Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ellipsis Penulis: Laksmi Pamuntjak Penerbit: Pena Klasik, Jakarta, 2005 Tebal: 89 halaman
Seperti galibnya sebuah elipsis, sajak-sajak yang terkumpul dalam buku ini menyiratkan telah adanya suatu proses seleksi, yakni seleksi pada perjalanan yang sering berbentuk elips itu untuk didokumentasi atau tidak. Ada yang ditinggalkan, ada yang ditanggalkan. Kendati yang ditinggalkan atau ditanggalkan itu belum tentu tidak punya makna, toh tidak semua ”perjalanan” harus dimaknai. Atau, bisa juga, karena memang tidak sempat dicatat.
Perjalanan di sini barang tentu bukan sekadar petualangan fisik; yang tidak kalah penting adalah perjalanan wawasan. Sajak-sajak penulis buku panduan Jakarta Good Food Guide ini sebagian besar tidak menyertakan penanda semacam itu. Hanya dua sajak yang menyebut nama kota, yaitu pada sajak ”The Angel on the Balustrade” dan ”La Guardia One Blue Saturday Afternoon”, yang sama-sama memungkasi sajak dengan mengikutkan nama kota New York. Hampir tiadanya penanda itu punya berbagai kemungkinan.
Pertama, sebagai penyair, ia agaknya tidak mau pamer mobilitas telah menjelajah berbagai kota atau pelosok. Kedua, yang disiratkan dalam sajaknya ada kemungkinan memang tidak punya tautan sama sekali dengan suatu tempat, dengan suatu perjalanan. Dan ketiga, karena semua yang diekspresikan ke dalam sajak-sajaknya itu merupakan suatu hasil renungan atau semacam residu-catatan dari hal-hal yang telah berlalu sehingga pencantuman tempat dan kala tidak penting lagi.
Keterlibatan dirinya pada suatu tempat terlihat pada sajak ”Shanghai Rising” (hlm. 34–35), ”11 am at the Picasso Museum” (hlm. 54–56), atau ”4.30 pm at the Picasso Museum” (hlm. 57–58). Yang juga penting, gambaran petualangan atau perjalanan ditandai melalui penyebutan tokoh-tokoh, baik yang mitologis maupun yang bersumber dari pelbagai karya. Perjalanan sedemikian ini—yang barangkali sering digampangkan saja sebagai semacam perjalanan rohani atau petualangan intelektual—terasa lebih banyak mencuat dalam sajak-sajak dari ibu seorang putri ini.
Sajak ”Dawn’s Antigone” (hlm. 66–67) membawa ingatan pembaca kepada tragedi yang pernah ditulis oleh pujangga Yunani, Sophocles. Sedangkan ”After Bisma Defeated Salwa” (hlm. 8–9) menggiring imajinasi kita kepada epik Mahabharata. Begitu pula sewaktu bertemu dengan tokoh Gayatri (dalam sajak ”Vermont”, hlm. 26–27), Kristus—dalam nama Christ—pada sajak ”The Dough of You” (hlm. 37–38), atau Aphrodite dalam sajak ”In the Train, Like Before” (hlm. 62–64), misalnya, tidak dapat dimungkiri akan hadirnya semacam tautan pikiran dengan tokoh atau kisah-kisah yang melatari mereka.
Bersangkutan dengan nama-nama yang disinggung dalam sajak-sajaknya, sangat boleh jadi, kumpulan sajak ini memang dibayangkan bukan untuk pembaca Indonesia. Anotasi yang dicantumkan pada halaman 86–87 sebagian besar hanya menjelaskan nama-nama tokoh yang muncul dalam Mahabharata atau mitologi Hindu, yang mungkin sekali dikira sudah cukup diakrabi oleh orang Indonesia. Dan betulkah bahwa pembaca-sasaran kumpulan sajak ini—siapa pun mereka—mafhum semua dengan tokoh-tokoh seperti Antigone, Don Quixote, Creon, Sylvia Plath, atau juga Siwa?
Laksmi, seperti halnya Richard Oh dengan kedua novelnya, memang langsung mengungkapkan kreativitasnya dalam bahasa Inggris; bukan dalam pengertian terjemahan sebagaimana karya-karya Indonesia lainnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Meski demikian, kalau saja kita telaten untuk paling kurang pertama-tama ”berwisata” dengan lirik-lirik Laksmi Pamuntjak ini, like a tiny seed, apresiasi kita akan growing towards the sun (”A Tiny Seed”, hlm. 65).
Dalam kumpulan sajak yang diberi label antologi ”poems and prose poems” ini terhimpun 35 sajak yang dibuat pada 2001 (sebuah sajak), 2003 (dua sajak), 2004 (16 sajak), dan 2005 (16 sajak), yang sebagian besar dapat disebutkan sebagai upaya pengekspresian atas tanggapan atau sensitivitasnya terhadap permasalahan kesadaran akan ruang dan penghuninya yang selalu memberi tanda-tanda tanya. Namun, mengingat bahwa acuan atau rujukan yang disinggung itu menampakkan keluasan ”perjalanannya” itu, sajak-sajak dalam kumpulan ini menjadi sangat terbuka untuk diapresiasi oleh siapa saja. Dan ruang untuk sekadar istirah atau terpana kepada misteri eksistensialistis yang banyak ditawarkan oleh Laksmi diberi tempat dengan sejumlah enjambemen yang disertakan.
Ibnu Wahyudi, Redaktur Jurnal Puisi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo