Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika membaca puisi naratif, kita selalu berada dalam situasi tarik-menarik antara puisi dan prosa-karena itu, ada sebutan "puisi-prosa". Sebagaimana namanya, puisi jenis ini selalu berwatak ganda: pada waktu yang bersamaan ia terlihat sebagai puisi sekaligus prosa. Ia bukan hanya menghadirkan subyek lirik atau subyek yang mengujarkan puisi-dan anasir kepuisian lainnya yang umum dikenal-tapi juga tokoh dan cerita atau rangkaian peristiwa.
Buku puisi Kematian Kecil Kartosoewirjo karya Triyanto Triwikromo adalah serangkaian puisi naratif yang sebagian besar bertumpu pada satu tokoh. Dari 53 puisi dalam buku ini, 46 di antaranya memasang "aku" sebagai subyek lirik. Dengan kata lain, puisi-puisi ini adalah himpunan senandika (monolog) sang "aku", si tokoh utama: Sekar Maridjan Kartosoewirjo (S.M. Kartosoewirjo).
S.M. Kartosoewirjo adalah pemimpin utama gerakan Darul Islam/Negara Islam Indonesia pada akhir 1940-an yang kelak dieksekusi di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, pada 1962. Tapi Triyanto tidak tertarik pada keseluruhan kisah Kartosoewirjo-toh itu sudah menjadi bahan telaah para ahli sejarah. Ia lebih tertarik pada masa akhir kehidupan sang imam, terutama pada detik-detik menjelang hukuman mati.
Dari fase menjelang maut inilah Triyanto kadang bergerak ke belakang hingga ke masa awal kehidupan Kartosoewirjo (puisi "Di Mobil Tahanan"); hubungannya dengan sang guru, H O.S. Tjokroaminoto, dan kawan sekaligus pesaingnya, Sukarno (puisi "Secangkir Kopi dalam Senyap", "Perihal Kobaran Api", "Interogasi"); lantas maju ke detik-detik menjelang dan sesudah eksekusi (puisi "Regu Tembak", "Kesaksian).?
Namun, sekali lagi, bukan kronik-kronik itu yang terlampau menarik di sini, melainkan bagaimana penyair menciptakan "suara lain" sang tokoh utama. Apakah puisi-puisi ini menggenapkan sejarah sang tokoh atau justru menjadi sejarah baru yang membuat pembaca mampu menikmati sisi lain Kartosoewirjo. Rupanya, Triyanto cukup berhasil membubuhkan apa-apa yang tidak ada dalam sejarah. Terutama "suara batin" Kartosoewirjo yang membuatnya tampak sebagai manusia biasa, pencinta berat Sang Nabi dan Sang Khalik, bukan pemberontak.
Saya kutipkan bait kelima dan keenam puisi "Aku Tak Mendengar Letusan Itu":
?Aku tak mendengar letusan itu. Aku juga tidak mendengar oditur, dua perwira, dan seorang dokter meratapi kematian kecilku. Aku justru mendengar Nabi memberi nasihat kepada para sahabat. Kata Nabi, "Aku akan pergi dan menjadi saksi bagi kalian. Kutunggu di surga Allah."
?Ampunilah, hamba-Mu, ya Allah. Aku memilih mendapatkan Kunci Kasih Sayang-Mu. Kunci Surga-Mu.???
Tapi ini masih menyangkut "kadar keprosaan" Kematian Kecil Kartosoewirjo. Bagaimana dengan "kadar kepuisiannya"? Satu-dua kali Triyanto memberi kita sejenis sajak suasana. Sang penyair menjajarkan sedemikian rupa citraan rupa yang menyaran kepada suasana atau lingkungan tertentu. Puisi "Interogasi", misalnya, menghadirkan panorama alam benda yang jika diselidiki lebih jauh menghubungkan sang tokoh utama dan Muhammad SAW.
Pada bagian lain, surealisme tampaknya masih menjadi cara utama dalam menghadirkan keajaiban dunia puisi (puisi "Tukang Tenung"). Namun, jika surealisme membuat puisi berhenti hanya sebagai dunia ajaib, Triyanto sebenarnya masih menyediakan kita puisi-puisi naratif yang cukup wajar. Misalnya "Pemburu Kabar", salah satu puisi terbaik dalam kumpulan ini. Puisi ini menampilkan nalar prosa yang cukup baik, di samping permainan makna kata, citraan visual, dan yang klasik: teka-teki.
Bait pertama; "Kabar itu begitu kabur seperti bendera-bendera perang/ dipandang dari kota-kota yang jauh dari Badar. Kabar itu/ hanya berupa kias: 12 unta mati, 12 sumur tanpa air, 12/ masjid dibakar, 12 malaikat ketakutan, 12 laba-laba buta/ melindungi 12 kuda tuli."
Secara umum, Kematian Kecil Kartosoewirjo menandai kedewasaan Triyanto sebagai penyair sekaligus penulis cerita pendek. Ia kini mampu meredam keinginan menampilkan dunia ajaib yang berlebihan sebagaimana dalam beberapa cerpennya selama ini. Kini ia lebih tabah menata peranti puitik, memberi rinci yang wajar pada cerita, mengambil sikap yang cukup pribadi pada gemuruh suara dari kanan.
Zen Hae, Penyair Dan Kritikus Sastra
Judul: Kematian Kecil Kartosoewirjo
Pengarang: Triyanto Triwikromo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan I: Januari 2015
Tebal: XVI + 128 HALAMAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo