DUA pekan lalu ada sedikit kericuhan di Sekolah Laboratorium
Ilmu Kependidikan Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP)
IKIP Rawamangun, Jakarta. Beberapa orangtua murid mengeluh
adanya 'pungutan' di sana Rp 500 untuk SD dan Rp 750 untuk
Sekolah Menengahnya. Tapi menurut Sulchan Hasyim, Direktur
sekolah tersebut, hal itu "bukan sebagai pengganti pungutan
SPP."
Biaya itu, kata Sulchan, untuk mempercepat proses keberhasilan
sistim belajar lewat modul. Untuk itu perlu memperbanyak
lembaran-lembaran kerja. Seperti diketahui modul terdiri dari
lembaran kegiatan, lembaran kerja, lembaran tes dan lembaran
jawaban. Nah biaya yang dipungut itu dimaksud sebagai ongkos
memperbanyak lembaran kerja tersebut.
"Untuk memperbanyaknya, kalau ada biaya, itu memang tugas
sekolah," lanjut Sulchan kepada Bambang Bujono dari TEMPO.
Karena sekolah tak punya uang, maka para orang tua murid --
lewat persatuan wali murid yang disebut Badan Pembantu
Pengembangan Pendidikan (BP3) -- mengumpulkan biaya, sedang
sekolah yang menyelenggarakan stensilnya.
Inisiatip orangtua murid itu diakui oleh Amir Daud, ketua BP3.
Seorang ibu yang pekan lalu ditemui sedang menjemput anaknya,
juga sama pendapatnya. "Dulu anak-anak minta difotokopikan.
Selain repot juga mahal. Saya tidak keberatan dengan dana
stensil itu. Apalagi sifatnya sukarela. Yang tak mampu, tidak
dipungut," katanya.
Seorang ibu lain yang kelima anaknya sekolah di PPSP Rawamangun
itu berkata: "Selama ini saya belum pernah membayar apa-apa.
Saya pernah dengar tentang dana stensil itu tapi belum ada
pengumuman harus bayar. Katanya sukarela." Dalam buku Program
Pembiayaan PPSP terbitan Badan Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) menyebut: "pengelolaan
pembiayaan sepenuhnya dilakukan oleh masing-masing PPSP."
Tidak ada pemecahan lain? Soedijarto, Kepala Pusat Pengembangan
Kurikulum dan Sarana Pendidikan dan Kebudayaan BP3K berpendapat,
"lembaran kerja sebenarnya bisa dikerjakan di buku catatan murid
sendiri." Tapi menurut Sulchan Hasyim, mencatat seperti itu
menghabiskan waktu. "Lagi pula biaya yang dikeluarkan orangtua
murid sama saja dengan sekolah-sekolah biasa. Di sekolah biasa
membeli sekrip, di sini membayar dana stensil," tambah Sulchan.
PPSP di delapan IKIP Negeri, sejak 1975 menggunakan sistim
modul. Sistim itu menurut Soedijarto banyak keuntungannya: siswa
suka belajar sendiri, suka mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang belum diketahui jawabannya. "
Lembaran-lembaran modul yang sebetulnya tak boleh dibawa pulang
itu memang direncanakan "untuk merubah kebudayaan orangtua yang
kalau anaknya tak belajar di rumah dikejar-kejar supaya belajar,
supaya mengerjakan PR. Di rumah kan bisa belajar yang lain, yang
tidak diberikan di sekolah," kata Soedijarto lagi.
Harus Memilih
Kecuali itu modul juga cocok untuk "sekolah terbuka" yang tidak
memerlukan gedung sekolah. Di Balai Desa, misalnya, jadilah.
Ini sesuai dengan program pemerataan pendidikan. Tapi pemerataan
pendidikan, bagaimana pun akan menimbulkan masalah: apakah
pemerataan juga berarti peningkatan mutu. "Dengan biaya terbatas
kadang-kadan kita dipaksa harus memilih: kwantita atau
kwalita," kata Moegiadi, Sekretaris BP3K. "Tapi dibanding harus
mengadakan gedung sekolah dan guru-gurunya, sistim modul jauh
kebih murah, tambahnya.
Menurut perhitungan BP3K, kalau nanti sistim modul sudah
disebarkan menyeluruh -- mulai 1983 -- biayanya akan lebih
murah. Tapi apakah program BP3K tidak bertabrakan dengan Komisi
Pembaharuan Pendidikan (KPP) yang akan menyelesaikan tugasnya
tahun 1980 nanti? "Memang akan bertabrakan dengan KPP. Tapi kata
pak Daoed Joesoef, PPSP jalan terus," kata Moegiadi.
Tapi ada pendapat lain dari Winarno Surakhmad, Rektor IKIP
Negeri Jakarta. "Memang hasil PPSP lebih baik. Sebab dengan
tenaga pengajar yang lebih baik lingkungan dan fasilitas lebih
baik, hasilnya tentu juga akan baik."
Pendapat itu dibantah oleh Moegiadi dan Soedijarto. "Tidak benar
PPSP mendapat fasilitas lebih baik. Bahkan dulu kurang baik
dibanding sekolah negeri biasa. Guru-guru PPSP pun pada umumnya
muda-muda. Memang mereka ditatar khusus, tapi itu hanya
penataran bagaimana cara menggunakan modul," bantah mereka.
Alhasil, sistim ini rupanya sangat tergantung pada mutu
modulnya, bukan mutu gurunya. Bisa diperkirakan betapa besar
biaya menyusun modul yang baik, yang sampai tahun ini masih
terus mengalami revisi itu. Tapi soal biaya itu, Moegiadi
menimpali: "Kita ini mau maju apa tidak?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini