harus mengadakan gedung sekolah dan guru-gurunya, sistim modul jauh kebih murah, tambahnya. Menurut perhitungan BP3K, kalau nanti sistim modul sudah disebarkan menyeluruh -- mulai 1983 -- biayanya akan lebih murah. Tapi apakah program BP3K tidak bertabrakan dengan Komisi Pembaharuan Pendidikan (KPP) yang akan menyelesaikan tugasnya tahun 1980 nanti? "Memang akan bertabrakan dengan KPP. Tapi kata pak Daoed Joesoef, PPSP jalan terus," kata Moegiadi. Tapi ada pendapat lain dari Winarno Surakhmad, Rektor IKIP Negeri Jakarta. "Memang hasil PPSP lebih baik. Sebab dengan tenaga pengajar yang lebih baik lingkungan dan fasilitas lebih baik, hasilnya tentu juga akan baik." Pendapat itu dibantah oleh Moegiadi dan Soedijarto. "Tidak benar PPSP mendapat fasilitas lebih baik. Bahkan dulu kurang baik dibanding sekolah negeri biasa. Guru-guru PPSP pun pada umumnya muda-muda. Memang mereka ditatar khusus, tapi itu hanya penataran bagaimana cara menggunakan modul," bantah mereka. Alhasil, sistim ini rupanya sangat tergantung pada mutu modulnya, bukan mutu gurunya. Bisa diperkirakan betapa besar biaya menyusun modul yang baik, yang sampai tahun ini masih terus mengalami revisi itu. Tapi soal biaya itu, Moegiadi menimpali: "Kita ini mau maju apa tidak?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus